NU; Bersarung, Cendikia dan Dinamis

 
NU; Bersarung, Cendikia dan Dinamis

LADUNI.ID - Pengkaji keislaman dari jepang, Mitsuo Nakamura pernah mengakui khilaf sekaligus menganulir atas pandangannya terhadap NU tatkala memandang NU sebagai organisasi ulama ketinggalan jaman, yang secara intlektual tidak canggih. Kekhilafan itu karena ia merasa tertipu dengan NU yang dilebel sebagai organisasi tradisional. Sehingga ia pun latah ikut-ikutan menstigma negatif terhadap NU. Pelebelan itu sendiri tidak lepas dari produk dikotomis modernis-tradisionalis.

Embrional dikotomis tersebut merupakan hasil perspektif dunia Barat ketika menempatkan dunia Timur sebagai objek kajian. Dalam kaca mata Barat, dunia Timur adalah tradisional dalam bentuk negara berkembang maupun negara terbelakang. Dikotomi yang tidak fair (diskriminatif) itu pertama kalinya 
diperkenalkan oleh alumni-alumni Universitas Cornell dalam kajiannya ttg Islam di Indonesia.

Adapun sarjana Indonesia yang paling bertanggung jawab dalam menyebarluaskan dikotomi “Islam tradisionalis” dan Islam modernis” adalah si Deliar Noer melalui karyanya “Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 yang kini sudah usang. Dikatakan “usang”, karena karya itu tidak (lagi) mampu membaca objek kajiannya dalam bentuk dikotomis yang dimaksud. Kritik terhadap karya yang konon hasil disertasi itupun bertubi-tubi, seperti Prof. Azyumardi Azra yang mengkritisi sekaligus memintanya untuk menguji ulang dikotomis tersebut.

Kacamata dikotomis yang berat sebalah itu menemukan pengujian ketika Ben Anderson mengisyaratkan perlunya melakukan penelitian terhadap NU dengan menyentil, “Belum ada desertasi doktor yang menulis tentang NU,” ungkap Ben Anderson pada tahun 1977. Meskipun Ben tidak secara khusus menulis NU, tapi sosok Ben-lah sebagai peneliti Barat pertama yang menjungkirbalikkan stigma negatif tentang NU yang tradisional.

Sejak saat itu perhatian tentang NU pun mengalir begitu banyak, baik yang ditulis oleh kalangan “pribumi” maupun “orang asing”, tidak kurang Martin van Bruinessen, Andree Feillard, Mitsuo Nakamura, Greg Fealy, Greg Barton, dll. Alhasil, riset-riset tentang NU justru seperti mencampakan dikotomis yang dikenalkan oleh si Deliar Noer. Pendek kata, hasil-hasil riset tentang NU jusru lebih banyak menampilkan NU sebagai organisasi tradisional yang cendikia dan dinamis, bukan NU tradisional yang terbelakang dan kolot.

Pandangan terhadap NU tradisonal yang cendikia dan dinamis itu menjadi semakin membukti ketika Hasil MUNAS NU di Banjar 28/2/2019 secara apik mampu berharmonisasi bersama perubahan ruang dan waktu, yakni pembumian Qur’ani melalui penerjemahan ”kafir” dengan ”non-muslim” dalam konteks negara bangsa, bukan dalam bentuk akidah.

Nyatanya?... NU yang dilabel tradisional justru mampu menghentak kebekuan dengan narasi-narasi progresif dan dinamis. Meski demikian, NU tetaplah bersarung..

Oleh : Chafid Wahyudi