Penggunaan Istilah “Kafir” dan “Non-Muslim" Sepanjang Sejarah Bahtsul Masail NU

 
Penggunaan Istilah “Kafir” dan “Non-Muslim

LADUNI.ID - Penggunaan istilah “non-Muslim” dalam Bahtsul Masail NU sebetulnya bukan suatu hal yang baru dan asing. Bahtsul Masail NU sudah menggunakan istilah “non-Muslim” sebagai ganti istilah “kafir” sejak puluhan tahun yang lalu.

Berdasarkan pengamatan terhadap hasil-hasil Bahtsul Masail NU, terutama PBNU dan PWNU Jawa Timur, diperoleh data sebagai berikut:

(1) Bahtsul Masail PBNU menggunakan istilah “kafir” ketika menyebut penganut agama selain Islam sejak edisi tahun 1927 hingga edisi tahun 1960.

(2) Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur menggunakan istilah "kafir" sejak edisi tahun 1979 hingga edisi tahun 1982.

(3) Sejak edisi tahun 1979 (PBNU) dan edisi tahun 1982 (PWNU Jawa Timur), Bahtsul Masail NU mulai menggunakan istilah “non-Muslim”, meskipun teks kitab kuning yang dikutip sebagai referensi tetap menggunakan istilah “kafir”.

Perubahan trend penggunaan istilah tersebut tidak terlepas dari gaung wacana toleransi dan gerakan dialog antarumat beragama di kalangan kiai pembaru NU sejak dekade 1970-an. Salah satu pelopornya adalah Kiai Akhmad Siddiq (w. 1991) yang merumuskan konsep tiga matra persaudaraan, yaitu: (1) persaudaraan seiman (ukhuwwah Islamiyyah), (2) persaudaraan kewarganegaraan (ukhuwwah wathaniyyah), dan (3) persaudaraan kemanusiaan (ukhuwwah basyariyyah).

Konsep itu beliau rumuskan dalam buku “Khittah NU” pada tahun 1979, dan dijadikan sebagai salah satu acuan dalam Muktamar NU 1984 di Situbondo. Pada Munas NU tahun 1987, konsep itu beliau sampaikan lagi pada saat menyampaikan pidato Rois Aam PBNU.

Konsep itu kemudian menjadi bagian penting dari wawasan kebangsaan NU yang dirumuskan pada Muktamar tahun 1994 dan 1999. Pada Munas NU tahun 2006, konsep itu juga menjadi acuan salah satu prinsip Fikrah Nahdliyyah, yaitu prinsip toleransi (tasamuhiyyah).

Dengan demikian, fatwa hasil Bahtsul Masail Munas NU tahun 2019 yang viral tentang penggunaan istilah “non-Muslim” dalam konteks relasi sosial kehidupan beragama yang majemuk di Indonesia sebetulnya tidak lahir dari “ruang hampa”. Fatwa itu berakar pada dua hal penting, yaitu: (1) sejarah penggunaan istilah “kafir” dan “non-Muslim dalam Bahtsul Masail, dan (2) wawasan kebangsaan NU dan Fikrah Nahdliyyah sendiri.

-----

Entah terinspirasi oleh konsep Kiai Achmad Siddiq di atas ataukah tidak, SyekhYusuf al-Qaradhawi pada tahun 2004 menulis buku berjudul “Khithabuna al-Islami fi ‘Ashr al-‘Aulamah” (Wacana keislaman kita di Era Globalisasi).

Dalam bukunya itu (halaman 47-48), al-Qaradhawi menulis konsep yang sama dengan tawaran Kiai Achmad Siddiq, yaitu (1) persaudaraan seagama (ukhuwwah diniyyah), (2) persaudaraan sesama warga negara atau sesama suku-kelompok masyarakat (ukhuwwah wathaniyyah atau qaumiyyah), dan (3) persaudaraan sesama manusia yang universal (ukhuwwah insaniyyah ‘ammah).

Selain itu, dalam bukunya itu pula (halaman 44-47), beliau juga menyatakan bahwa dalam konteks globalisasi saat ini, istilah “non-Muslim” dan “warga negara” adalah lebih tepat untuk menyebut umat agama selain Islam daripada istilah “kafir”.

Pada bagian pendahuluan dari bukunya itu (halaman 9), beliau menyatakan sudah lama berpendirian moderat seperti ini, yakni sejak kali pertama menekuni penulisan karya ilmiah. Hal ini bisa dibuktikan, tegasnya, pada buku yang dia tulis pada tahun 1960, yakni “al-Halal wa al-Haram fi al-Islam”, di mana pada buku itu dia sudah menganjurkan penggunaan istilah “non-Muslim” dan “warga negara” untuk menyebut umat agama selain Islam.

Dari sini, muncul dalam benak saya sebuah pertanyaan: “Adakah jalinan komunikasi dan kaitan pemikiran antara Kiai Achmad Siddiq dan Syekh Yusuf al-Qaradhawi?”.

Oleh: Muhammad Adib

Rektor IAI al-Qolam Malang