Belajar Toleransi Agama dari Fakfak Papua dengan Filosofi “Satu Tungku Tiga Batu”

 
Belajar Toleransi Agama dari Fakfak Papua dengan Filosofi “Satu Tungku Tiga Batu”
Sumber Gambar: kemenag.go.id, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Sebagai masyarakat Indonesia, kita menyadari bahwa agama tidak pernah bisa terlepas dari kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila, tidak lain mencerminkan akan hal itu. Karena bangsa Indonesia telah bersepakat untuk berketuhanan, maka konsekuensi yang harus diterima adalah bersikap toleran kepada pemeluk agama lain yang berbeda.

Toleransi agama akan selalu menjadi pembahasan krusial di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan latar belakang masyarakat Indonesia yang agamis, yang mempunyai kepercayaan, meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa, meskipun berbeda-beda agama yang dipeluknya.

Tetapi konflik atas nama agama di tengah masyarakat juga tidak jarang terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan agama yang sensistif sering kali menjadi “pemicu” terjadinya konflik. Selain itu, terkadang kepentingan politik memanfaatkan adanya konflik yang mengatasnamakan agama tersebut. Karena itu, kesadaran untuk membangun toleransi agama harus dibangun sejak dini dan perlu menjadi bagian yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari.

Dalam laporan yang dilansir dari BBC News Indonesia berupa artikel yang berjudul ‘Satu tungku tiga batu’ - Warisan leluhur Fakfak di Papua yang ‘melampaui toleransi’ tetapi dikritik kalangan muda”, kita bisa menemukan fakta menarik dalam belajar toleransi agama di Fakfak, Papua.

Dikatakan bahwa toleransi agama di Fakfa telah ada sejak dahulu, bahkan sebelum abad ke-19. Para leluhur masyarakat Fakfak telah membangun semacam kesepakatan untuk hidup damai saling berdampingan dan saling membantu, meski berbeda agama.

Perang suku yang tak berkesudahan berabad-abad lalu membuat para leluhur di Fakfak, Papua Barat, bersumpah untuk hidup damai. Kemudian mereka mewariskan falsafah yang dalam bahasa setempat disebut "Idu-Idu Maninina" yang berarti "kami ingin damai".

Sumpah itu melahirkan istilah "agama keluarga" yang sarat nilai toleransi. Istilah tersebut merujuk keadaan ketika dalam satu marga dan kerabat dekat terdapat sejumlah anggota keluarga yang menganut agama Islam atau Kristen Protestan atau Katolik. Perbedaan agama yang ada dalam satu keluarga tersebut terjalin damai dan penuh toleransi, bahkan bisa dikatakan melampauinya. Karena mereka mampu melampaui batas-batas "kerangkeng agama".

Adanya toleransi di antara tiga agama dalam satu keluarga yang telah mengakar tersebut kemudian mendorong pemerintah setempat menciptkan slogan “Satu tungku tiga batu”. Sebuah ajaran leluhur yang juga menjadi simbol kearifan lokal.

Adalah fakta, bahwa toleransi agama dalam satu keluarga merupakan hal yang sejak lama diajarkan oleh para leluhur masyarakat Fakfak yang telah bersumpah untuk senantiasa hidup berdampingan dengan damai, tanpa kecurigaan dan ancaman. Karena itu, jika suatu kesempatan terjadi konflik di antara mereka, maka kehendak untuk saling memahami dikedepankan daripada mencari pembenaran.

Dengan toleransi yang dibangun dalam keluarga dengan tiga agama yang berbeda itu, maka ketika momen acara keagamaan masing-masing saling membantu. Ketika yang Muslim menjalani puasa di bulan Ramadhan misalnya, maka yang lain biasanya membantu menyiapkan hidangan sahur dan berbuka. Dan ketika Lebaran tiba, umat Kristen Protestan dan Katolik juga ikut merayakan dan membantu keperluan yang dibutuhkan.

Sebaliknya, demikian pula yang dilakukan oleh umat Islam di Fakfak, mereka juga membantu saudaranya yang beragama Kristen Protestan atau Katolik dalam momen-momen acara keagamaan. Misalnya, ketika Hari Natal tiba, umat Islam di Fakfak juga membantu keperluan yang dibutuhkan dan turut mengucapkan selamat atas perayaan tersebut. Begi juga terkait dengan acara-acara keagamaan yang lainnya. Jadi kesepakatan dan kesadaran untuk saling membantu dan hidup berdampingan dengan damai telah mengakar dan mendarah daging di dalam jiwa masyarakat Fakfak, Papua.

Belakangan semangat toleransi agama di Fakfak sedikit bergeser dengan adanya kepentingan politik yang mempengaruhinya. Namun, berkat kearifan lokal yang dijaga dengan baik oleh masyarakat setempat, maka toleransi tersebut terus diajarkan dan ditanamkan di dalam jiwa anak-anak mereka.

***

Sedikit refleksi dari fakta kehidupan yang penuh toleransi di Fakfak itu, kita akan menemukan bahwa dahulu Rasulullah SAW juga pernah menanamkan semangat toleransi tersebut. Bahkan, dalam satu kesempatan Rasulullah SAW memerintahkan sahabatnya untuk membantu umat Nasrani yang hendak membangun tempat ibadahnya. Dan bantuan yang dimaksud itu bukan dikehendaki sebagai utang, melainkan murni membantunya sebagaimana dalam membantu saudara seiman.

Selain itu, di dalam Kitab As-Sirah An-Nabawiyah, Ibnu Ishaq mencatat bagaimana Rasulullah SAW memperlakukan umat Nasrani Najran dengan sangat baik ketika mereka berkunjung. Lalu disebutkan beliau sempat meminta sahabat Ali bin Abi Thalib untuk menulis sebuah perjanjian yang kemudian dikenal dengan Perjanjian Najran. Dalam surat tersebut, Rasulullah menjamin kesalamatan Bani Najran, dan Nabi melarang untuk menyakiti anak-anak, wanita, dan para pemuka agama Najran. Beliau juga melarang keras umat Islam agar tidak menghancurkan Gereja.

Dalam perjanjian tesebut tertulis:

“Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha penyayang. Ini adalah surat dari Nabi Rasulullah Muhammad kepada Najran; Bagi penduduk Najran dan sekitarnya jaminan dari Allah dan Nabi Muhammad utusan Allah atas agama, tanah, harta, dan kafilah mereka, baik yang hadir maupun tidak hadir. Semisal mereka tidak mengubah apa yang sudah ada dan tidak mengubah hak-hak mereka.Uskup, pendeta, dan penjaga gereja mereka tidak boleh diganggu apa yang ada di tangan mereka baik sedikit ataupun banyak. Mereka tidak boleh diusir dari tanah mereka, dan tidak boleh diambil 1/10 dari mereka. Tanah mereka tak boleh diinjak oleh tentara.”

Toleransi yang dilakukan Nabi Muhammad, diikuti pula oleh sahabat beliau yang lain, bahkan setelah beliau wafat. Disebutkan di dalam Kitab Tarikh At-Thabari, bahwa setelah Umar bin Khattab diangkat menjadi seorang Khalifah, pelbagai kebijakannya banyak berpihak pada Nonmuslim. Padahal dalam masa kepemimpinannya, wilayah yang dikuasai sudah sampai ke Asia Tengah. Ketika itu Islam sudah jadi imperium baru kekuatan dunia, sekitar sekitar tahun 22 Hijriyah.

Penghormatan Umar bin Khattab pada Nonmuslim misalnya terlihat ketika penaklukan Al-Quds. Khalifah Umar membuat perjanjian damai dengan Palestina, bahwa kendatipun Islam berkuasa, namun penduduk bebas menjalankan keyakinan agama mereka, dan umat Islam tak diperbolehkan mengganggu gereja dan sinagog yang ada.

Demikian pula yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz ketika menjadi Amirul Mukminin di masanya. Beliau pernah membatalkan pembangunan masjid yang dibangun di atas bekas Gereja Yohanes.

Umar bin Abdul Aziz menerima protes dan pengaduan umat Nasrani di Damaskus terkait kebijakan yang telah diputuskan oleh pemimpin sebelumnya, yakni Walid bin Marwan. Akhirnya Umar bin Abdul Aziz membangun kembali Gereja Yohanes, sebagaimana yang dikehendaki oleh masyarakat Damaskus dan sebagian besar umat Islam yang setuju akan hal itu, sebab memang sejak dahulu gereja tersebut terjaga dan terawat dengan baik.

Demikian itu mestinya menjadi rujukan umat Islam dalam bersikap. Lantas, apakah tindakan Rasulullah, sahabat dan generasi penerusnya dalam menjaga toleransi beragama tersebut dianggap berlebihan? Bagaimana mungkin menganggap demikian, padahal Islam itu adalah agama yang diajarkan oleh Rasulullah SAW?

Jadi, tidak dibenarkan ketika umat Islam membantu saudaranya yang berbeda agama, kemudian dianggap melampaui batas, apalagi disebut telah keluar dari ajaran Islam.

Lebih arif dan bijaksana itu perlu. Sebab kebiasaan menuding dan menuduh itu biasanya karena ketidaktahuan atau karena kebencian. Sedangkan Islam menjauhi kedua hal itu. []


Penulis: Hakim

Editor: Roni