Kitab Shahih Bukhari di Mata Seorang Muallaf

 
Kitab Shahih Bukhari di Mata Seorang Muallaf

LADUNI.ID - Kitab Shahih Bukhari seharusnya dilarang beredar dimanapun“, ucap seorang kawan muallaf yang asli Jerman sekitar pertengahan tahun 2018 lalu. Kawan ini baru saja mengucap dua kalimat syahadat sekitar tiga bulanan sebelumnya murni dengan inisiatifnya sendiri.

Satu kejadian, diantara banyak lainnya, yang menambah bulat tekadnya untuk masuk Islam yaitu seorang kawan muslimnya yang ia baru kenal dan ajak makan ternyata malah membayarinya. Sesuatu yang musykil di Jerman; ajakan makan diluar biasanya dibayar dengan uang masing-masing. Kawan muslim tadi tak bersedia menerima uang darinya meskipun ia memaksa.

Tak membutuhkan waktu lama baginya untuk memahami dinamisasi dalam Islam, salah satunya karena ia memiliki banyak kawan dari Timur Tengah yang sebagiannya juga merupakan pengungsi dari Afganistan, Syria, atau negara-negara lainnya.

“Apa maksud pernyataanmu tadi?”, saya bertanya meskipun rasa kaget saya belum reda. “Tentu kamu tahu bahwa sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an adalah hadits, kan?“, tambahku. Saya pun protes kepadanya dengan mengatakan bahwa mayoritas muslim sedikit banyak adalah “produk“ shahih Bukhari bersama dengan kitab-kitab hadits masyhur lainnya, karenanya ucapannya diatas tak masuk akal.

“Aku tak khawatir bila kalian dari Nahdlatul Ulama yang membacanya. Yang aku khawatirkan adalah orang-orang awam seperti aku membacanya, kemudian memahaminya hanya secara tekstual. Tak hanya itu, aku percaya bila beberapa hadits didalamnya seharusnya tak perlu terus diajarkan di masa kini karena tak relevan lagi. Bila kemungkinan kedua ini yang terjadi, aku bisa mengerti mengapa ada orang-orang yang simpatik terhadapISIS  bersama ideologinya“, segera ia menjawab.

Bukannya reda, kekagetan saya malah bertambah dengan jawabannya yang menyebut-nyebut Nahdlatul Ulama (NU). “Dari mana kamu tahu NU?”, tanyaku kembali. Ia kemudian menjelaskan bila saat awal berkenalan dengan saya, ia sudah mengetahui bila saya sedang berkhidmat di PCI NU Jerman.

Ternyata ia telah mengerjakan pekerjaan rumahnya: mencari tahu tentang NU dan mempelajarinya. Sedikit banyak akhirnya ia memahami bahwa corak yang dominan dalam NU adalah jalan tengah antara teks-teks agama dengan konteks yang berlaku. Karenanya ia lebih menyukai fatwa-fatwa ulama-ulama NU yang baginya terasa lebih berimbang, mengakomordir, dan toleran.

“Apalagi bila menyoal hak asasi manusia dan pemberdayaan perempuan. Aku sama sekali tak menduga menemukan sebuah organisasi Islam sebesar dan seprogresif NU di Indonesia”, tutupnya.

Oleh: Muhammad Rodlin Billah

Aktivis PCINU Jerman