Biografi Sayyid Muhsin al-Musawa

 
Biografi Sayyid Muhsin al-Musawa

Daftar Isi Profil Sayyid Muhsin al-Musawa

  1. Kelahiran
  2. Nasab
  3. Wafat
  4. Pendidikan
  5. Mengajar di Masjidil Haram dan Shaulathiyah
  6. Mudir ‘Am Dar al-Ulum di Haramain
  7. Sosok yang Cinta Tanah Air
  8. Rumahnya Selalu Terbuka
  9. Karya-karya

Kelahiran

Sayyid Muhsin al-Musawa dilahirkan pada hari Jum’at 18 Muharram 1323 H/ 24 Maret 1905 M di Palembang, Sumatera Selatan.

Nasab

Secara genealogi, Sayyid Muhsin al-Musawa masih keturunan Rasulullah SAW melalui jalur Sayyidina Husein.

Secara rinci nasabnya adalah, Sayyid Muhsin ibn Ali ibn Abdurrahman ibn Ali ibn Aqil ibn Ahmad ibn Abdurrahman ibn Umar ibn Abdurrahman ibn Sulaiman ibn Yasin ibn Ahmad al-Musawa ibn Muhammad Muqallaf ibn Ahmad ibn Abu Bakar as-Sakran ibn Abdurrahman as-segaf ibn Muhammad Mauladdawilah ibn Ali ibn Alwi Alghayur ibn Muhammad Faqihil Muqaddam ibn Ali ibn Muhammad Shahib Marbath ibn Ali Khali’ Qasim ibn Alwi ibn Muhammad ibn Alwi ibn Ubaidillah ibn Ahmad Almuhajir ibn Isa Arrumiy ibn Muhammad Annaqib ibn Ali Al Uraidhiy ibn Jakfar Asshadiq ibn Muhammad al-baqir ibn Ali Zainal Abidin ibn Husein dari Fathimah az-Zahra, putri Rasululullah SAW.

Ayah Sayyid Muhsin al-Musawa, Sayyid Ali al-Musawa dikenal gigih dalam menyebarkan agama Allah. Selain menyebarkan Islam di Palembang, ia juga mempunyai pesantren dan madrasah diniyah yang bertempat di Jambi, yaitu Madrasah Nur al-Islam dan Pesantren Sa’âdatu al-Darain. Menurut sebuah pendapat, bahwa kedua lembaga pendidikan Islam tersebut adalah yang tertua di kota Jambi.

Ketika Sayyid Muhsin al-Musawa lahir, ayahnya tidak berada di Palembang. Ia sibuk berdakwah di Jambi. Setelah beberapa tahun, terdengarlah istrinya sudah melahirkan, akhirnya ia kembali ke Palembang untuk menjenguk keluarganya. Ditemuilah Sayyid Muhsin al-Musawa yang sudah remaja yang sudah lihai membaca al-Qur’an di bawah bimbingan Haji Syamsudin Palembang.

Karena Sayyid Ali al-Musawa mempunyai wadifah keagamaan di Jambi, maka diajaklah Sayyid Muhsin al-Musawa untuk pergi ke sana.

Wafat

Semenjak didaulat menjadi Mudir ‘Am di Dar al-Ulum, Sayyid Muhsin al-Musawa memfokuskan dirinya untuk perkembangannya. Hampir konsentrasinya terfokus untuk mengurus madrasah yang baru didirikan ini. Getir dan pahit dalam memperjuangkannya tidak terlalu dihiraukan. Ia selalu berdoa semoga Dar al-Ulum senantiasa mendapatkan keberkahan dari Allah.

Sayyid Muhsin al-Musawa tidak lama memimpin Dar al-Ulum. Belum genap setahun (sekitar 9 bulan), Allah telah memanggilnya, tepatnya pada hari Ahad tanggal 10 Jumadi al-Akhir 1354 H/ 9 September 1935 M dengan usia kurang lebih 30 tahun.

Setelah Sayyid Muhsin al-Musawa wafat, jabatan Mudir ‘Am di Dar al-Ulum berturut-turut digantikan oleh Syaikh Zubair al-Filfulani, Syaikh Manshur, Syaikh Abdul Muhaimin al-Lasemi, dan Syaikh Yasin ibn Isa al-Fadani. Setelah Syaikh Yasin wafat (1990), Dar al-Ulum diambil alih oleh pemerintah Saudi Arabia sehingga kuwalitasnya semakin menurun. Semuanya hanya tinggal kenangan.

Pendidikan

Di Madarasah Sa’adatu al-Dârain dan Pesantren Nur al-Islam, Sayyid Muhsin al-Musawa memperoleh gemblengan keagamaan dari ayahnya secara intensif. Dipelajarilah berbagai disiplin keilmuan semisal Gramatika Arab, Fiqih, Teologi, Tasawuf, Hadist, dan Tafsir. Ia dikenal sangat cerdas dalam menyerap ilmu yang diajarkan kepadanya.

Di saat sedang semangatnya dalam menuntut ilmu, Allah telah menguji kesabarannya. Ayahnya, tengah di panggil oleh-Nya di saat usianya menginjak 14 tahun (1919/1338 H). Karena figur yang dijadikan teladan dalam mempelajari ilmu agama sudah tiada, akhirnya ia diminta ibunya untuk kembali ke Palembang. Ia tetap semangat dalam mempelajari berbagai disiplin keilmuan sebagaimana pesan yang diwasiatkan ayahnya.

Di Palembang, ia masuk di sekolah milik Belanda untuk mempelajari ilmu umum hingga memperoleh syahadah dengan prediket yang memuaskan, sedangkan untuk kajian agamanya ia mengaji kepada Haji Idrus al-Palimbani.

Tahun 1341 H/ 1922 M, Sayyid Muhsin al-Musawa bersama dengan adiknya, Sayyid Abdurrahman al-Musawa diajak ibunya untuk menunaikan ibadah haji. Kesempatan emas ini tidak disia-siakan olehnya. Selain menjalankan ibadah haji, tujuan utamanya ke Haramain adalah untuk melanjutkan belajarnya supaya lebih matang dan mematri.

Di tempat yang penuh dengan keberkahan ini, ia mendaftarkan diri di Madrasah Shaulatiyah. Madrasah ini merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam di Haramain yang bergengsi dan menjadi incaran ulama Nusantara yang melanjutkan studi ilmiahnya di Haramain.

Madrasah Shaulatiyyah didirikan pada 1874 M/ 1291 H. Pendirian madrasah ini dibiayai oleh Shaulah al-Nisa’ dari India. Nama Shaulatiyyah diambil dari nama orang yang mewakafkan tanahnya di Khandarisiyah, Makkah. Sedangkan ulama yang diberi kepercayaan untuk memimpin Shaulathiyah pertama kali adalah Syaikh Rahmatullah bin Khalil al-Ustmani (1226 H-1308 H) yang menjadi salah satu pengajar di Masjidil Haram, dekat dengan tempat pengimaman Madzhab Hanafi. Ia salah satu murid andalan Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, mufti madzhab Syafi’I di Hijaz.

Selama di Shaulathiyah, Sayyid Muhsin al-Musawa belajar kepada Syaikh Hasan bin Muhammad al-Masysyath, Syaikh Dawud ad-Dahan al-Makki, Syaikh Abdullah bin Hasan al-Kuhi, Syaikh Habibullah al-Syinqithi, dan Syaikh Mahmud bin Abdurrahman Zuhdi al-Bankuki al-Makki (asal Thailand).

Selain belajar di Madrasah al-Shaulathiyah, Sayyid Muhsin al-Musawa menghadiri majlis ilmu yang diselenggarakan di Haramain dan kediaman para ulama seperti majlis Syaikh Umar Hamdan al-Mahrusi, Syaikh Muhammad Ali al-Maliki, Syaikh Abdus Satar al-Dahlawi, Syaikh Salim Safi, Syaikh Dawud Dahhan, Syaikh Husein ibn Abdul Ghani al-Palimbani, Syaikh Umar Abu Bakar Bajunaid, Syaikh Isa Rawas, Syaikh Khulaifah al-Nabhan, Syaikh Siraj Sasah, Syaikh Abdul Qadir ibn Shabir al-Mindili, Syaikh Ibrahim Fulati, Syaikh ‘Idrus ibn Salim al-Bar, Syaikh Muhammad Fathani, Syaikh Mahmud Zuhdi, Syaikh Mukhtar Makhdum al-Bukhari, Syaikh Zubair al-Jawi al-Mariki, Syaikh Said al-Yamani, Syaikh Abdullah al-Ghazi, Syaikh Abdul Baqi al-Luknawi, Syaikh Ali al-Habsyi, Syaikh Zaki al-Barzanji, Syaikh Ali Audah al-Maghribi, Syaikh Abdul Qadir al-Syalbi, Syaikh Shaleh ibn Uqail, Syaikh Hasyim Syatha, Syaikh Abdurrauf al-Mishri, dan Syaikh Jamal al-Maliki.

Mengajar di Masjidil Haram dan Shaulathiyah

Karena kecerdasan Sayyid Muhsin al-Musawa selama belajar di Shaulathiyah, ketika ia merampungkan dirasahnya pada 1347 H/ 1928 M, ia diangkat sebagai pengajar di dalamnya. Selang setahun (1348 H/ 1929 M), ia diangkat menjadi pengajar di Masjidil Haram. Dipilihnya ia menjadi salah seorang syaikh di Masjidil Haram sebab kelihaiannya dalam menjawab sebuah pertanyaan dari Syaikh Umar Hamdan al-Mahrusi ketika mengajar di Masjid al-Nabawi. Semua peserta yang hadir tidak ada yang dapat menjawabnya kecuali Sayyid Muhsin al-Musawa. Semua terkagum dengan kecerdasan yang dimilikinya.

Di Masjidil Haram, Sayyid Muhsin al-Musawa mengajar setiap hari setelah Shalat Maghrib kecuali malam Selasa dan Jum’at. Sebab, di kedua malam ini ia mengajar di kediamannya. Untuk mata kuliah yang diajarkan di Masjidil Haram adalah seperti Syarah Zubad karya Imam Ramli, Nahju al-Taisîr syarah Mandzumah al-Zamzami, al-Nafhatu al-Hasaniyyah Syarh Tuhfatu al-Saniyyah, Jam’u al-Stimar fi al-Ta’liq alâ Mandzumati Manâzili al-Qamar, Idhâhu al-Manâsik karya Imam al-Nawawi, Syarah Makûdi, dan Syudzudu al-Dzahab karya Ibnu Hisyam.

Ketika mengajar sebuah disiplin keilmuan, Sayyid Muhsin al-Musawa selalu memulainya dengan basmalah, hamdalah, dan shalawat atas junjungan nabi besar Muhammad SAW, serta diakhiri dengan sebuah doa majlis sebagaimana tradisi kebanyakan ulama Haramain. Jika sudah selesai membaca kitab, ia mempersilahkan kepada murid-muridnya untuk mengajukan sebuah pertanyaan. Jika ada pertanyaan dan ia belum dapat menjawabnya dengan seketika itu setelah melalui angan-angan yang mendalam, maka jawaban akan diberikan di lain kesempatan jika sudah mendapatkan tendensi yang kuat. Terkadang ia mempersilahkan murid-muridnya untuk menjawab sebagai bentuk pembelajaran.

Pengajian Sayyid Muhsin al-Musawa dihadiri banyak thalabah dari belahan dunia, di antara muridnya yang menjadi ulama besar adalah Syaikh Yasin ibn Isa al-Fadhani dan Syaikh Zakaria Bela yang mana keduanya adalah sama-sama mengajar di Masjidil Haram. Kelak Syaikh Yasin ibn Isa al-Fadani menjadi Rektor di Dar al-Ulum, sedangkan Syaikh Zakaria Bela menjadi salah seorang masyayikh di Shaulathiyah.

Mudir ‘Am Dar al-Ulum di Haramain

Karena terus didesak oleh masyayikh, akhirnya Sayyid Muhsin al-Musawa bersedia menerima amanah tersebut. Dengan menyebut nama Allah ia bersedia menjadi Mudir ‘Am di Dar al-Ulum yang didirikan di tanah wakafan Syaikh Ya’qub Perak yang terletak di Syi’ib Ali (sebagian pendapat mengatakan di Syauqu Lail). Ketika terpilih, ia berpidato bahwa pendirian Dar al-Ulum ini semata-mata karena Allah, mencari rida-Nya, bukan karena hawa nafsu dan mencari kepentingan duniawi.

Semenjak didirikannya Dar al-Ulum Madrasah Shaulathiyah mengalami penurunan jumlah siswa dan pengajar yang sangat drastis, terlebih hampir semua orang Jawah berpindah ke Dar al-Ulum. Ia mendapatkan pujian dari ulama-ulama Nusantara yang ada di negaranya (Indonesia) salah satunya adalah Kiai Wahab Hasbullah, pendiri Nahdlatul Ulama. Saat menunaikan ibadah haji, ia sempat berpidato di Dar al-Ulum dan menyampaikan bagaimana pentingnya cinta tanah air meskipun jasadnya hidup di Haramain. Ia mengatakan, “Hubbul wathan minal iman” cinta tanah air merupakan bagian dari iman.

Dari tahun ketahun, Dar al-Ulum semakin maju. Banyak murid alumninya yang menjadi ulama dan tokoh penyebar agama Islam seperti halnya Syaikh Yasin ibn Isa al-Fadani, Syaikh Maimoen Zubair, Sayyid Hamid al-Kaf, Syaikh Mukhtarudin al-Palimbani, Syaikh Husni Tamrin, Syaikh Muhammad Nur al-Bughisi, dan lain-lain.

Sosok yang Cinta Tanah Air

Sayyid Muhsin al-Musawa sangat mencintai bangsanya. Sebagai bentuk kecintaannya, disematkanlah kata al-Palimbani di akhir namanya. Ia juga sering mengajar memakai bahasa Melayu jika berhadapan dengan thalabah yang berasal dari Melayu-Asia Tenggara (suku Jawah), khususnya Indonesia. Setiap kitab berbahasa Arab yang dibacanya diselingi dengan bahasa Melayu untuk mempermudah murid-muridnya yang belum lancar dan lihai dalam bahasa Arab. Hal semacam ini sebagaimana yang dilakoni kebanyakan ulama Nusantara ketika mengajar di pesantren, terlebih yang masih berlebel salaf atau mengikuti model kuno.

Kecintaan Sayyid Muhsin al-Musawa terhadap bangsanya, juga ia wujudkan dengan mendirikan sebuah organisasi Persatuan Rakyat Palembang yang ada di Haramain (Jam’iyyah al-Ittihad al-Palimbani) yang didirikan pada 1350 H/ 1931. Organisasi ini didirikan sebagai bentuk kepedulian masyarakat Melayu Palembang yang ada di Haramain atas nasib bangsanya yang sekian lama dijajah oleh kompeni seperti halnya Syarikat Islam (SI) yang mempunyai cabang di Haramain yang diketuai oleh Syaikh Asnawi al-Qudsi. Markas utamanya ada di Jawa yang diketua oleh Haji Umar Said Cokroaminoto.

Melihat perkembangan perkumpulan-perkumpulan di Haramain dianggap membahayakan bagi berlangsungnya pemerintahan Arab Saudi yang baru saja berdaulat pada 1924 M/ 1343 H, maka dibekukanlah perkumpulan yang berbau politik termasuk Syarikat Islam dan organisasi yang didirikan oleh Sayyid Muhsin al-Musawa. Karena pentingnya organisasi tersebut, melalui Syaikh Baqir al-Jukjawi menyampaikan kepada Raja Muhammad ibn Su’ud agar perkumpulan tersebut dibiarkan tetap berlangsung.

Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya diizinkanlah orang Indonesia yang berada di Haramain membuat sejenis organisasi untuk menginsyafkan bagaimana pentingnya cinta tanah air agar tidak larut dalam jajahan Belanda, yang selain menjajah ekonomi, mereka menjajah akidah umat Islam.

Bangsa Jawah (Indonesia) selama di Haramain selalu mengamati bagaimana perkembangan Islam yang di Nusantara dan nasib para kiai Ahlussunnah wal Jamaah dalam berjuang membela bangsanya dari ronrongan penjajah Belanda melalui jalur pendidikan atau kontak fisik. Mereka mengetahui berita tersebut melalui cerita orang-orang Indonesia yang menunaikan ibadah haji dan surat kabar atau buletin yang dibawa dari Nusantara seperti surat kabar Berita Nahdlatu Ulama.

Suatu ketika, Zulkifli, salah seorang siswa di Shaulathiyah menerima Berita Nahdlatul Ulama dari temannya yang baru datang dari Jawa yang masih keponakan Kiai Zubair al-Demaki. Majalah tersebut dibaca di dalam kelas. Dengan asyiknya si Zulkifli membaca surat kabar tersebut, tak sengaja, tiba-tiba ada wali kelasnya datang dan melihatnya membaca sedang asyiknya surat kabar yang tidak menggunakan bahasa Arab. Sang syaikh sangat tidak suka jika ada muridnya membaca buku-buku selain pelajaran Shaulathiyah, terlebih bukan berbahasa Arab.

Sang syaikh merasa geram dengan ulah Zulkifli. Karena statusnya sebagai wali kelas, maka tanpa berfikir panjang diambillah surat kabar Berita Nahdlatul Ulama tersebut, lalu diperlihatkan bagaimana tindakan thalib Jawah (siswa Indonesia) kepada kepala sekolah Shaulatiyah. Sang kepada sudah menasehati bahwa tindakan wali kelas tersebut terlalu berlebihan, namun malah ia bertambah marah dan merobek-robek surat kabar tersebut dan melemparnya dari lantai tiga sembari memak-maki bangsa Jawah, “Bangsa Jawah (Indonesia) adalah bangsa yang rendah budinya.”

Alangkah marahnya orang Jawah melihat identitas bangsanya dicacimaki. Si pencaki maki tidak mau berfikir sejenak bahwa 95 % siswa yang belajar di Shaulathiyah itu berasal dari Indonesia. Masyayikhnya juga banyak yang berasal dari Indonesia seperti halnya Syaikh Muhsin al-Musawa dan Syaikh Zubair al-Filfulani, Syaikh Husein ibn Abdul Ghani al-Palimbani, Syaikh Manshur al-Jawi, dan Syaikh Muhaimin al-Lasemi.

Karena tidak terima harga diri bangsanya diinjak-injak, maka berkumpullah ulama al-Jawi al-Makki (Nusantara_Haramain) untuk mengatasi masalah tersebut. Musyawarah berlangsung menegangkan. Banyak yang tidak terima dengan hinaan ini. Akhirnya disepakatilah sebuah keputusan untuk membuat madrasah sendiri. Digalilah dana dari saudagar Jawah yang ada di Haramain yang diketuai oleh Syaikh Abdul Mannan.

Madrasah rintisan ulama Jawah tersebut didirikan pada 16 Syawal 1353 H/ 22 Januari 1935 M dengan nama Dar al-Ulum. Untuk memimpin madrasah ini, para masyayikh sepakat memilih Syaikh Muhsin ibn Ali al-Musawa sebagai mudir pertamanya. Mulanya ia menolak sebab usianya masih terlalu muda (29 tahun). Masih banyak masyayikh yang umurnya lebih tua dan keilmuannya dianggap lebih menyegara daripada dirinya. Meskipun menolak, para masyayikh tetap sepakat memilih dirinya tanpa melihat usianya yang masih muda. Hal ini disebabkan karena kealiman dan akhlaknya yang luhur serta jiwa kepemimpinannya yang dianggap mumpuni.

Rumahnya Selalu Terbuka

Selain mengajar di Masjidil Haram dan Madrasah Dar al-Ulum, Sayyid Muhsin al-Musawa juga menggelar pengajian di kediamannya dengan materi berbagai disiplin keilmuan. Rumahnya selalu didatangi thalabah yang belajar atau orang yang ingin bertanya tentang masalah agama Islam. Tidak ada yang keluar dengan tangan hampa jika mengadukan kemusykilan. Semuanya disambut dengan hormat olehnya. Syaikh Zakaria Bela mengatakan, “Saya menyaksikan Sayyid Muhsin al-Musawa ketika usai mengajar di waktu sore, rumahnya didatangi pecinta ilmu. Dengan kedatangan mereka, wajah Sayyid Muhsin al-Musawa sangat berseri-seri karena kecintaannya terhadap ilmu. Ia sangat dermawan dalam berbagi keilmuan.”

Jika ada santri Jawah yang kekurangan bekal dan mereka mendatangi Sayyid Muhsin al-Musawa, maka dengan antusianya ia akan menolongnya. Ia sangat dermawan dengan harta dan ilmunya. Ia selalu menyangi dan mengasihi fakir miskin. Hartanya selalu digunakan untuk berbagi terhadap sesama.

Karya-Karya

Sayyid Muhsin al-Musawa dikenal sebagai sosok yang sangat peduli dengan ilmu. Kepeduliannya tidak hanya dengan mendengarkan majlis yang diselenggarakan seorang ulama namun lebih daripada itu. Jika sang guru menerangkan sebuah butir-butir keilmuan yang dianggapnya penting untuk dicatat, maka segera mungkin ia akan mencatatnya. Baginya ilmu ada bagaikan binatang buruan yang gesit, sedangkan catatan sebagai pengikatnya. Jadi, supaya ilmunya tidak lari kemana-mana, maka ia mencatatnya dengan baik.

Sering sekali Sayyid Muhsin al-Musawa menulis ulang kitab karya ulama terdahulu disebabkan ia tidak mempunyai biaya untuk membelinya. Di antara kitab yang disalin dengan tulisan tangannya adalah Fathul al-Fattâh Syarh al-Idhâh (tentang ibadah haji), Hulûlu Syarh Jam’ul al-Jawâmi’ (tentang Ushul Fiqih), Syarah Khâlid al-Azhâri (Ushul Fiqih), dan Hasyîyah al-Syanwâni ‘alal Minhâj. Saking biasanya dengan dunia tulis menulis, maka tidak mengherankan jika ia lihai dalam mengarang kitab dalam berbagai disiplin keilmuan di antaranya adalah an-Nafhâtu al-Tsaniyah Syarh Tuhfâtu al-Tsâniyah (tentang Ilmu Faraidh), Wamadkhalu al-Wushûl ilâ Ilmil ‘Ushûl (tentang Ushul Fiqih), Nahju al-Taisîr Syarh Mandzûhmah al-Zamzami (Ilmu Tafsir), dan Jam’au Tsamâr Ta’lîqu ‘alâ Mandzûmati Manâzilil Qamar, al-Jujadu Syarh Mandzûmati al-Zubadi (belum sempurna), Zubdatu al-Shalâwat ‘ala Khairil Bariyyah, an-Nushûhu al-Jauhâriyah (tentang pengertian Ilmu Mantiq), Adzillatu Ahlis Sunnah wal Jamaah fi Daf’i al-Syubuhâti al-Firâqi al-Dhallati wa al-Mubtadi’ati.

Pena dan kertas selalu menyertai Sayyid Muhsin al-Musawa. Ketika ia melalukan safar ke negara nenek moyangnya, Selon, Tarim, Yaman selama tiga bulan, ia menulis setiap butiran ilmu dan pengalamannya selama rihlah ke dalam sebuah kitab yang diberi judul al-Rihlah al-Ilmiah ilâ al-Diyâr al-Hadramiyyah.

Sayyid Muhsin al-Musawa sangat gemar mengkoleksi kitab-kitab. Ia mempunyai perpustakaan pribadi dengan jumlah kitab yang banyak, baik cetakan, manuskrip, atau salinannya sendiri. Semua itu diwakafkan di Dar al-Ulum menjelang wafatnya.

 

Lokasi Terkait Beliau

    Belum ada lokasi untuk sekarang

List Lokasi Lainnya