Antara Shalat Hajat dan Shalat Istikharah

 
Antara Shalat Hajat dan Shalat Istikharah
Sumber Gambar: KibrisPdfsandipo

LADUNI.ID, Jakarta - Sebenarnya ketika kita dihadapkan kepada suatu pilihan yang rumit untuk dipecahkan dan harus dipilih salah satunya, kita disunnahkan untuk melaksanakan shalat istikharah. Kemudian setelah akhirnya dapat memilih salah satu dari keduanya, untuk lebih menguatkan tekad dan kemauan serta menopang keberhasilan, kita disunnahkan untuk berdo’a dengan do’a-do’a yang kita senangi, asalkan masih dalam koridor tidak menyekutukan Allah SWT. Dan ada sebagian ulama yang menganjurkan kita disamping berdo’a  juga melaksanakan shalat yang dikenal dengan shalat hajat. Jadi shalat untuk memilih dua hal yang rumit adalah shalat istikharah dan untuk meminta keberhasilan dalam usaha adalah shalat hajat. Di sini akan kita jelaskan masing-masing shalat ini dengan rinci.

Pertama, shalat istikharah

Tentang shalat jenis ini ada banyak hadis yang sahih yang menjelaskannya, diantaranya :

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُعَلِّمُنَا الاِسْتِخَارَةَ كَمَا يُعَلِّمُنَا السُّورَةَ مِنَ الْقُرْآنِ يَقُولُ لَنَا « إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ وَلْيَقُلِ : اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ – يُسَمِّيهِ بِعَيْنِهِ الَّذِى يُرِيدُ – خَيْرٌ لِى فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَمَعَادِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى فَاقْدُرْهُ لِى وَيَسِّرْهُ لِى وَبَارِكْ لِى فِيهِ اللَّهُمَّ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُهُ شَرًّا لِى مِثْلَ الأَوَّلِ فَاصْرِفْنِى عَنْهُ وَاصْرِفْهُ عَنِّى وَاقْدُرْ لِىَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ رَضِّنِى بِهِ ». أَوْ قَالَ « فِى عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ »

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdulah bahwa dia berkata :”Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami shalat istikharoh sebagaimana beliau mengajari kami surat dalam Al Qur’an. Dia berkata kepada kami : “Jika salah seorang kalian gundah dalam suatu urusan, maka lakukanlah shalat dua raka’at, selain shalat fardlu, dan hendaklah dia berkata (sesudahnya) : “Ya Allah, aku meminta petunjuk untuk memilih yang terbaik dengan ilmu-Mu dan aku meminta kekuatan dengan kekuasaan-Mu dan aku meminta kepada-Mu dengan karunia-Mu yang agung. Sesungguhnya Engkau adalah berkuasa dan aku tidak berkuasa. Engkau mengetahui dan aku tidak mengetahui. Dan Engkau adalah yang benar-benar Maha Mengetahui. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa urusan ini sambil dia sebutan urusannya tersebut- adalah baik bagiku untuk agamaku dan kehidupanku serta akhiratku, maka takdirkanlah dia untukku dan mudahkanlah aku mencapainya serta berkahilah dalam mengarunginya. Dan jika Engkau mengetahui bahwa ia jelek bagiku seperti yang pertama- (maksudnya bagi duniaku, agamaku dan kahiratku), maka palingkanlah ia dariku dan palingkanlah aku darinya dan takdirkanlah bagiku kebaikan di manapun aku berada, kemudian buatlah aku ridla denganna”. Atau dia berkata : baik pada waktu segera atau dikemudian hari”.

(HR Bukhari, I/392, no. 1109, Abu Dawud, I/564, no. 1540, Turmudzi, II/333, no. 482, An Nsa’I, X/435, no. 3266. Turmudzi berkata : “Hadis ini Hasan shahih lagi gharib”. Al Albani berkata : “Hadis ini shahih”).

Riwayat dari Imam bukhari terhadap hadis ini cukuplah untuk dijadikan pedoman bahwa hadits ini benar-benar shahih.

Hadis ini menunjukkan tentang  legalitas shalat istikharah shalat istikharah tidak wajib hukumnya, tetapi sunnah ajaran do’a istikharah, yaitu yang dicetak tebal. Inilah ajaran terbaik Islam kepada kaum muslimin ketika dirundung kesulitan untuk memilih antara berbagai macam pilihan.

Praktek shalat inipun juga masyhur sejak masa sahabat hingga sekarang ini dan tidak ada perbedaan di kalangan kaum muslimin bahwa shalat ini disunnahkan. Contohnya : seperti yang dilakukan oleh Zaiban binti Jahsy –umummul mukminin- ketika dilamar untuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam setelah diceraikan oleh suaminya Zaid bin Haritsah. Maka dia melakukan shalat istikharah terlebih dahulu sebelum menyetujuinya.

Contoh yang paling fenomenal adalah yang dilakukan oleh Imam Bukhari dalam menulis setiap haditsnya dalam Ahahih Bukhari. Sebelum menulis satu hadits, maka beliau bersuci terlebih dahulu dan kemudian shalat istikharah dua raka’at dan berdo’a seperti hadits yang beliau sendiri riwayatkan itu. Maka jadilah hasilnya, kitab shahih yang diterima oleh segenap kaum muslimin, kecuali yang sesat.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : مَا خَابَ مَنِ اسْتَخَارَ وَلاَ نَدِمَ مَنِ اسْتَشَارَ وَلاَ عَالَ مَنِ اقْتَصَدَ

Diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa dia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidak akan kecele orang yang shalat istikharah, tidak akan menyesal orang yang bermusyawarah dan tidak akan menjadi miskin orang yang berhemat (HR Thabrani dalam Al Mu’jam Al Ausath, VI/365 dan dalam Al Mu’jam Ash Shoghir, II/175).

Hadits ini adalah dla’if, tetapi karena hadits ini berbicara tentang fadlilah ibadah dan ibadah yang dijelaskan fadlilahnya jelas legalitasnya, maka hadits seperti dapat diterima. Ini adalah semacam jaminan bagi orang yang melaksanakan istikharah, dia tidak akan menyesal di kemudian hari. Jika kemudian ada sesuatu yang mengecewakan, maka hendaklah interospeksi diri dan mencari tahu pada diri sendiri apa sebabnya atau boleh jadi jika dia memilih sesuatu yang lain, maka penyesalannya justru lebih bisa. Jadi sekalipun dia kecewa, maka kekecewaannya tidak sebesar jika dia memilih sesuatu yang lain yang dulu dia tinggalkan. Ini tentang shalat istikharah.

Dalam Hasyiyah I’anatu at-Thalibin Syaikh Abu Bakar Utsman bin Muhammad Syatha ad-Dimyatiy (w. 1300 H) menambahkan: Yang dimaksud Istikharah adalah:

طلب الخير فيما يريد أن يفعله، ومعناها في الخير الاستخارة في تعيين وقته.

“Berusaha memilih yang terbaik pada apa yang diinginkan untuk dikerjakan, sedangkan arti yang terbaik dalam Istikharah adalah terbaik dalam menentukan waktunya”.

 Kedua, shalat hajat

Tentang salat jenis ini dasar hadits yang digunakan diperselisikan keshahihannya, diantaranya hadits berikut ini :

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِى أَوْفَى قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ كَانَتْ لَهُ إِلَى اللَّهِ حَاجَةٌ أَوْ إِلَى أَحَدٍ مِنْ بَنِى آدَمَ فَلْيَتَوَضَّأْ وَلْيُحْسِنِ الْوُضُوءَ ثُمَّ لْيُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ لْيُثْنِ عَلَى اللَّهِ وَلْيُصَلِّ عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ لْيَقُلْ : لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ الْحَلِيمُ الْكَرِيمُ سُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ أَسْأَلُكَ مُوجِبَاتِ رَحْمَتِكَ وَعَزَائِمَ مَغْفِرَتِكَ وَالْغَنِيمَةَ مِنْ كُلِّ بِرٍّ وَالسَّلاَمَةَ مِنْ كُلِّ إِثْمٍ لاَ تَدَعْ لِى ذَنْبًا إِلاَّ غَفَرْتَهُ وَلاَ هَمًّا إِلاَّ فَرَّجْتَهُ وَلاَ حَاجَةً هِىَ لَكَ رِضًا إِلاَّ قَضَيْتَهَا يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ

Diriwayatkan dari Abdullah bin Abi Aufa bahwa dia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang mempunyai suatu kebutuhan terhadap Allah atau terhadap seseorang manusia, maka hendaklah dia berwudlu, dan memperbaik wudlunya, kemudian hendaklah dia melakukan shalat dua raka’at, kemudian memuji Allah dan mengucapkan shalat kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kemudian hendaklah dia berkata : “Tidak ada tuhan selain Allah yang Maha Santun lagi Maha Mulia. Maha suci Allah, Tuhan Arasy yang agung. Segala puji bagi Allah, tuhan semesta alam. Aku memohon kepada-Mu segala hal yang menyebabkan datangnya rahmat-Mu, hal-hal yang memnyebabkan ampunan-Mu dan karunia dari setiap kebaikan serta keselamatan dari setiap dosa. Janganlah Engkau tinggalkan dosaku, kecuali Engkau ampuni, dan tidak ada suatu kegundahan, kecuali Engkau lapangkan, dan tidak ada suatu kebutuhan yang Engkau ridloi kecuali Engkau menunaikannya, wahai Dzat Yang Paling merahmati”. (HR Turmudzi, II/331, no. 481; Ibnu Majah, I/441, no. 1384).

Ibnu Majah menambahkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam setelah itu : Kemudian hendaklah dia meminta segala urusan dunia dan akhirat apapun yang dia kehendaki, karena sesungguhnya ia akan ditakdirkan untuknya”.

Dalam mengomentari hadis ini Syaikh Nashiruddin Al Al Bani mengatakan bahwa hadits riwayat Ibnu Majah itu adalah lemah sekali. Sedangkan Imam Turmudzi memberikan komentar terhadap hadis yang beliau sendiri riwayatkan bahwa hadis itu adalah Gharib. Dan beliau menjelaskan bahwa sanad hadis itu adalah lemah karena ada seorang rawi yang dilemahkan oleh para ahli hadis. Demikian juga yang dikatakan oleh Imam Al hafidz Al ‘Iroqi dalam mentakhrij hadits-hadits Ihya’ Ulumuddin (I/207). Beliau juga sepakat terhadap kedla’ifan hadis ini.

Ada juga hadis yang lain yang yang disebutkan oleh Imam Ghazali di dalam Kitab Ihya’nya yang menjelaskan bahwa shalat hajat itu berjumlah dua belas raka’at, dimana pada setiap raka’atnya membaca AL Fatihah, kemudia ayat kursi dan Surat Al Ikhlash. Tetapi hadis ini juga dla’if. Al Hafidz Al ‘Iraqi mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Abu Manshur Ad Dailami di dalam Kitab Musnadul Firdaus dengan dua buah sanad dan masing-masing sanadnya adalah dla’if sekali.

Jadi, tentang legalitas shalat ini masih diragukan keshahihannya. Lalu solisuinya bagaimana ?

Solusinya adalah jika memiliki suatu hajat yang besar yang cukup merepotkan kita, maka bangunlah pada malam hari di sepertiga terakhir, kemudian lakukanlah shalat tahajut seperti biasa dua raka’at dua raka’at salam. Kalau bisa delapan raka’at seperti yang dilakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka itulah yang terbaik. Kemudian tutuplah dengan shalat witir tiga raka’at. Lalu berdo’alah kepada Allah SWT dengan sungguh-sungguh, kalau bisa menangis, menangislah. Kalau tidak bisa menangis, belajarlah supaya menangis, insya Allah akan dikabulkan oleh Allah SWT. Maka, do’a adalah solusi yang tiada bandingannya. Bukankah do’a itu adalah otak dan inti dari ibadah.

Atau pilihlah berdo’a pada waktu-waktu yang diduga sebagai waktu istijabah, misalnya pada waktu khatib duduk diantara dua khutbah bagi laki-laki yang melaksanakan shalat jum’at, pada waktu antara adzan dan iqomah, pada Hari Jum’at pada umumnya dan lain-lain.

Jika kita merasa do’a kita belum terkabulkan maka, jangan putus asa dan jangan tergesa-gesa. Karena ketergesa-gesaan itu justru menghalangi terkabulnya do’a jika do’a kita tidak terkabul di dunia, maka kita yakin itu adalah rekening yang akan kita panen di akhirat kelak. Bukankah Hamzah sudah meninggal sebelum melihat kemenangan Islam?. Apakah berarti usahanya dan do’anya sia-sia, tidak dan sama sekali tidak. Dan bukankah Fir’aun senantiasa jaya sela hidupnya ? Apakah itu berarti dia benar dan sukses. Sama sekali tidak. Benar dan tidaknya seseorang tidak dilihat dari permaslahan yang dia hadapi, tetapi dilihat dari benar tidaknya perbautannya dalam kaca mata syari’at Islam dan benar tidaknya dia dalam mengikuti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

jika kita merasa mendapatkan tantangan yang berat dalam melaksanakan sesuatu yang kita pilih, setelah kita melaksanakan shalat istikharah, maka mungkin saja jika kita memilih sesuatu yang lain, maka tantangannya justru lebih berat. Jadi tantangan yang kita hadapi itu adalah tantangan terkecil yang ada. Bisa jadi demikian. Husnudzdzon saja.

Jadi kesimpulanya adalah shalat istikharah jelas legalitasnya dan shalat hajat kurang jelas legalitasnya. Saya tidak merekomendasikan melaksanakan shalat hajat ini. Jika ada sesuatu yang jelas legalitasnya, yaitu do’a dan shalat malam, maka mengapa kita melakukan sesuatu yang tidak jelas legalitanya ?.

___________

Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada tanggal 20 Februari 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan
Editor : Sandipo

Sumber : HR Bukhari, I/392, no. 1109, Abu Dawud, I/564, no. 1540, Turmudzi, II/333, no. 482, An Nsa’I, X/435, no. 3266