Distingsi Islamisasi, Pribumisasi, dan Islam Nusantara

 
Distingsi Islamisasi, Pribumisasi, dan Islam Nusantara

LADUNI.ID - Kehadiran Islam di bumi Nusantara ini ditengarai sejak abad ke-7 Masehi atau sekitar abad pertama Hijriah. Lalu lalang kapal-kapal pedagang Arab, Persia dan India yang menjadikan Malaka sebagai mata rantai pelayaran menjadi penanda masuknya Islam ke bumi Nusantara. Walau waktu itu eksistensi Islam masih sangat minim, namun diperkirakan oleh banyak ahli sejarah bahwa waktu itu sudah terdapat penduduk pribumi yang memeluk agama Islam. Memasuki abad ke-13 Islam semakin menampakkan wujud eksistensinya, menyusul ditemukannya situs pemakaman Islam di pusat-pusat politik Hindu di Majapahit, sekaligus hal tersebut  menjadi penanda yang cukup berarti bercokolnya Islam di bumi Nusantara ini.

Keberislaman Nusantara hingga kini memasuki usia yang cukup tua. Relasi doktrin dan budaya melebur menjadi satu, melahirkan suatu keberagamaan yang unik. Berabad-abad keberagamaan yang unik tersebut menjadikan Islam sebagai agama yang hidup dan dapat menghidupi pemeluknya (sholihun likulli zaman wa makan). Islam menjadi pelindung khazanah kebudayaan Nusantara, hal itu terbukti sampai berabad-abad pemeluk Islam di negeri ini masih tidak asing dengan tradisi nyekar, tahlilan tujuh harian pasca kematian dan sejumlah tradisi lokal lainnya yang masih bersemi hingga sekarang. Selain dalam bentuk ritus, keberagamaan yang unik tersebut juga melahirkan produk pakaian khas muslim Nusantara seperti peci, sarung dengan gaya pemakaiannya yang khas. Konon produk ritus dan produk pakaian tersebut menjadi penanda Islam Nusantara.

Sejatinya masih banyak produk budaya lainnya yang dapat ditonjolkan dari hasil perkawinan doktrin dan budaya. Dari sektor pendidikan misalnya, ada pesantren sebagai tempat pembelajaran agama dan budaya sehingga Islam sebagai agama tetap diterima dengan ramah oleh masyarakat. Keberadaan pesantren selain sebagai lembaga pendidikan Islam juga berfungsi sebagai urat nadi ekonomi masyarakat sekitar. Sejauh pengetahuan penulis selama ini, pesantren yang betul-betul dikelola dan disadari sebagai medium perubahan umat akan mempunyai daya kemandirian yang kokoh. Sehingga pada realitasnya, masyarakat sekitar pesantren juga kecipratan berkah finansial para santri yang mengaji di pesantren tersebut, dan jauh setelah itu para alumni pesantren juga lebih mempunyai kematangan mental untuk berkreatifitas dalam menopang kebutuhan hidupnya.

Sejarah sukses Islam bergandeng mesra dengan budaya seperti yang dituturkan di atas tentu menyimpan suatu gagasan fundamental. Gagasan kelenturan Islam menerima budaya serta budaya yang juga ramah menerima Islam tentu dua realitas yang saling mendukung. Keduanya bukan dua realitas yang harus dibenturkan, namun untuk sampai pada kesadaran tersebut harus dimulai dari tahapan pemahaman yang rigit. Proses memberi dan menerima antara doktrin dan budaya tersimplikasi dalam sejumlah term, setidaknya terdapat dua term gagasan yang cukup terkenal, yaitu Islamisasi Nusantra dan Pribumisasi Islam.

Mencuatnya dua term tersebut mengundang banyak respon dari berbagai kalangan. Setidaknya ada tiga bentuk respon, pertama kelompok muslim yang sama sekali menolak dua gagasan tersebut, dengan alasan keberislaman itu harus kembali kepada akarnya (puritanisme). Disinilah bid’ah, sesat dan kafir sering disandangkan kepada kelompok muslim yang berkolaborasi pada budaya. Prinsip pendekatan berfikir dari kelompok ini bersifat doktrinal-teologikal, dimana amalan dan manifestasi keberagamaan terbujur kaku seperti ujaran teks yang mandeg.

Kelompok kedua, adalah kelompok yang mempunyai kesadaran berbudaya namun sangat khawatir kehilangan Islam. Kelompok ini lebih senang menyebut perkawinan doktrin dan budaya sebagai  Islamisasi Nusantara. Term tersebut dipandang lebih etis, Islam berada sebagai posisi subyek dan budaya sebagai obyek. Sehingga dengan demikian, Islam sebagai doktrin tetap berada pada posisinya yang sakral tanpa ada kesan unsur lain yang menodainya. Kelompok ini terlihat sangat hati-hati oleh karena dihantui oleh kekhawatiran yang berlebihan akan hilangnya Islam di Nusantara ini. Berbagai unsur baru yang secara kasat mata mengsampingkan Islam akan dianggap sebagai terobosan yang harus diwaspadai. Pribumisasi Nusantara salah satu gagasan yang juga dianggap berlebihan dan mengancam eksistensi Islam di Nusantara.

Kelompok ketiga, adalah kelompok muslim yang mempunyai percaya diri cukup besar pada kearifan budaya Nusantara. Kelompok ini memandang kearifan ajaran Islam itu sudah terdapat di dalam budaya Nusantara jauh sebelum Islam datang. Maka kedatangan Islam bukan dalam rangka mengubah budaya, tapi untuk berdamai dengan budaya, oleh karena di dalam budaya itu sendiri sudah terdapat kearifan Islam. Maka jargon terobosan dari kelompok ketiga dikenal dengan pribumisasi Islam.

Dari ketiga respon di atas, masing-masing kelompok mempunyai titik tolak dan terminal masing-masing. Namun demikian, telaah konstruktif tanpa benci tentu adalah hal yang wajar. Respon kelompok yang pertama cenderung sangat utopis dalam kontek ke-Nusantraan, bahkan dapat dikatakan terlalu mengabaikan sejarah sukses perkawinan doktrin dan budaya yang telah membesarkan bangsa. Sedangkan kelompok yang kedua, terlalu memandang rendah budaya Nusantara, sehingga pada setiap lininya perlu dimasuki dan dilebeli Islam. Pada kelompok ketiga, merupakan kebalikan dari kelompok yang kedua, dimana kelompok ini agak menyamakan sakralitas Islam dengan budaya, pada sisi yang lain juga dapat dikatakan melupakan adanya budaya yang tidak sesuai dengan kearifan Islam.

Lalu, jika kelompok pertama adalah hal yang utopis, akankah Islamisasi Nusantara atau Pribumisasi Islam yang relevan untuk sekarang?.

Untuk menjawab pertanyaan di atas perlu kirannya penulis menyampaikan mengenai budaya Nusantara secara ontologis. Secara sederhana, ontologi relasi budaya dan agama dapat dibedakan menjadi tiga bagian. Pertama, budaya yang mempunyai kearifan konkret yang sama  dengan ajaran Islam. Pada segmen ini sangat memungkinkan apa yang disebut dengan Pribumisasi Islam. Kedua, budaya yang tidak sesuai dengan kearifan Islam, pada konteks ini sangat mungkin Islamisasi Nusantara. Ketiga, yaitu budaya yang tidak bertentangan namun juga tidak terdapat relasi konkret dengan ajaran Islam.

Segemen ontologi yang ketiga selama ini belum tergarap dengan baik, walau secara implisit bangsa ini telah melahirkan suatu sistem politik dan prinsip kenegaraan yang unik. Pancasila adalah wujud nyata dari prinsip kenegaraan yang senyatanya tidak terdapat relasi konkret dengan doktrin agama. Walau sebagian orang menganggap bahwa pancasila adalah bagian dari pribumisasi, tapi menurut hemat panulis, pancasila sebagai dasar kita bernegara adalah langkah ijtihadi yang benar-banar baru, khas dan sangat Indonesiawi.

Pancasila adalah satu diantara sekian segmen ke-Nusantaraan yang boleh dikatakan tergarap dengan baik, sementara pada segmen ekonomi dan sains umat Islam Nusantara belum menunjukkan prestasinya yang signifikan, masih tergolong hanya menjadi penonton, bahkan jika dibiarkan tanpa ada penggrapan yang serius malah akan menjadi korban. Islamisasi maupun Pribumisasi dalam hal ini sudah tidak cukup tangguh untuk memenuhi kebutuhan muslim dalam kontek ke-Nusantaraan.

Berangkat dari kebutuhan tersebut, perlu satu terobosan baru untuk menyisihkan kejenuhan, terobosan baru tersebut tidak lain adalah gagasan Islam Nusantara. Gagasan Islam Nusantara tentu bukan repetitif dari Islamisasi maupun Pribumisasi, akan tetapi merupakan suatu entitas wacana baru yang akan mengharmoniskan relasi budaya dan dogma sekaligus merayakan kesalehan melalui  budaya yang tidak bertentangan dan tidak terdapat relasi konkret dengan ajaran Islam (khususnya sains dan ekonomi) menuju Nusantara yang beperadaban.

Oleh : Ach Tijani

Dosen IAIN Pontianak