Biografi KH. Hasyim Afandi, Pendiri Pesantren Nida Al-Qur’an Temanggung

 
Biografi KH. Hasyim Afandi, Pendiri Pesantren Nida Al-Qur’an Temanggung

Daftar Isi:

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Wafat

2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Pendidikan
2.2  Guru Beliau

3.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1  Mendirikan Pesantren

4.    Karir-Karir
4.1  Menjadi Pegawai Negeri
4.2  Terjun ke Politik
4.3  Menjadi Bupati
5.    Referensi

1. Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir
KH. Hasyim Afandi lahir di Parakan, Temanggung, pada tahun 1946, beliau merupakan putra dari pasangan bapak Suhaimin dan ibu Robitah. Tanggal lahir Hasyim secara resmi tercatat pada 1 Juli 1946 dalam dokumen kependudukan. Namun, seperti yang pernah dikatakannya, tanggal lahir tersebut dibuat secara kolektif bagi siswa SD yang baru masuk pada tahun ajaran 1953/1954.

KH. Hasyim hanya ingat weton-nya, yaitu Jum’at Wage, dan anekdot orang tuanya kalau beliau dulunya akan diberi nama Jumadi lantaran lahir di bulan Jumadil. Dari kalender penanggalan tahun 1946, hari Jum’at Wage pada bulan Jumadil Awal 1365 H jatuh pada tanggal 12 April 1946. Sedangkan Jumat Wage pada Jumadil Akhir 1365 H jatuh pada tanggal 17 Mei 1946. Apapun, secara resmi milad Hasyim Afandi diperingati pada 1 Juli.

Putra bungsu dari pedagang tahu, sejak kecil KH. Hasyim tinggal di lingkungan sekitar Pasar Legi Parakan. Mulanya di Klewogan, kemudian bergeser sedikit mendekati pasar ke Besaran (dahulu bernama Kuncisari). beliau adalah anak ketiga, setelah kakak-kakak perempuannya ibu Sintiyah dan ibu Martinah. Ibu Martinah meninggal dunia ketika Kyai Hasyim berusia 6 tahun.

1.2 Riwayat Keluarga
Pada masa kuliah pula, Kyai Hasyim bertemu dengan Ning Isnadiyah, teman sekelasnya. Perempuan asal Suruh, Salatiga, tersebut kemudian dipinang untuk menjadi istri, serta diboyong kembali ke Parakan.

1.3 Wafat
Drs. KH Hasyim Afandi wafat pada hari Senin, 5 Juli 2021 pukul 14:45 di RSUD Kabupaten Temanggung. Jenasah dishalatkan di teras Gedung B RSUD Temanggung sekitar pukul 17.00 WIB oleh keluarga beserta sejumlah pejabat antara lain Bupati Temanggung, Wakil Bupati, Sekda Temanggung, Kajari Temanggung serta Dandim Temanggung.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan

2.1 Pendidikan
Kyai Hasyim memulai pendidikan akademiknya di SD Negeri I Parakan, dilanjutkan dengan bersekolah di SMP Al Iman Parakan, dan SMA Negeri I Temanggung. Di sela-sela libur sekolah, ketika SMP dan SMA, beliau belajar mengaji ke berbagai pondok pesantren, baik di Parakan sendiri sampai ke Tegalrejo, Magelang. Minat dan aktivitasnya banyak dihabiskan bersama organisasi kepemudaan Nahdlatul Ulama (NU) Parakan.

Usai menuntaskan pendidikan menengah, pada 1965 Kyai Hasyim melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi di IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Meski dengan banyak kekurangan secara ekonomi, Kyai Hasyim berhasil menyelesaikan studinya dalam waktu 4 tahun.

“Di akhir kuliah, mbakyu selalu berpesan: ‘Syim, ini uang kuliahmu, seharusnya uang ini untuk kulak kedelai. Lekas selesai kuliah, tidak usah pacaran, tidak usah aneh-aneh.’, kenangnya. “Ini jadi motivasi untuk bisa secepatnya lulus.”

Masa-masa Kyai Hasyim tinggal di Yogyakarta adalah masa penuh perjuangan sebagaimana yang pernah beliau ceritakan. “Dulu saya kuliah jalan kadang naik sepeda dari daerah Kauman ke arah Tugu Jogja terus jalan ke arah IAIN sambil membawa handuk dan jarit, aku tawarkan door to door buat tambah-tambah biaya kuliah.”

Pada masanya, ada opsi untuk sampai ke gelar sarjana muda (BA), tanpa menyelesaikan tesis. Namun Kyai Hasyim berhasil menuntaskan kuliah untuk meraih gelar sarjana yang pada masa itu bertitel doktorandus (Drs).

2.2 Guru Beliau
KH. Chudlori, Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, Magelang

3. Perjalanan Hidup dan Dakwah
Usai kuliah, pada 1969, kondisi ekonomi Indonesia tengah menjalani transisi kepemimpinan. Lapangan kerja belum banyak tersedia, sehingga Kyai Hasyim menjalani profesi ganda sebagai guru honorer di SMP Al Iman dan meneruskan pekerjaan membuat tahu dari orangtuanya.

Ketika situasi ekonomi semakin sulit, ditambah dengan hadirnya anak pertama pada 1973, Hasyim sempat berencana untuk transmigrasi ke Sumatra. Pilihan tersebut urung karena tak lama ayahnya, bapak Suhaimin, meninggal dunia. Kyai Hasyim kini menjadi tumpuan untuk menjalankan bisnis tahu yang dimiliki keluarga.

“Masa-masa itu merupakan masa sulit, tetapi setiap butir kedelai yang terlibat, berperan membentuk saya saat ini,” Ucap Kyai Hasyim.

3.1 Mendirikan Pesantren
Bagaimanapun juga, menyadari usia dan terlebih cita-citanya yang lain, sejak awal KH. Hasyim menetapkan hanya akan menjalani Bupati untuk satu periode. beliau di sisi lain, juga terus mencoba mewujudkan keinginannya untuk membaktikan diri ke agama dengan mendirikan pondok pesantren. “Sungguh Gusti terlalu sayang dengan saya,” kata KH. Hasyim. “Segalanya dipermudah, sampai tiba-tiba ada yang menawarkan tanah wakafnya untuk dijadikan pondok.”

Tahun 2012, setahun jelang masa jabatan Bupatinya berakhir, bangunan Pondok Pesantren Nida Al-Qur’an sudah berdiri di daerah Tegalsari, Kedu. Di usianya yang ke-66, beliau melihat mimpinya terwujud. “Sekarang, inilah ‘anak saya’. Yang akan mengasuhnya, ditumbuhkembangkan, menggantikan kalian yang sudah punya kehidupan masing-masing,” ujar KH. Hasyim kepada anak-anaknya.

Selesai masa jabatan Bupati, KH. Hasyim tidak kembali ke Parakan, tetapi menetap di kompleks Pondok. beliau masih aktif mengajar, mengelola, dan menjalankan operasional pondok hingga akhir hayatnya, setahun yang lalu, di usia 75 tahun.

“Saat ini, Allah sudah mengabulkan segalanya,” kata KH. Hasyim ketika dijumpai sedang membersihkan lantai Masjid Nida Al-Qur’an. “Kalau orang sekarang bilang: ‘I am living my dream.”

4. Karir-Karir

4.1 Menjadi Pegawai Negeri
Kondisi ekonomi sedikit terbuka ketika tahun 1979 beliau diterima sebagai pegawai negeri di Departemen Agama Kabupaten Temanggung. Namun, pilihan itu membawa konsekuensi bahwa bisnis tahu milik keluarganya harus ditutup. Ibunya, Robitah, memilih untuk berdagang baju di Pasar Legi.

Pada masa itu, orde baru, menjadi pegawai negeri artinya harus menjadi anggota dari partai penguasa, Golongan Karya (Golkar). Demikian juga dengan Kyai Hasyim, yang meski sejak muda aktif di NU, akhirnya harus bergabung dengan Golkar.

Pilihan ini sempat menimbulkan ketegangan di lingkungannya, basis massa NU, yang memuncak di sekitar Pemilu 1982. Namun, hal ini tak menyurutkan Kyai Hasyim yang memang cenderung aktif di manapun beliau berada. "Yang penting selalu berpegang pada prinsip agama. Apa yang dilarang, dijauhi," tegasnya.

4.2 Terjun ke Politik
Baik di lingkungan kantor maupun Golkar, Kyai Hasyim terlibat dalam berbagai kegiatan. Karirnya di Departemen Agama naik, dari menjadi Kepala Seksi, sampai ke Kepala Sub Bagian Tata Usaha. Demikian juga di partai politik, pada periode legislasi 1987, beliau terpilih menjadi anggota DPRD dari Golkar di Temanggung.

Menjalani karir dan anggota DPRD, Kyai Hasyim masih beberapa kali menerima tawaran mengisi pengajian ke berbagai pelosok Temanggung. “Dengan sepeda motor, saya pernah mengisi pengajian dari ujung Tembarak hingga Tretep,” Ucap Kyai Hasyim.

Kyai Hasyim memang tidak pernah jauh dari agama. Dan mengajar tampaknya menjadi ghirah, atau dorongan hidupnya. beliau menerima anak-anak sekitar rumah yang belajar tadarus setiap usai Maghrib. Setelah Isya, biasanya ikut atau mengisi berbagai pengajian.

Pada tahun 1989, berbekal dukungan dana dari istrinya, Ning Isnadiyah, Hasyim pergi menunaikan ibadah haji. “Istri saya menyimpan uang dari ‘gaji’-nya sebagai ibu rumah tangga. Uang itu digunakan untuk melunasi biaya perjalanan haji.”. dengan haji tersebut mengubah banyak hal terutama terkait tujuan hidupnya. Perjalanan ini begitu berkesan, sehingga KH. Hasyim bertekad untuk memberangkatkan istrinya untuk haji pada periode berikut (tahun 1992).

Sayangnya, pada 1991, sekitar setahun dari jadwal keberangkatannya, Ning Isnadiyah meninggal dunia di usia 45 tahun, meninggalkan KH. Hasyim dan 3 orang anak. “Ibumu wafat ketika segala sesuatunya seperti sedang tertata dan menuju ke puncak,”ujar Kyai Hasyim kepada anak-anaknya“.

Ujaran tersebut muncul ketika tidak lama kemudian, Kyai Hasyim diminta untuk menjadi Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Magelang. Perjalanan karir yang ditatanya dari tahun 1979 menemui titik tinggi di usianya yang ke-46.

Untuk mengiringi karirnya, serta kebutuhan sosok ibu bagi anak bungsunya yang masih berusia 11 tahun, pada tahun 1993 Hasyim menikah dengan ibu Lies Daryati. Lies merupakan mantan istri dari almarhum Saiful Islam, sahabat Kyai Hasyim dari masa kecil. Ibu Lies membawa 3 orang anaknya ke keluarga baru KH. Hasyim. Kehidupan baru ini mengiringi kepindahan KH. Hasyim dan keluarga dari Parakan ke Magelang.

4.3 Menjadi Bupati
Selama menjadi Kepala Kantor Departemen Agama, KH. Hasyim menjalin hubungan baik dengan berbagai ulama dan pemuka agama. Kabupaten Magelang memiliki sejumlah tokoh agama yang berpengaruh, di antaranya dari Pondok Pesantren Tegalrejo, Pabelan Muntilan, Watucongol, dan sebagainya. Jejaring ini kemudian yang mendorong nama KH. Hasyim ikut mengapung jelang pemilihan Bupati Magelang periode 1999-2004.

Pada masa itu, pemilihan Bupati masih dijalankan oleh DPRD, bukan pilihan langsung. Nama KH. Hasyim, yang didorong dari Golkar, mendapat restu dari berbagai pemuka agama. Jadilah beliau kemudian menjabat menjadi Bupati Kabupaten Magelang, pejabat dari kalangan sipil pertama setelah sekian lama dipimpin kalangan militer (Kolonel H. Mohammad Solihin dan Kolonel H. Kardi sebelumnya, dari 1984-1999).

KH. Hasyim purnakarya dari status Pegawai Negeri Sipil pada 2002. Sehingga, ketika masa jabatan Bupatinya selesai pada 2004, beliau kembali ke kampung halamannya di Parakan, Temanggung. Masa-masa ini diisinya aktif berkegiatan di Majelis Ulama Indonesia (MUI) Temanggung, yang memicu banyak diskusi dan interaksi dengan pemuka agama.

Interaksi tersebut membangkitkan keinginan lamanya sebagai pengajar. Beliau berangan-angan untuk membangun pondok pesantren di Temanggung. “Mbuh piye, insyaallah,” ujarnya.

Pada tahun 2007, masyarakat Temanggung yang menjelang pemilihan kepala daerah langsung menyampaikan aspirasi mereka agar KH. Hasyim bersedia menjadi salah satu kandidat Bupati. Pilihan ini menjadi dilematis antara menuruti aspirasi atau menjalankan cita-citanya sebagai pengajar dan membangun pondok pesantren.

“Saya hanya berpikir, karena masih kuat ya berbakti,” jelas KH. Hasyim kepada anak-anaknya, ketika mengemukakan pilihannya untuk maju ke kontestasi. KH. Hasyim kemudian terpilih sebagai Bupati Kabupaten Temanggung periode 2008-2013.

5. Referensi
Diolah dan dikembangkan dari data-data yang dimuat di situs: Helman Taofani

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya