Tahun 680 M: Kesedihan Keluarga Rasulullah SAW (Perang Karbala)

 
Tahun 680 M: Kesedihan Keluarga Rasulullah SAW (Perang Karbala)
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: Laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Peralihan kekuasaan dari Khalifah Muawiyah kepada anaknya, Yazid bin Muawiyah, menjadi titik kontroversial yang memicu berbagai polemik dan pertentangan pandangan. Bagi banyak pihak, penunjukan Yazid sebagai penerus kepemimpinan dianggap sebagai langkah yang dipertanyakan.

Munculnya pertanyaan tentang kualifikasi dan keabsahan kepemimpinan Yazid menjadi pemandangan umum di kalangan masyarakat. Sikap Yazid terhadap mereka yang menolak untuk membaiatnya semakin menambah ketegangan, dengan penerapan tindakan-tindakan keras terhadap para oposisi.Hal ini terjadi pada penduduk Kuffah dan Basrah, dimana tempat itu menjadi berkumpul sisa-sisa para pendukung Ali bin Abi Thalib, juga terdapat sisa-sisa kaum Khawarij.

Ketika kabar bahwa Husein bin Ali yang menolak untuk membaiat Yazid mencapai telinga mereka, mereka melihat ini sebagai kesempatan untuk melakukan perubahan. Dengan harapan untuk kedatangan Husein, mereka mengundangnya dengan harapan bahwa kedatangannya akan memungkinkan mereka untuk bersatu dan menegakkan kekuasaan yang dipimpin oleh Husein, sambil berupaya menggulingkan pemerintahan Yazid bin Muawiyah.

Gerakan Dari Kuffah

Menanggapi itu Husein bin Ali berhati-hati dengan kemungkinan yang buruk, melihat sepak terjang rakyat Kuffah memiliki sifat yang buruk dalam masa politik sebelumnya. Husein bin Ali memahami pentingnya memverifikasi keaslian undangan yang diterimanya. Oleh karena itu, dia mengirim sepupunya, Muslim bin Uqail bin Abi Thalib, untuk memeriksa secara langsung kebenaran dan keseriusan undangan tersebut.

Muslim disambut dengan hangat oleh penduduk Kuffah, yang dengan semangat menyatakan kesediaan mereka untuk membaiat Husein bin Ali. Kabar baik ini segera disampaikan oleh Muslim kepada Husein yang saat itu berada di Madinah, menimbulkan harapan akan dukungan yang kuat dari penduduk Kuffah dalam upaya Husein untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.

Muslim melaporkan kepada Husein bin Ali dengan sebuah surat bahwasanya mereka mendapatkan dukungan sebanyak 12.000 orang namun ada pendapat yang mengatakan 18.000 orang. Membaca surat tersebut Husein segera bersiap menuju ke tanah Iraq.

Menanggapi hal tersebut sahabat-sahabat yang lain menasihati Husein bin Ali agar tidak berangkat menuju Iraq, dikarenakan melihat rakyat Iraq yang bisa saja berkhianat dan juga tidak kompeten. Beberapa sahabat yang melarang Husein yaitu: Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib, Abu Said Al-Khudri, Abdullah bin Zubair, dan Umrah binti Abdurrahman.

Meskipun telah diupayakan untuk menghalanginya dengan segala upaya, Husein dengan keberaniannya yang kokoh tetap memilih untuk melangkah maju menuju tanah Iraq, tidak sendirian tetapi bersama dengan 72 orang, termasuk anggota keluarganya yang setia.

Mendengar tentang langkah-langkah yang diambil oleh Husein bin Ali, serta gerakan-gerakan yang muncul di Kuffah dan Basrah, Yazid bin Muawiyah segera mengambil tindakan dengan memberhentikan Nu’man bin Basyir, yang saat itu menjabat sebagai gubernur Kuffah (selain karena Nu’man terlalu lembut kepada rakyat Kuffah, konon Nu’man ini juga cenderung berada pada pihak Husein makanya beliau dipecat).

Nu’man digantikan oleh seseorang yang direkomendasikan oleh seorang non-Muslim kepada Yazid, seorang individu yang dikenal sangat kejam dan bengis dalam memerintah, Abdullah bin Ziyad namanya. Menurut beberapa sumber, Abdullah bin Ziyad merancang untuk menyuap penduduk Kuffah dengan jumlah harta yang besar, sambil memperlakukan mereka dengan kekejaman yang tak terbayangkan, dengan tujuan untuk menemukan dan menangkap seorang Muslim bin Uqail.

Dari jumlah awal 12.000 orang yang berada dipihak Husein, sebagian besar mengubah sikap mereka dan berhenti mendukungnya, menyisakan hanya beberapa orang, termasuk di antaranya adalah Muslim bin Uqail. Keadaan seperti inilah yang menggambarkan sifat penduduk Kuffah dan Basrah pada masa itu. Muslim berusaha melaporkan peristiwa ini kepada Husein melalui sebuah surat, namun naas, sebelum surat tersebut dapat sampai ke tangan Husein, Muslim ditangkap dan dieksekusi mati.

Perang Karbala

Ketika Husein bin Ali beserta rombongannya tiba di sebuah tempat yang dikenal sebagai Karbala, terletak di selatan Baghdad, mereka dihadang oleh pasukan yang berjumlah sekitar 4.000 orang yang dipimpin oleh Umar bin Sa’ad bin Abi Waqash (anak dari sahabat Sa'ad bin Abi Waqash). Dalam situasi terkepung yang mencekam itu, Husein terpaksa melakukan perundingan dengan Umar untuk mencari jalan keluar yang damai,

“Izinkan saya kembali ke tanah Madinah, atau bila tidak izinkan aku menghadap Yazid bin Muawiyah untuk berunding”

Umar bin Sa’ad dengan tegas menyatakan,

“Pilihannya hanya dua wahai Husein, menjabat tangan Yazid dan membaiat beliau sebagai khalifah, atau kami perangi!”

Dengan tegas, Husein menolak untuk membaiat Yazid bin Muawiyah. Perlu dicatat bahwa Yazid memerintahkan kepada pasukannya untuk tidak memulai pertempuran kecuali jika provokasi berasal dari pihak Husein.

Kembali ke waktu awal, mendengar hal itu terdapat seorang dari barisan Umar bin Sa’ad memanasinya untuk memerangi Husein. Bila Husein terbunuh, pasukan itu akan diberi hadiah yang berlimpah oleh Yazid bin Muawiyah.

Pertempuran berlangsung, 72 orang yang didalamnya terdapat anak-anak dan perempuan hingga namun menyisakan kurang lebih 30 orang yang bisa bertempur, melawan kekuatan 4.000 orang Syam yang sangat kuat. Meskipun dalam kondisi yang sangat tidak proporsional, dengan keberanian dan kegigihan yang luar biasa, pasukan Husein bertahan dengan gigih dalam pertempuran yang sengit. Namun, akhirnya, mereka harus menghadapi kekalahan yang telak, pasukan Husein berhasil ditumpas dan beliau pun harus wafat dalam pertempuran tersebut.

Kesedihan Yazid bin Muawiyah

Kepala Sayyidina Husein dipenggal dan ditancapkan di ujung tombak, lalu dibawa kepada Abdullah bin Ziyad, kepala itu kemudian dikirim ke hadapan Yazid bin Muawiyah. Dalam keheningan yang penuh berat, air mata mulai mengalir dari mata Yazid, mengungkapkan kesedihan dan penyesalan yang mendalam atas tindakan kejam yang telah terjadi,

“Aku sudah memerintahkan kau untuk tidak berperang wahai ibnu Ziyad! Semoga kamu dilaknat oleh Allah SWT wahai ibnu Ziyad!”

Tidaklah beliau menerima hadiah yang besar sebagai penghormatan, melainkan beliau disergap oleh omelan pedas dari khalifah. Di tengah-tengah umat Islam pada masa itu, kesedihan menyelimuti semua, bahkan Yazid sendiri tak mampu menghindarinya.

Siapa pun yang mendengar kabar bahwa cucu tercinta Rasulullah SAW telah menjadi korban pembunuhan, tak terkecuali Yazid, pasti diliputi oleh rasa sedih yang mendalam.

Meskipun wajahnya mencerminkan kesedihan yang mendalam dan keprihatinan terhadap tindakan para bawahannya, Yazid bin Muawiyah sebenarnya melihat keuntungan dari kematian Husein bin Ali.

Lawan politik yang mengancam posisinya telah lenyap. Ini terlihat dari sikap Yazid terhadap gubernur Kufah saat itu, dia tidak mengambil tindakan apapun terhadap gubernur dan komandan pasukan yang bertanggung jawab atas pembunuhan cucu Rasulullah SAW.

Ini menegaskan bahwa Yazid melihat tragedi ini sebagai penguatan kekuasaannya dan menganggapnya sebagai penyelesaian atas perlawanan politik yang mengganggu stabilitas pemerintahannya.

Wafatnya Husein bin Ali membawa suasana duka yang mendalam sepanjang tahun tersebut, menciptakan apa yang kemudian disebut sebagai masa fitnah kedua. Kematian Husein juga memicu kemarahan di antara berbagai kelompok di Madinah dan Mekkah, terutama di kalangan pendukung Abdullah bin Zubair. Akibatnya, Abdullah bin Zubair kemudian membentuk sebuah gerakan yang bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan Yazid bin Muawiyah. []


Sumber:

1. Dr. Thaqqusy, Muhammad Suhail. 2022. Sejarah Islam: Dari Arab Pra-Islam Hingga Runtuhnya Khilafah Utsmani. Jakarta Selatan: PT Qaf Media Kreativa.

2. Dr. Al-'Isy, Yusuf. 2012. Dinasti Umawiyah: Sebuah perjalan lengkap tentang peristiwa-peristiwa yang mengawali dan mewarnai perjalanan Dinasti Umawiyah. Jakarta Timur. PUSTAKA AL-KAUTSAR

----------------

Penulis: Muhammad Iqbal Rabbani

Editor: Kholaf Al Muntadar