Mengurai Arti Takdir Mubram dan Takdir Mu’allaq

 
Mengurai Arti Takdir Mubram dan Takdir Mu’allaq
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Pada usia belasan dulu, kami sering mendengar doa dan sedekah sebagai tolak bala. Pada Malam Nishfu Sya’ban, dari dulu masyarakat kami juga memohon tiga permintaan kepada Allah SWT.

Lalu bagaimana memahami semua pengertian itu di tengah tuntutan keimanan pada takdir?  

Dari semua itu, kemudian kami sering mendengar bahwa doa bermanfaat bagi putusan atau takdir Allah yang masih menggantung di Lauh Mahfudh. Terkait ini, kami selanjutnya mendengar ada istilah takdir mubram dan takdir muallaq di kalangan ustadz-ustadz kami di mana doa dapat “mengubah” putusan atau takdir Allah.  

Doa atau permintaan masyarakat dalam Malam Nishfu Sya’ban atau melalui bentuk sedekah dipercaya masyarakat dapat “mengubah” bala yang ditakdirkan Allah SWT akan menimpa mereka, terutama takdir muallaq yang realisasinya sangat berkaitan erat dengan doa.  

Dalam Kitab Tuhfatul Murid ala Jauharah At-Tauhid, Syaikh Ibrahim Al-Baijuri menerangkan seputar takdir sebagaimana berikut:

وَالدُّعَاءُ يَنْفَعُ مِمَّا نَزَلَ وَمِمَّا لَمْ يَنْزَلْ وَإِنَّ الْبَلَاءَ لَيَنْزِلُ وَيَتَلَقَّاهُ الدُّعَاءُ فَيَتَعَالِجَانِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ. وَالدُّعَاءُ يَنْفَعُ فِي الْقَضَاءِ الْمُبْرَمِ وَالْقَضَاءِ الْمُعَلَّقِ. أَمَّا الثَّانِى فَلَا اِسْتَحَالَةَ فِي رَفْعِ مَا عُلِّقَ رَفْعُهُ مِنْهُ عَلَى الدُّعَاءِ وَلَا فِي نُزُوْلِ مَا عُلِّقَ نُزُوْلُهُ مِنْهُ عَلَى الدُّعَاءِ  

“Doa bermanfaat terhadap apa yang datang dan apa yang belum datang (dari langit). Bala pun akan datang dan bertemu dengan doa. Keduanya (bala dan doa) senantiasa ‘berperang’ hingga Hari Kiamat. Doa bermanfaat pada qadha mubram dan qadha muallaq. Perihal yang kedua (qadha muallaq), maka tidak mustahil menghilangkan apa (putusan) yang penghilangannya digantungkan pada doa dan tidak mustahil mendatangkan apa (putusan) yang penghadirannya digantungkan pada doa.

Situasi takdir muallaq berlainan dengan takdir mubram. Doa tidak dapat mengubah kenyataan yang digariskan dalam takdir mubram. Meskipun demikian, doa dipercaya dapat meminimalisir dampak bala yang mungkin sudah ditetapkan timbul karena takdir mubram.  

وَأَمَّا الْأَوَّلُ فَالدُّعَاءُ وَإِنْ لَمْ يَرْفَعْهُ لَكِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُنْزِلُ لُطْفَهُ بِالدَّاعِى كَمَا إِذَا قَضَى عَلَيْهِ قَضَاءً مُبْرَمًا بِأَنْ يُنْزَلَ عَلَيْهِ صَخْرَةً فَإِذَا دَعَا اللَّهَ تَعَالَى حَصَلَ لَهُ اللُّطْفُ بِأَن تَصِيْرَ الصَّخْرَةُ مُتَفَتِّتَةً كَالرَّمْلِ وَتُنْزَلُ عَلَيْهِ  

“Adapun perihal pertama (qadha’ mubram), (peran) doa meskipun tidak dapat menghilangkan bala, tetapi Allah mendatangkan kelembutan-Nya untuk mereka yang berdoa. Misalnya, ketika Allah menentukan qadha’ mubram kepada seseorang, yaitu kecelakaan berupa tertimpa batu besar, ketika seseorang berdoa kepada Allah, maka kelembutan Allah datang kepadanya, yaitu batu besar yang jatuh menimpanya menjadi remuk berkeping-keping sehingga dirasakan olehnya sebagai butiran pasir saja yang jatuh menimpanya.” (Syaikh Ibrahim Al-Baijuri, Tuhfatul Murid ala Jauharah At-Tauhid, hlm. 91)  

Meskipun takdir terbagi dua, muallaq dan mubram, kita sebagai manusia tidak mengetahui mana takdir muallaq dan takdir mubram. Oleh karena itu, Ahlusunnah wal Jamaah memandang doa sebagai ikhtiar manusiawi yang tidak boleh ditinggalkan sebagaimana pada umumnya aliran Ahlusunnah wal Jamaah memandang perlunya ikhtiar dalam segala hal, bukan menyerah begitu saja pada putusan takdir.

Dari sini, kita kemudian dapat memahami tiga permintaan atau doa yang lazim diamalkan oleh sebagian umat Islam, khususnya tradisi doa bersama masyarakat Muslim di Indonesia pada Malam Nishfu Sya’ban sebagai bentuk ikhtiar dalam menolak bala dan ikhtiar dalam mendatangkan kemaslahatan.

Syaikh Ibrahim Al-Baijuri juga mentakan berikut:

  وَانْقِسَامُ الْقَضَاءِ إِلَى مُبْرَمٍ وَمُعَلَّقٍ ظَاهِرٌ بِحَسَبِ اللَّوْحِ الْمَحْفُوْظِ وَأَمَّا بِحَسَبِ الْعِلْمِ فَجَمِيْعُ الْأَشْيَاءِ مُبْرَمَةً لِأَنَّهُ إِنْ عَلِمَ اللَّهُ حُصْوَلَ الْمُعَلَّقِ عَلَيْهِ حَصَلَ الْمُعَلَّقُ وَلَا بُدَّ وَإِنْ عَلِمَ اللَّهُ عَدَمَ حُصُوْلِهِ لَمْ يَحْصُلْ وَلَا بُدَّ لَكَنْ لَا يَتْرُكُ الشَّخْصُ الدُّعَاءَ اِتِّكَالًا عَلَى ذَلِكَ كَمَا يَتْرُكُ الْأَكْلَ اِتِّكَالًا عَلَى إِبْرَامِ اللَّهِ الْأَمْرَ فِى الشَّبْعِ  

“Pembagian qadha menjadi mubram dan muallaq itu tampak pada Lauh Mahfudh. Adapun dari sisi ilmu Allah, semua putusan itu bersifat mubram karena ketika Allah mengetahui datangnya putusan muallaq, maka hasillah muallaq tersebut, dan tidak boleh tidak ketika Allah mengetahui ketiadaan putusan muallaq, maka tiadalah muallaq tersebut. Tetapi manusia tiada jalan lain, seseorang tidak boleh meninggalkan doa hanya karena bersandar pada putusan qadha tersebut sebagaimana larangan seseorang untuk meninggalkan, makan karena bersandar pada putusan Allah perihal kenyang.

Sementara Aliran Muktazilah tidak mempercayai peran dan manfaat doa karena kata “doa” dalam Al-Qur’an itu adalah ibadah secara umum. “Siapa saja yang beribadah, niscaya Allah akan menerimanya,” menurut mereka. Mereka tidak mengartikan ayat itu dengan makna berikut, “Siapa saja yang berdoa, niscaya Allah akan mengabulkannya.”

Demikian penjelasan Syaikh Ibrahim Al-Baijuri sebagaimana teks berikut ini:

أَمَّا عِنْدَ الْمُعْتَزِلَةِ فَالدُّعَاءُ لَا يَنْفَعُ وَلَا يَكْفُرُوْنَ بِذَلِكَ لِأَنَّهُمْ لَمْ يُكَذِّبُوْا الْقُرْآنَ كَقَوْلِهِ تَعَالَى اُدْعُوْنِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ بَلْ أَوَّلُوْا الدُّعَاءَ بِالْعِبَادَةِ وَالْإِجَابَةِ بِالثَّوَابِ  

“Bagi kalangan Muktazilah, doa tidak memberikan manfaat. Tetapi mereka tidak jatuh dalam kekufuran dengan pandangan demikian, karena mereka tidak mendustakan Al-Quran perihal ini seperti ayat Serulah Aku, niscaya Aku membalasnya.’ Mereka menakwil kata ‘seruan’ dengan ibadah, dan ‘balasan’ dengan pahala.

Meskipun demikian, kelompok Ahlusunnah wal Jamaah Asy’ariyah tidak menempatkan Aliran Muktazilah ke dalam aliran kufur karena mereka masih meyakini Al-Quran sebagai wahyu Allah.  

Semua pengertian yang diangkat oleh pendukung kelompok Ahlusunnah wal Jamaah Asy’ariyah ini dimaksudkan agar umat Islam tidak salah paham menempatkan signifikansi doa, peran ikhtiar manusia, dan dapat meningkatkan keimanan terhadap takdir di tengah peran atau ikhtiar manusiawi tersebut. Demikianlah dijelaskan agar umat Islam tidak bersikap su'ul adab dan su'uddhan kepada Allah SWT. Wallahu A‘lam. []


Penulis: Ustadz Abdul Wahab Ahmad

Editor: Hakim