NU dan Pembahasan Fikih Negara

 
NU dan Pembahasan Fikih Negara

LADUNI.ID -  Tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai pembelaan atau kritik atas keputusan Bahtsul Masail yang dikeluarkan pada perhelatan Munas dan Konbes di Banjar beberapa waktu yang lalu. Tulisan ini ditulis sebagai refleksi atas upaya membangun interkoneksi di antara fikih, yang berada di domain Hukum Islam, dan Negara Bangsa, yang menjadikan hukum Barat sebagai platform.

Sebagaimana kita tahu bahwa pembicaraan tentang fikih selalu bersinggungan dengan kekuasaan, kendatipun yang diperbincangkan adalah mengenai persoalan ibadah. Persinggungan fikih dengan kekuasaan tidak bisa dilepaskan dari posisi fikih yang memainkan peran sebagai law in action. Meskipun, dalam kenyataannya tidak semua pembahasan fikih masuk ke dalam ranah perundang-undangan, namun keberadaan fikih sebagai law in action, telah menempatkannya sebagai undang-undang yang berlaku secara informal (informal applied law).

Keberadaan fikih sebagai law in action, searah dengan fenomena hukum adat yang di dalam kajian antropologi hukum disebut sebagai spontaneous submission to the law of tradition (ketaatan spontan terhadap hukum tradisi). Dikatakan demikian, karena fatwa-fatwa fikih yang dikeluarkan oleh seorang ulama, biasanya langsung diterapkan oleh mereka yang bertanya.. Ini berbeda dengan Undang-undang yang membutuhkan waktu 30 hari atau diundangkan di dalam Berita Negara untuk dapat dikatakan berlaku.

Akan tetapi, meskipun mempunyai kekuatan berlaku yang bisa dikatakan lebih efektif daripada undang-undang, fikih masih mempunyai banyak kekurangan ketika berhadapan dengan institusi yang bernama Negara. Efektivitas fikih tampaknya hanya berfungsi ketika berbicara tentang ranah ibadah dan moralitas. Namun, ketika perbincangan ditarik lebar hingga ke ranah yang lebih luas, fikih mengalami stagnasi kreativitas.

Untuk menunjuk contoh di atas adalah perbincangan tentang korupsi ditinjau dari ranah fikih. Di kelas-kelas program pascasarjana, diskusi tentang korupsi dari tinjauan fikih masih terjebak kepada perdebatan tentang definisi korupsi dan pendapat para ulama tentang korupsi. Pembahasan tentang korupsi tidak sampai kepada analisis terhadap kebijakan yang berpotensi mendorong munculnya praktik korupsi, serta dampak korupsi terhadap keberlangsungan negara. Dari beberapa diskusi yang diadakan di kelas pascasarjana, stagnasi gagasan fikih begitu jelas terlihat. Kenapa demikian?

Di dalam sebuah diskusi kelas pascasarjana, saya mengemukakan bahwa stagnasi gagasan fikih ketika berbicara tentang korupsi disebabkan oleh tidak dijumpainya relasi di antara kajian hukum tata negara, hukum administrasi negara, dan hukum pidana. Pembahasan fikih yang hanya melihat dari sisi jinayah mengandung banyak kelemahan, karena dalam kenyataannya korupsi bukanlah tindakan penghilangan nyawa atau harta milik orang lain. Dari sisi kajian maqashid, korupsi sulit untuk dimasukkan ke dalam pelanggaran terhadap maqashidul khamsah.

Di Indonesia, fikih tidak tuntas berbicara tentang negara. Pembicaraan tentang negara--dalam kajian fikih--umumnya diarahkan kepada pembahasan tentang khilafah. Padahal, pembahasan tentang khilafah sendiri masih berada di titik nol dari konstruksi bangunan khilafah sebagaimana pernah diterapkan pada masa khulafaur rasyidin, dinasti Umayyah atau dinasti Abbasiyyah. Pasca runtuhnya dinasti Usmanniyyah Turki, praktis pembahasan tentang bangunan negara dari sudut pandang fikih jarang dibicarakan. Pembahasan yang paling sering diperdengarkan tentang khilafah adalah tentang bagaimana memilih kepala negara dan bagaimana hukum syariah ditegakkan. Para pengkaji fikih kenegaraan belum sampai kepada pembahasan fungsi administratur negara yang menguasai wilayah beschikking bestuuring, policy making, dan humanrights enforcement. Pembahasan tentang negara, dari sudut pandang fikih, belum menyentuh pertanyaan asasi dari bangunan negara, yaitu tentang siapa yang berperan sebagai stakeholder di dalam organisasi negara. Sayangnya, kitab-kitab rujukan tentang fikih negara sebagaimana ditulis oleh Imam al-Mawardi, Imam Abu Ya'la al-Farra, Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qutaibah, masih diposisikan sebagai manual pembahasan, dan belum menjadi inspirasi bagi lahirnya ijtihad di bidang kenegaraan.

Keputusan NU untuk membahas persoalan-persoalan qanuniyyah di dalam forum Bahtsul Masail sesungguhnya diharapkan mampu memangkas jarak disparitas di antara fikih dan pembahasan tentang negara. Di ranah ini dan dari aspek metodologis, NU bisa dikatakan lebih maju daripada Muhammadiyyah atau ormas Islam lainnya. NU memiliki perangkat yang cukup untuk menginisiasi pembahasan tentang relasi fikih dan negara, dengan perangkat ushul fikih. Rujukan pembahasan metodologi yang disajikan pun sangat variatif mulai dari al-Mahshul karya Imam al-Razi, al-Burhan karya Imam al-Haramain, al-Mu'tamad karya Abu Hasan al-Bashri al-Mu'tazili dan al-Mustashfa karya Imam al-Ghazali.

Yang menarik dari kajian tentang fikih dan negara itu adalah keberanian NU untuk mengelaborasi metodologi dibandingkan ketika membahas fikih ibadah dan muamalah, yang cenderung meng-copy paste pendapat para ulama di dalam referensi-referensi yang dipandang mu'tamad. Ini berbeda misalnya dengan pembahasan Majelis Tarjih Muhammadiyyah atau Dewan Hisbah Persis, yang mengedepankan metodologi pembahasan di ranah ibadah dan muamalah.

Inisiatif NU untuk membahas persoalan kenegaraan dari sudut pandang fikih diharapkan mampu mengatasi persoalan stagnasi gagasan fikih ketika membicarakan institusi negara. Namun, dari inisiatif itu diharapkan fokus pembahasannya dapat ditarik lebar hingga membentuk kaidah-kaidah praktis di hukum kenegaraan. Di antara contoh kaidah praktis yang diharapkan adalah munculnya kaidah hukum tentang kepala negara dan siapakah stake holder dari negara. Dari keberanian untuk meluaskan pembahasan itu, diyakini fikih tidak akan gagap lagi ketika berbicara tentang korupsi dan juga hubungan antaregara. Sehingga dari situ, kita akan mendapati wajah fikih yang adaptif, kompatibel dan selalu up to date.

Oleh : KH Abdi Kurnia Djohan