Kisah Kelahiran Syekh Muhammad Zaini Bin Abdul Ghani Martapura (Guru Sekumpul)

 
Kisah Kelahiran Syekh Muhammad Zaini Bin Abdul Ghani Martapura (Guru Sekumpul)
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Saat kedatangan tentara Jepang tahun 1942 di Martapura, fitnah menjadi hal yang merajalela. Keluarga Syekh Abdul Ghani pun mengalami dampaknya, sehingga mereka memutuskan untuk mengungsikan diri mencari tempat yang lebih aman. Tujuan utama adalah memastikan keselamatan sang istri yang sedang hamil tua agar dapat melahirkan dengan selamat. Dengan bersembunyi-sembunyi, mereka membawa istri yang tengah hamil tua tersebut bersama ibunya, Salabiah, menggunakan jukung melintasi sawah dan sungai menuju Desa Tunggul Irang Seberang. Rencananya, mereka akan menuju rumah salah seorang paman bernama Abdullah, yang berada berdekatan dengan rumah Tuan Guru H. Abdurrahman, seorang tokoh ulama di masyarakat Tunggul Irang Seberang.

Meskipun Hj. Masliah tidak secara langsung merupakan keponakan Paman Abdullah, perhatian dan perlakuannya terhadap mereka sangat baik, meskipun dia sendiri hidup dalam kekurangan yang besar.

Pemilihan Desa Tunggul Irang Seberang sebagai tempat berlindung dipilih karena dianggap sebagai tempat yang paling aman pada saat itu. Selama tinggal dan dibesarkan di Desa Tunggul Irang tersebut selama masa Tuan Guru H. Adu (dikenal sebagai Tuan Guru H. Abdurrahman), tidak pernah ada tentara kolonial yang menginjakkan kakinya di desa tersebut.

Hal ini disebabkan oleh rintangan dan hambatan yang tidak terduga setiap kali mereka mencoba menuju desa tersebut. Beberapa perahu tentara Belanda bahkan kandas dan tenggelam ketika hendak melewati Desa Tunggul Irang, tanpa alasan yang dimengerti oleh mereka.

Beberapa hari setelah tinggal di Desa Tunggul Irang Seberang, Hj. Masliah akan melahirkan anaknya. Ketika malam semakin larut, yang merupakan waktu yang tepat untuk berdoa kepada Sang Khalik, Hj. Masliah melahirkan bayinya dengan bantuan seorang bidan bernama Datu Anjang.

Pada malam itu, tepatnya Rabu tanggal 27 Muharram 1361 H yang bersamaan dengan 11 Februari 1942 M, seorang bayi laki-laki kecil dan gemuk lahir, dengan bantuan Datu Anjang, nenek dari Tuan Guru Husein Dahlan, yang merupakan sepupu kedua dari Hj. Masliah.

Sekalipun kehadiran bayi tersebut di malam hari yang kelam, sekelam dan sepekat nasib negeri dan bangsa ini ketika itu, namun betapa bahagia dan bersyukurnya sang ayah, apalagi bagi sang ibu yang telah mengandungnya selama lebih sembilan bulan lamanya.

Sungguh di luar dugaan, bayi yang baru lahir di saat orang-orang sedang terlelap dalam tidurnya, seharusnya terjaga akibat mendengar tangisannya, sebagaimana layaknya bayi-bayi lain yang baru lahir, ternyata sang bayi tidak menangis, hanya diam tidak sedikitpun mengeluarkan suara. Matanya tertutup, seperti tidak ada tanda kehidupan. Kejadian itu berlangsung selama hampir satu jam lamanya. Warna kulit badannya sudah mulai membiru. Berbagai macam usaha sudah dicoba, namun bayi itu masih diam, tak ada jerit tangis, sampai-sampai neneknya Salabiah yang juga hadir saat kelahiran bayi tersebut berkata, Mati jua cucuku?

Bayi yang keadaannya membuat cemas itu kemudian dibawa pergi ke rumah Tuan Guru H. Abdurrahman untuk mendapatkan pertolongan. Setibanya di hadapan Tuan Guru H. Abdurrahman, bayi tersebut dipeluk dan ditiupi beliau dengan doa-doa, hingga akhirnya samar-samar mulai tampak tanda-tanda kehidupan, nafas sang bayi mulai turun naik, warna kulitnya berangsur-angsur menjadi kemerah-merahan, dan tangisnya pun mulai terdengar.

Bayi yang berada dalam pelukan ibunya terus menangis, hingga keluarga yang hadir ikut berusaha untuk membuatnya terlena dalam pangkuan ibunya. Ibunya berusaha memberikan air susu. Namun tetaplah bayi tersebut menangis. Begitulah seterusnya, bayi tersebut selalu menolak saat diberikan air susu ibunya, apalagi minuman lain. Setelah berjam-jam menangis, bayi yang baru lahir tersebut akhirnya dibawa lagi kepada Tuan Guru H. Abdurrahman untuk meminta kembali bantuan beliau.

Sesudah diterima kembali oleh beliau bayi yang masih menangis itu dipangkuannya, beliau menjulurkan lidahnya ke mulut bayi. Maka bayi itupun menghisap lidah beliau dengan lahapnya, seakan-akan ia menyusu kepada ibunya. Setelah ia puas menghisap lidah Tuan Guru H. Abdurrahman, maka lidah itupun dilepasnya, sehingga berhenti pulalah tangisan sang bayi. Kejadian seperti ini berulang-ulang hingga beberapa kali.

Suatu ketika Hj. Masliah mencoba menyusui anaknya di dalam kamar yang tertutup, tanpa ada orang yang melihat. Tak disangka bayi itu mulai menghisap susu ibunya. Maka mengertilah Hj. Masliah bahwa bayinya tersebut seakan-akan enggan menyusu bila dilihat oleh orang lain. Sang bayi sepertinya berusaha memelihara ibunya dari membuka aurat di hadapan orang lain. Mungkinkah ini salah satu pertanda akan ‘kemuliaan’ sang bayi di masa hidupnya kelak?

Pada hari keenam belas setelah kelahiran tersebut, bayi kecil yang kelihatan masih lemah itu diboyong oleh orang tuanya dari tempat kelahirannya, pindah ke tempat lain, ke sebuah rumah kecil antara desa Pasayangan dan desa Keraton Martapura, berjarak kurang lebih satu kilometer dari desa Tunggul Irang Seberang Martapura, di tempat inilah mereka akan memulai kehidupan yang baru.

Mungkin yang sangat berkesan justru masyarakat desa Tunggul Irang Seberang itu sendiri, bahwa desa mereka ditakdirkan oleh Allah Yang Maha Kuasa menjadi persada bagi kelahiran seorang putra yang mereka kenal dari kalangan keluarga yang sangat sederhana namun bermartabat serta berbudi. Sebagaimana masyarakat Islam, baik di dalam maupun di luar negeri mengenalnya di kemudian hari sebagai Syekh Muhammad Zaini Bin Abdul Ghani dari Martapura.

Saat akan meninggalkan desa Tunggul Irang Seberang, atas doa dan restu Tuan Guru H. Abdurrahman, Syekh Abdul Ghani dan istrinya Hj. Masliah beserta bayinya yang diberi nama Muhammad Qusyairi, beranjak pulang dengan menggunakan sebuah mobil yang disebut masyarakat sekitar dengan Mobil Jamban. Di masa penjajahan Jepang yang terkenal kejam, rasa was-was akan keselamatan menghantui masyarakat Martapura pada masa itu, rombongan di mobil itu pun merasakan kekhawatiran serupa.

Akhirnya kecemasan yang mencekam dalam perjalanan pulang itu sirna sudah, rombongan sampai ketujuan dengan selamat berkat bantuan seorang habib bernama Hasan, yang ikut mengantar mereka hingga ke tujuan. Padahal di hari itu, tidaklah berbeda dengan hari-hari sebelumnya, patroli-patroli dari tentara penjajah yang bertikai masih berkeliaran di mana-mana, namun seakan-akan mereka tidak mendengar atau melihat mobil yang melintas di hadapan mereka, hingga akhirnya sampailah rombongan dengan selamat ke tujuan. Wallahu A'lam. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 26 Februari 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.
__________________
Editor: Kholaf Al Muntadar