Inilah Arti Kata Barokah yang Biasa Diucapkan Masyarakat Nusantara

 
Inilah Arti Kata Barokah yang Biasa Diucapkan Masyarakat Nusantara

Kata “berkah” atau “berkat” atau “barokah” berasal dari bahasa arab albarakah (البركة .(Di dalam kamus-kamus Arab, al-barakah memiliki arti pertumbuhan, pertambahan, kebaikan. Jika mengkaji konteks makna berkah yang ada di dalam Al-Qur’an dan hadits, maka berkah mengandung makna “manfaat” atau inti dari kebaikan sesuatu. Ar-Râghib al-Asfihânî mendefinasikan albarakah sebagai “tsubût al-khair al-ilâhî fî syai’ (tetapnya kebaikan Tuhan di dalam sesuatu).” (al-Asfihânî, 2000:87). Sementara dalam kamus Al-Munawwir, kata ini diterjemahkan sebagai nikmat (Munawwir, 1997:78). Dengan demikian, apabila sesuatu dikatakan berkah, artinya sesuatu itu memiliki banyak kebaikan dan kenikmatan yang bersifat tetap, karena dijadikan demikian oleh Allah Swt.

Kata berkah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi dua bentuk yang berbeda, yaitu “barokah” dan “berkat”. Keduanya memiliki makna yang serupa tapi tak sama. “Berkah” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:179) yang masuk dalam kelas kata nomina memiliki makna ‘karunia Tuhan yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia’. Sedangkan kata “berkat” dalam KBBI Pusat Bahasa, memiliki dua makna yang berbeda (homonim). Kata berkat yang pertama memiliki empat makna, yaitu: 1. karunia Tuhan yang membawa kebaikan dalam hidup manusia; 2. doa restu dan pengaruh baik dari orang yang dihormati (guru); 3. makanan dan sebagainya yang dibawa pulang sehabis kenduri; 4. mendatangkan kebaikan atau bermanfaat (2008:179-180). Berdasarkan kelas katanya, kata berkat dalam arti 1, 2, dan 3 berkedudukan sebagai nomina. Sedangkan arti yang keempat merupakan verba yang digunakan dalam ragam cakap.

Sedangkan kata “berkat” yang kedua yang terdapat dalam KBBI berkedudukan sebagai partikel yang searti dengan karena dan akibat (2008:180). contoh: berkat bantuannya kami dapat pulang segera, sama dengan karena bantuannya kami dapat segera pulang. 

Dalam ragam cakap (Jawa khususnya), lebih sering diucapkan berdasarkah pelafalan bahasa Arab /barokah/. Kata barokah yang digunakan dalam bahasa Indonesia merujuk pada rahmat/nikmat dari tuhan. Selain itu, juga merujuk pada berkah yang bermakna doa restu orang suci. Akan tetapi, pada dasarnya keduanya merupakan hal yang sama. Barokah dari kiai misalnya, merupakan berkah dari Tuhan. Mendapat berkah (barokah) dari Tuhan karena didoakan oleh orang yang suci. Jadi, pada dasarnya rahmat dan nikmat tetaplah dari Tuhan. Selain berkah dan barokah, kata berkat juga sering digunakan dalam ragam tutur (khususnya Jawa) yang sama persis artinya dengan arti yang ketiga dalam KBBI, yaitu makanan yang dibawa sepulang kenduri.

Dalam masyarakat tutur Jawa yang suka otak-atik-gathuk (cara mencari asal-usul dari yang sudah ada), berkat (biasa juga dilafalkan /brekat/) memiliki arti mari dibrekno diangkat, setelah diletakkan kemudian diangkat. Memang dalam kenduri yang berlaku dalam masyarakat begitu adanya. Makanan yang telah dibungkus dalam kotak atau wadah lain, dibagikan dengan cara diletakkan di hadapan peserta kenduri kemudian diangkat oleh masing-masing peserta untuk dibawa pulang.

Oleh karena sangat luasnya makna kata berkah tersebut, dalam Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia (TABI), kata berkah memiliki sinonim yang tidak sedikit. Dalam TABI Pusat Bahasa, berkah bersinonim dengan bantuan, berkat, hidayah, hidayat, inayat, karunia, kebahagiaan, kurnia, pangestu, pertolongan, rahmat, restu, sempena, dan tuah (2009:83). Kata berkah ini berantonim dengan musibah.

Pada dasarnya, hidayah dan hidayat; kurnia dan karunia; bantuan dan pertolongan; rahmat, hidayah dan inayah; memiliki makna yang sama, dan sudah sering didengar oleh masyarakat luas. Yang terasa masih asing adalah tuah dan sempena. Sempena dalam KBBI diberi label (kl) yang berarti kata yang digunakan dalam ragam melayu klasik, suah jarang digunakan dalam percakapan dewasa ini dan searti dengan kata tuah. Kata tuah selain memiliki arti berkat (berkah) juga memiliki arti keramat dan sakti.

Dari sekian banyak pengertian barokah, berkah, dan berkat di atas, maka hidup seseorang akan indah bila digunakan untuk mencari berkah. Dengan kata lain, agar kehidupan dapat dinikmati dengan penuh kebahagiaan, maka seyogianya digunakan untuk mencari nikmat yang berasal dari Tuhan, bukan nikmat duniawi semata.

Dalam perkembangannya, umat Islam Nusantara kerap melakukan kegiatan mencari keberkahan hidup yang biasa dikenal dengan istilah ngalap berkah (jawa). Ngalap berkah adalah suatu kegiatan untuk mencari manfaat dan kebaikan dari suatu Dzat, benda, manusia atau sesuatu yang dianggap memiliki manfaat dan kebaikan yang dicari manusia tersebut. Dalam bahasa Arab ngalap berkah dapat disebut dengan istilah tabarruk yang kemudian di Jawa dikenal dengan tabarukan. Bertabarruk dengan sesuatu berarti mencari berkah (manfaat/ kebaikan) dengan perantaraan sesuatu tersebut. (Ibnu al-Atsîr, 1/120).

Secara sosiologis, manusia, bahkan makhluk yang lain, memang mempunyai hasrat yang sama untuk menginginkan keberkahan hidup, baik dalam bentuk materi, kesehatan atau hal-hal lain yang dibutuhkan makluk tersebut. Nah, untuk mendapatkan berkah tersebut, manusia akan berusaha sekuat tenaga walaupun usaha tersebut belum tentu masuk akal atau baik bagi orang lain. Karenanya, praktik ngalap berkah dapat dilakukan pada tempat-tempat tertentu yang dianggap keramat (suci dan bertuah yang dapat memberikan efek magis), seperti kuburan para wali, pohon-pohon yang dianggap keramat atau bangunan-bangunan tua. Kegiatan tersebut biasanya juga dilakukan pada waktuwaktu tertentu seperti, selasa kliwon, jumat kliwon atau hari-hari yang dianggap keramat.

Seiring dengan masuknya Islam ke Nusantara, tradisi ngalap berkah yang demikian itu “diislamisasi” dengan merubah orientasi dan tujuan ritualnya, bahkan ada juga yang dirubah bentuk ritusnya. Para pendakwah Islam awal seperti wali songo di Jawa, telah berhasil menyuntikkan nilai-nilai Islam dalam tradisi ngalap berkah, sehingga ia menjadi aktifitas yang dilakukan dengan cara berdoa dan munajat yang ditujukan hanya kepada Allah Swt, Dzat yang Maha Pemberi barakah. Cara lain untuk mendapatkan berkah misalnya adalah dengan bekerja keras, karena bekerja juga merupakan kegiatan untuk mencari keberkahan atau kebermanfaatan. Dengan demikian ngalap berkah tidak lagi berkaitan dengan sesuatu yang mistis (magis), tapi menjadi ritual yang ditujukan dan dipersembahkan untuk Allah Swt.

Dalam perkembangannya kemudian, ngalap berkah (tabbaruk) dikategorikan oleh para ulama menjadi dua macam yaitu; tabarruk yang diketahui secara pasti atau ada dalilnya bahwa sesuatu tersebut mendatangkan barokah, dan tabarruk yang dikategorikan salah kaprah karena bertentangan dengan ajaran Islam. Baik tabrruk kategori pertama dan kedua mencakup beberapa bentuk, bias tabarruk dengan perkataan dan perbuatan, tempat, waktu, makanan atau minuman dan dengan Nabi Saw.

Contoh tabarruk kategori pertama misalnya membaca Al-Qur’an, berdzikir, belajar ilmu agama dan mengajarkannya, makan dengan berjamaah dan menjilati jari sesudah makan (perkataan & perbuatan), i’tikaf di masjid, tinggal di Mekkah, Madinah atau Syam (tempat), beribadah di malam Lailatul Qodar, banyak berdoa di waktu sahur, shalat di sepertiga malam terakhir (waktu), meminum madu dan air zam-zam, memakai minyak zaitun, mengonsumsi jintan hitam (makanan & minuman), dan berebut ludah Nabi Saw, mengambil keringatnya, mengumpulkan rontokan rambutnya ketika beliau masih hidup, dan berziarah ke makan beliau.

Adapun contoh tabarruk kategori kedua (terlarang) adalah meminta kekayaan kepada Nyai Roro Kidul (penjaga laut selatan) di Yogyakarta, berobat dengan benda-benda keramat seperti keris dan semacamnya tanpa meminta pertolongan kepada Allah, berebut kotoran “Kyai Slamet” yang biasa dilakukan di Surakarta dan lain-lain. Kehadiran Islam di Nusantara telah berhasil memberikan warna profetik-monoteistik terhadap ritus keagamaan ngalap berkah yang telah menjadi tradisi dan diwarisi dari generasi ke generasi. [M. Ulinnuha]

Sumber Bacaan:

Munawwir, A.W. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997). Sugono, Dendy (peny.), Kamus Besar Bahasa Indoesia Pusat Bahasa edisi keempat. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008) Sugono, Dendy (peny.), Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: Mizan, 2009). Ibnu al-Atsir, an-Nihayah fi Gharib al-Hadits, (Kairo: Bab el-Halabi, t.th.), Juz, 1


SUMBER : ENSIKLOPEDI ISLAM NUSANTARA (Edisi Budaya)