Panca Kesadaran Santri

 
Panca Kesadaran Santri

oleh:  Ach Dhofir Zuhry

LADUNI.ID, Jakarta -  Apakah Anda memiliki anak dan atau murid yang sulit diatur? Apakah Anda pernah menjumpai kelompok masyarakat yang enggan untuk diajak maju? Sebenarnya, mereka yang memang sulit diatur sebenarnya bukan tidak mau dididik, mereka yang nakal bukan enggan menjadi baik, tapi kerap kali orang tua, para guru, kiai dan pemimpin lupa bahwa anak-anak mereka adalah putera zaman, anak sang waktu dan kehidupan.

Nah, jika para santri adalah calon pengayom dan pendidik umat, idealnya mereka harus mempersiapkan dan menempa diri untuk menjadi orang tua bagi segala jenis kemungkinan masyarakat yang kelak akan mereka hadapi.

Mestinya setiap orang menjadi penghebat, penyemangat, pendamai, penyuluh, pecinta dan bahkan pelita bagi dirinya sendiri. Apa sebab? Kegelapan tidak pernah ada, kecuali bagi mereka yang enggan dan malas menggapai cahaya. Kebencian itu tak pernah ada, benci adalah nama lain bagi cinta yang diciderai dan disakiti. Begitu pula najis, ia tidak pernah ada. Najis dan kotor ada karena manusia enggan menjaga kesucian dan kebersihan. Akan tetapi, karena kesadaran adalah barang langka, harus selalu ada yang melestarikannya. Hal ini bukan semata ilmu, tapi juga mendialogkan ilmu dengan kehidupan.

Dalam ilmu, kesalahan nyaris selalu mendahului kebenaran, itulah mengapa kesimpulan para ilmuwan acapkali 99 kali adalah keliru, barulah yang ke-100 benar. Namun demikian, dalam keseharian, Anda tidak harus berpengetahuan dulu baru bertindak. Teramat banyak tindakan kita lebih digerakkan oleh intuisi dan keyakinan dari pada pengetahuan. Bahkan, tak jarang, tindakan manusia berdasarkan imajinasi sosiologisnya.

Ilmu pengetahuan pun juga telah mengalami reduksi dan penyempitan ruang, terutama saintek, terutama lagi pasca revolusi newtonian dan freudian. Ilmu sebatas fisika dan perilaku manusia adalah ketaksadaran belaka. Padahal, intuisi adalah ilmu, ilham dan wahyu juga ilmu, bahkan para santri sangat percaya dengan adanya ilmu Ladunni, yakni ilmu yang langsung dari Allah, tanpa melalui proses pembelajaran konvensional.

Begitu pula dengan perilaku dan tindakan manusia, para penganut Sigmund Freud meyakini bahwa tindakan manusia digerakkan oleh ketaksadaran atau pikiran bawah sadar. Ketaksadaran yang dimaksud adalah “program otomatis” di mana manusia berbuat dan bertindak berdasarkan isi program tersebut. Pandangan ini jelas bertentangan dengan dunia Timur dan khususnya Islam. Bahkan, filsuf dan sufi agung, Al-Ghazali sangat memberikan kedudukan yang istimewa untuk akal.

Nah, jika tidak semua ilmu akan mengantarkan manusia pada kesadaran, lantas, kesadaran macam apakah yang menjadi pusaka para santri di Pesantren? Adalah KH. Zaini Mun’im (w.1976), pendiri PP Nurul Jadid Paiton-Probolinggo yang mencetuskan Panca Kesadaran Santri dan otomatis para Santri wajib menjalankannya sebagai pusaka dan pedoman hidup. Lima kesadaran itu adalah: (1) Kesadaran beragama, (2) Kesadaran berilmu, (3) Kesadaran berorganisasi, (4) Kesadaran bermasyarakat, (5) Kesadaran berbangsa dan bernegara.

Kesadaran beragama. Hal ini jelas tidak cukup bagi para santri untuk sekadar tahu dan alim soal agama, tetapi juga menyadari dan lalu menyadarkan orang lain perihal visi-misi agama, muatan agama, ajaran cinta-kasih dan moralitas dalam agama, bukan malah memperjual-belikan agama demi kepentingan perut dan jabatan semata-mata. Di tangan para santri, agama sangat dipertaruhkan, ia bisa menjadi payung horizontal dan penyambung tali silaturrahmi untuk saling menyadarkan dan mengingatkan.

Kesadaran berilmu. Adalah kesadaran akan pentingnya menguasai ilmu, segala ilmu, tanpa terkecuali saintek dan ilmu digital, karena kemajuan hanya mungkin diraih dengan pengetahuan, bahkan tiap kronik perubahan zaman dan masa, meneropong masa depan sampai angkasa, hanya mungkin dijangkau oleh ilmu, menggagas pembangunan bangsa dan Negara, lagi-lagi dengan ilmu. Kesadaran berilmu juga bermakna kesadaran untuk mendayagunakan pengetahuan demi kemanusiaan dan kemaslahatan, bukan untuk kehancuran dan pemusnahan, sebab pengkhianatan dan perselingkuhan seorang ilmuwan jauh lebih berbahaya dari pada 1000 kesalahan 1000 orang awan sebanyak 1000 kali.

Kesadaran berorganisasi. Tanpa yang satu ini, kebaikan dan kebenaran pun akan semrawut dan gampang dikalahkan oleh keculasan dan kepalsuan. Oleh karena itu, berorganisasi harus ditanamkan sejak dini. Dan, Pesantren telah mengajarkan prinsip dan kesadaran ini bahkan sejak di dalam kamar, lalu asrama, forum ngaji, sekolah, madrasah, perkuliahan, bahkan berdasarkan daerah asal-usul santri. Hal ini jelas untuk mendidik santri agar memahami banyak karakter manusia melalui organisasi, belajar menyampaikan pendapat, menerima saran dan kritik orang lain, belajar perilaku organisasi serta etika dalam berorganisasi.

Kesadaran bermasyarakat. Ya, tiap individu adalah bagian dari masyarakat. Tidak ada satu manusia pun yang independen dan terbebas dari orang lain. Maha filsuf Aristoteles menyatakan bahwa manusia adalah zoon politikon, yakni makhluk sosial, bukan makhluk individual. Dan, Pesantren adalah gambaran dan simulasi bagi kehidupan masayarakat luas dengan berbagai persoalannya. Sementara itu, masyarakat adalah tempat di mana santri akan mengamalkan ilmu dan baktinya. Dinamika masyarakat sangat kompleks, bahkan multikompleks, sehingga kesadaran bermasyarakat berarti kesadaran untuk manjadi bagian dari mereka, mendidik dan mencerdaskan mereka. Oleh karena betapa tinggi apresiasi dan penghargaan masyarakat kepada kaum santri, sehingga setiap orang tua hampir pasti menjodohkan anak-anak mereka dengan santri. Dengan kata lain, di bursa perjodohan, rating para santri terus menanjak dan laris-manis.

Yang terakhir, kesadaran berbangsa dan bernegara. Sebuah kesadaran yang kini telah mengalami pergeseran makna dan perumitan bentuk. Inilah rahasia mengapa para santri tidak menjadi kelompok Islam radikal dan terlibat jaringan teroris. Sejak mula, mereka memang terlibat dalam perjuangan kemerdekaan dan mempertahankan kedaulatan NKRI. Nasionalisme dan patriotisme ini memuncak dalam momentum resolusi jihad pada 22 Oktober 1945 sehingga pertempuran 10 November Indonesia meraih kemenangan atas tentara Sekutu. Sekali lagi, mengapa kaum santri sanggup melakukan bela pati dan menjadi martir (syahid) demi bangsa dan negaranya kini terjawab sudah. Nah, pasca kemerdekaan kaum sarungan kini akan sangat ditunggu peranannya oleh masayarakat, umat, bangsa dan Negara. Apakah panca kesadaran itu masih berdenyut di jantung kita, mengalir dalam darah kita? Adakah ia sebatas kenyataan atau sejatinya tantangan bagi kaum santri untuk membangun peradaban sarung di negeri ini?

Salam ta’dzim

_____
Penulis adalah alumni PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo, penulis buku best seller PERADABAN SARUNG (Veni, Vidi, Santri)