Panduan Lengkap Puasa Tasu’a dan 'Asyura Beserta Sejarah dan Cara Melaksanakannya

 
Panduan Lengkap Puasa Tasu’a dan 'Asyura Beserta Sejarah dan Cara Melaksanakannya
Sumber Gambar: Freepik, Ilustrasi: laduni.ID

Daftar Isi

  1. Pengantar
  2. Sejarah Puasa Tasu’a dan 'Asyura
  3. Anjuran Puasa Tasu’a dan 'Asyura
  4. Cara Niat Puasa Tasu’a dan 'Asyura
  5. Kesimpulan
  6. Sumber

Pengantar

Laduni.ID, Jakarta - Sebelum melaksanakan Puasa Tasu'a dan Asyura, perlu diketahaui terlebih dahulu bagaimana niatnya. Sebab niat merupakan salah satu rukun puasa dan ibadah lain pada umumnya. Sebagaimana dijelaskan di dalam Hadis Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa segala sesuatu itu bergantung pada niat. Dan ketika seorang membaca niat, maka di dalam hatinya ia juga menyatakan maksudnya qashd, yang dalam hal ini adalah tentang puasa.

Di samping menyatakan qashd atau maksud, orang yang berniat  juga menyebutkan hukum wajib atau sunah perihal ibadah yang akan dilakukan. Hal ini disebut ta’arrudh. Sedangkan hal lain yang mesti diingat saat niat adalah penyebutan nama ibadahnya (ta’yin).

Dalam konteks puasa sunnah di Hari Tasu'a (9 Muharram) dan 'Asyura (10 Muharram) ulama berbeda pendapat perihal ta'yin. Sebagian ulama menyatakan bahwa seseorang harus menyatakan "Puasa Sunnah 'Asyura" saat niat di dalam batinnya. Sedangkan sebagian ulama lain menyatakan bahwa tidak wajib ta’yin. Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Hajar Al-Haitami di dalam Kitab Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj berikut ini:

(قَوْلُهُ نَعَمْ بَحَثَ إلَخْ) عِبَارَةُ الْمُغْنِي وَالنِّهَايَةِ وَالْأَسْنَى فَإِنْ قِيلَ قَالَ فِي الْمَجْمُوعِ هَكَذَا أَطْلَقَهُ الْأَصْحَابُ وَيَنْبَغِي اشْتِرَاطُ التَّعْيِينِ فِي الصَّوْمِ الرَّاتِبِ كَعَرَفَةَ وَعَاشُورَاءَ وَأَيَّامِ الْبِيضِ وَسِتَّةٍ مِنْ شَوَّالٍ كَرَوَاتِبِ الصَّلَاةِ أُجِيبُ بِأَنَّ الصَّوْمَ فِي الْأَيَّامِ الْمَذْكُورَةِ مُنْصَرِفٌ إلَيْهَا بَلْ لَوْ نَوَى بِهِ غَيْرَهَا حَصَلَ أَيْضًا كَتَحِيَّةِ الْمَسْجِدِ ؛ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ وُجُودُ صَوْمٍ فِيهَا ا هـ

"Perkataan 'Tetapi mencari…' merupakan ungkapan yang digunakan di Mughni, Nihayah, dan Asna. Bila ditanya, Imam An-Nawawi berkata di Al-Majmu', Ini yang disebutkan secara mutlak oleh Ulama Syafi’iyyah. Semestinya disyaratkan ta’yin (penyebutan nama puasa di niat) dalam puasa rawatib seperti Puasa 'Arafah, Puasa 'Asyura, Puasa Bidh (13,14, 15 setiap bulan Hijriyah), dan puasa enam Hari Syawal seperti ta’yin dalam shalat rawatib'. Jawabnya, puasa pada hari-hari tersebut sudah diatur berdasarkan waktunya yang memang dilaksanakan sesuai dengan ketentuannya. Tetapi jika berniat selain istilah yang dilaksanakan pada waktu itu, maka tetap dianggap sah sebagaimana shalat Tahiyatul Masjid (yakni melaksanakan shalat apapat ketika memasuki masjid itu sudah dianggap sebagaimana melaksanakan shalat Tahiyatul Masjid), sebab yang menjadi tujuan utama adalah puasa itu sendiri. 

Jadi kalau ada seseorang berniat puasa lain di waktu-waktu tersebut, maka ia telah mendapat keutamaan sunnah puasa di waktu tersebut. Hal ini serupa dengan shalat Tahiyyatul Masjid. Karena tujuan dari perintah puasa rawatib (selain Puasa Ramadhan) itu adalah pelaksanaan puasanya itu sendiri terlepas apapun niat puasanya. Tapi di sini juga dipahami perbedaannya puasa rawatib dan shalat sunnah rawatib. 

Sejarah Puasa Tasu'a dan 'Asyura

Sejarah puasa Sunnah Tasu’a dan 'Asyura berawal dari ketika Nabi Muhammad SAW hijrah dari Makkah ke Madinah pada bulan Rabiul Awal. Menurut Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad, seorang pakar ilmu tafsir dan hukum Islam, ketika sudah beberapa bulan Nabi Muhammad SAW berada di Madinah, beliau menyaksikan orang-orang Yahudi melaksanakan Puasa 'Asyura pada tanggal 10 Muharram.

Nabi Muhammad SAW kemudian bertanya kepada orang Yahudi tersebut, kenapa mereka melaksanakan puasa? Kemudian mereka menjawab bahwa hari tersebut adalah hari di mana Allah telah menyelamatkan Nabi Musa dan Bani Israil dari kejaran Fir’aun. Kemudian tanggal 10 Muharram tersebut, Nabi Musa dan Bani Israil berhasil menyebrangi Laut Merah setelah beliau memukulan tongkanya.

Nabi Muhammad SAW lalu berkata kepada orang-orang Yahudi bahwa beliau dan kaumnya lebih berhak terhadap Nabi Musa, karena Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT yang melanjutkan tugas kenabian para Nabi terdahulu. Karena itu, akhirnya Rasulullah SAW memerintahkan kepada kaum Muslim untuk berpuasa pada tanggal 10 Muharram.

Oleh karena perintah itu, maka kaum Muslim menganggap puasa tangga 10 Muharram merupakan keharusan, sebab adanya perintah dari Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi, kemudian turunlah ayat yang berkaitan dengan puasa di Bulan Ramadhan, sehingga yang sebelumnya puasa itu dilaksanakan pada 10 Muharram kemudian digantikan dengan kewajiban berpuasa di Bulan Ramadhan.

Nabi Muhammad SAW menyampaikan bahwa berpuasa di tanggal 10 Muharram, akan menghapus dosa selama satu tahun. Beliau bersabda:

يُكَفِّرُ السَّنَةَ المَاضِيَةَ

"Puasa Asyura dapat menghapusakan dosa-dosa kecil setahun yang lalu." (HR. Imam Muslim)

Lalu bagaimana dengan Puasa Tasu'a yang dilaksanakan pada tanggal 9 Muharram? Rasulullah SAW pernah mengatakan bahwa seandainya beliau diberi umur hingga satu tahun ke depan, beliau akan melaksanakan puasa di Hari Tasu’a pada tanggal 9 Muharram. Beliau akan melakukan puasa di hari itu, agar puasa Orang Muslim tidak sama dengan puasa yang dilakukan oleh Orang Yahudi. Tapi, sebelum sampai pada tahun depannya, Rasulullah SAW sudah wafat dan tidak pernah sama sekali berpuasa di Hari Tasu'a.

Anjuran Puasa Tasu'a dan 'Asyura

1. Anjuran Puasa Tasu’a

Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan tentang keutamaan berpuasa di Hari Tasu’a, yakni puasa yang bertujuan untuk membedakan dengan orang Yahudi yang juga berpuasa di tanggal 10 Muharram (Asyura). Begitu juga penjelasan yang disampaikan oleh Al-Khathabi dan ulama-ulama lainnya, bahwa Puasa Tasu’a adalah untuk menyambung Puasa 'Asyura.

Alasan yang paling kuat disunnahkannya puasa Hari Tasu’a adalah untuk menyelisihi Ahli Kitab, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW tentang Puasa Tasu'a yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dalam Kitab As-Sunan Al-Kubro:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ صُومُوا التَّاسِعَ وَالْعَاشِرَ وَخَالِفُوا الْيَهُودَ

"Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi berkata, 'Berpuasalah pada tanggal sembilan dan sepuluh Muharram, berbedalah dengan orang Yahudi."

Ada juga Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, dari Muawiyah bin Abu Sufyan r.a, dia berkata, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: "Hari ini adalah hari Asyura dan kamu tidak diwajibkan berpuasa padanya. Sekarang, saya berpuasa, siapa yang mau, silakan puasa dan siapa yang tidak mau, silakan berbuka." (HR. Bukhari dan Muslim).

Menurut Ibnu Hajar dalam Hadis yang terkait dengan Puasa Tasu'a, "Jika aku masih hidup di tahun depan, pasti akan berpuasa pada hari kesembilan" adalah bahwa keinginan Nabi Muhammad SAW untuk berpuasa pada hari kesembilan dimaksudkan maknanya agar tidak membatasi pada hari itu saja. Tapi juga bisa menggabungkannya dengan hari kesepuluh juga, baik sebagai bentuk kekhawatiran kepastian bahwa hari tersebut tepat tanggalnya atau tidak, maupun untuk menyelisihi kaum Yahudi dan Nashrani. Dan pendapat ini dianggap yang paling kuat sebagaimana juga dikupas di dalam sebagian riwayat Muslim.

2. Anjuran Puasa 'Asyura

Adapun fadhilah dilaksanakannya Puasa 'Asyura adalah bahwa dengan berpuasa Asyura maka dosa-dosa kecil kita selama satu tahun sebelumnya dihapuskan. Sebagaimana terdapat dalam sebuah riwayat dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu dalam Kitab Shahih Muslim, bahwa seorang bertanya kepada Nabi Muhammad SAW tentang Puasa Asyura, Nabi Muhammad SAW lalu bersabda:

يُكَفِّرُ السَّنَةَ المَاضِيَةَ

"Puasa ‘Asyura melebur dosa setahun yang telah lewat." (HR. Muslim)

Kemudian terdapat riwayat Hadis dari Aisyah r.a, beliau berkata bahwa Hari 'Asyura adalah hari yang sejak dahulu saat masih di zaman Jahiliyah, orang-orang Quraisy juga melaksanakan puasa.  Rasulullah juga biasa berpuasa di saat hari itu. Dan tatkala datang di Madinah, beliau berpuasa pada hari itu, lalu menyuruh orang-orang untuk turut berpuasa. Tetapi, tatkala diwajibkan Puasa Ramadhan, beliau bersabda; "Siapa yang ingin berpuasa, hendaklah ia berpuasa ('Asyura) dan siapa yang ingin meninggalkannya, hendaklah ia berbuka."

Ada juga Hadis dari Abu Hurairah r.a, beliau berkata, Rasulullah SAW pernah ditanya, "Shalat apa yang lebih utama setelah shalat fardhu?" Nabi menjawab, "Shalat di tengah malam." Mereka bertanya lagi, "Puasa apa yang lebih utama setelah puasa Ramadhan?" Nabi lalu menjawabnya, "Puasa pada bulan Allah yang kamu namakan Muharram." (HR Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud).

Demikian sejumlah Hadis yang menerangkan tentang anjuran melaksanakan puasa di Hari 'Asyura. Orang yang melaksanakan puasa di Hari 'Asyura ini akan terhapuskan dosa-dosa kecilnya selama satu tahun yang sudah lewat. 

Cara Niat Puasa Tasu'a dan 'Asyura

Untuk memantapkan hati, ulama menganjurkan seseorang untuk melafadhkan niatnya. Berikut ini lafadh niat Puasa Tasu'a, ketika dibaca di malam tanggal 9 Muharram:

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ التَا سُوعَاء لِلهِ تَعَالَى

Artinya, "Aku berniat puasa sunnah Tasu'a esok hari karena Allah SWT."

Sedangkan lafadh niat puasa sunah 'Asyura yang dibaca pada malam tanggal 10 Muharram adalah berikut ini:

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ عَا شُورَاء لِلهِ تَعَالَى

Artinya, "Aku berniat puasa sunah Asyura esok hari karena Allah SWT."

Perlu diperhatikan, bahwa orang yang mendadak di pagi hari ingin mengamalkan sunnah Puasa Tasu'a atau 'Asyura diperbolehkan berniat ketika berkehendak puasa sunnah di pagi harinya. Karena kewajiban niat di malam hari hanya berlaku untuk puasa wajib (menurut madzhab Syafi’i). Untuk puasa sunnah, niat boleh dilakukan di siang hari sejauh yang bersangkutan belum makan, minum, dan hal-hal lain yang membatalkan puasa sejak terbitnya fajar.

Meski demikian, tetap dianjurkan untuk melafadhkan niat Puasa Tasu’a atau Asyura di siang hari. Berikut ini lafadh niat yang bisa dibaca di pagi harinya.

نَوَيْتُ صَوْمَ هَذَا اليَوْمِ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ التَا سُوعَاء أو عَا شُورَاء لِلهِ تَعَالَى

Artinya, "Aku berniat puasa sunah Tasu’a atau Asyura hari ini karena Allah SWT."

Jadi tinggal memilih jika pada Hari Tasu'a maka lafadh yang dipakai adalah Tasu'a, sedangkan jika pada Hari 'Asyura, maka yang dipilih adalah niat dengan lafadh 'Asyura.

Kesimpulan

Puasa sunah di Hari Tasu’a dan 'Asyura berawal dari ketika Nabi Muhammad SAW hijrah dari Makkah ke Madinah pada bulan Rabiul Awal. Ketika sudah beberapa bulan Nabi Muhammad SAW berada di Madinah, beliau kemudian menyaksikan orang-orang Yahudi melaksanakan puasa Asyura pada 10 Muharram, dan saat itu pula Nabi Muhammad akhirnya juga menganjurkan berpuasa kepada umat Islam.

Melaksanakan Puasa Tasu'a dan Puasa 'Asyura adalah dimaksudnya untuk membedakan kebiasaan dengan orang-orang Yahudi. Dan Rasulullah juga sangat menganjurkan umat Islam untuk berpuasa di Hari 'Asyura sebab berpuasa di hari itu akan menghapus dosa-dosa selama satu tahun yang sudah lewat.

Sumber

Kitab Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj karya Ibnu Hajar Al-Haitami.
Kitab Al-Majmu' karya Imam Nawawi


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 18 Agustus 2021. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Editor: Hakim