Biografi KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

 
Biografi KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Sumber Gambar: Istimewa, Ilustrasi: laduni.ID

Daftar Isi:

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Wafat

2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Pendidikan
2.2  Guru-Guru

3.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1  Mengembalikan Nu ke Khittah 1926
3.2  Mendirikan Partai Politik Bersama Tokoh NU

4.     Karir-Karir
5.     Karya-Karya

6.     Penghargaan dan Gelar
6.1   Penghargaan
6.2   Gelar yang diraih

7.     Referensi

1. Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir
KH. Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur ini lahir di Denanyar, Jombang, Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940 M. Namun sebenarnya tanggal tersebut lahir dari kesalahpahaman, sebab sebagaimana dituturkan oleh keluarganya, beliau dilahirkan di bulan ke-8.

Bulan yang dimaksud sebenarnya bukanlah berdasarkan Kalender Masehi, tapi Kalender Hijriyah sehingga yang tepat adalah bahwa beliau dilahirkan pada tanggal 4 Sya’ban tahun 1940 atau bertepatan pada tanggal 7 September 1940 M. Namun demikian, Gus Dur memperbolehkan dua tanggal kelahiran tersebut untuk diperingati sebagai hari lahirnya.

Nama lengkap beliau adalah Abdurrahman Ad-Dakhil yang mempunyai arti “Sang Penakluk”, sebuah nama yang diberikan ayahandanya, KH. Wahid Hasyim dengan inspirasi dari seorang perintis Bani Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol. Namun belakangan, kata “Ad-Dakhil” diganti dengan nama “Wahid” menjadi Abdurrahman Wahid.

Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Beliau merupakan putra dari KH. Wahid Hasyim salah satu putra dari pendiri organisasi besar Nahdlatul Ulama, KH. Hasyim Asy’ari. Sedangkan Ibunya bernama Nyai Hj. Sholichah yang merupakan putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, KH. Bisri Syansuri.

Secara nasab, Gus Dur bisa dikatakan memiliki garis keturunan orang besar. Beliau tak lain adalah cucu KH. Hasyim Asy’ari, Pendiri Nahdatul Ulama dan salah seorang ulama berpengaruh dalam perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Jika ditarik ke atas dari kakeknya, maka nasab beliau akan bersambung dengan Nabi Muhammad SAW, melalui Maulana Ishaq, salah seorang Wali Songo.

Dari jalur ibu, Nyai Hj. Sholichah adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang, KH. Bisri Syansuri, yang ikut mendirikan dan memimpin Nahdlatul Ulama dan berperan dalam pergerakan nasional sejak masa awal kemerdekaan. KH. Bisri Syansuri adalah seorang ulama pakar fiqih yang tercatat pernah menjabat sebagai anggota DPR RI dan pernah juga menjadi Rais Aam PBNU sampai akhir hayatnya.

Sejak masa kanak-kanak, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu, beliau juga aktif berkunjung ke perpustakaan umum di Jakarta.

Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan berbagai macam buku. Di samping membaca, beliau juga hobi bermain bola, catur dan musik. Bahkan Gus Dur, pernah diminta untuk menjadi komentator sepak bola di televisi.

Kegemaran lainnya, yang ikut juga melengkapi hobinya adalah menonton film di bioskop. Kegemarannya ini menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Dan inilah sebabnya mengapa Gu Dur pada tahun 1986-1987 M. diangkat sebagai ketua juri Festival Film Indonesia.

1.2 Riwayat Keluarga
KH. Abdurrahman Wahid menikah dengan muridnya sendiri yang bernama Ibu Nyai. Hj Sinta Nuriyah. Dari pernikahannya, beliau dikaruniai empat orang anak yaitu:

  1.  Alissa Qotrunnada Munawaroh,
  2.  Zannuba Arifah Chafsoh,
  3.  Annita Hayatunnufus,
  4.  Inayah Wulandari,

1.3 Wafat
KH. Abdurrahman Wahid wafat pada tanggal 30 Desember 2009, pukul 18.40 WIB, dalam usianya yang ke 69 tahun di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

Saat kepergian guru bangsa itu, Pondok Pesantren Tebuireng tumpah ruah penuh dengan lautan manusia yang turut bertakziah dan ingin menyaksikan prosesi pemakamannya Gus Dur. Pesantren Tebuireng penuh dan sesak. Begitu juga jalanan utama di depan pesantren terlihat manusia berbondong-bondong ingin ikut mengantarkan jenazah Gus Dur.

Di luar sana, tidak hanya teman-teman Muslim yang memadati masjid, mushola, dan majelis-majelis untuk mendoakan Gus Dur, tetapi juga teman-teman beliau dari agama Konghucu, Katolik, Kristen, Hindu, dan Budha. Mereka semua turut meramaikan rumah ibadah masing-masing untuk mendoakan Gus Dur. Bahkan, mereka memajang foto Gus Dur di altarnya masing-masing.

Kini, pemikiran, gagasan, tulisan, dan pergerakan Sang Zahid Gus Dur yang di batu nisannya tertulis, “Here Rest a Humanist” itu tidak pernah kering meneteskan dan mengguyur inspirasi bagi kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara di Republik ini. Begitu juga makamnya yang hingga sekarang terus ramai diziarahi oleh berbagai kalangan.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan

2.1 Pendidikan
Pertama kali belajar, Gus Dur belajar mengaji dan membaca Al-Qur’an pada sang kakek, KH. Hasyim Asy’ari. Dalam usia lima tahun beliau telah lancar membaca Al-Qur’an. Sewaktu masih kecil itu, Gus Dur juga sudah mulai menghafal Al-Qur’an dan puisi dalam Bahasa Arab.

Pada tahun 1944 M, Gus Dur dibawa ke Jakarta oleh ayahnya yang mendapat mandat dari KH. Hasyim Asy’ari untuk mewakili beliau sebagai Ketua Jawatan agama dalam pemerintahan pendudukan Jepang.

Meskipun ayahnya merupakan tokoh terkemuka, Gus Dur tidak menempuh pendidikan di sekolah elit yang biasa dimasuki oleh anak para pejabat. Gus Dur memulai pendidikannya di Sekolah Rakyat (SR), sebuah sekolah bentukan pemerintah Hindia Belanda untuk anak pribumi atau SD KRIS sebelum akhirnya pindah ke SD Perwari.

Setelah itu, beliau melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Tanah Abang. Namun karena tidak naik kelas, ibunya kemudian memindahkannya untuk sekolah di SMEP di Yogyakarta dan tinggal di rumah tokoh Muhammadiyah yang bernama Pak Junaid. Di Yogyakarta itu, beliau sambil mengaji di tempat KH. Ali MaksumPondok Pesantren Krapyak.

Ada kisah yang tidak sederhana dibalik peristiwa Gus Dur tidak naik kelas. Pada tanggal 19 April 1953 M, KH. Wahid Hasyim baru berusia 39 tahun, meninggal dunia akibat kecelakaan mobil di Cimahi dan Gus Dur menyertai di perjalanan waktu itu. Hal ini menjadi peristiwa yang amat memilukan bagi Gus Dur yang kala itu usianya baru 13 tahun, yang menyebabkan Gus Dur tidak naik kelas.

Tahun 1957 M, beliau meneruskan pendidikan ke Magelang di Pondok Pesantren Tegalrejo dibawah bimbingan KH. Chudlori. Lalu, setelah di Magelang, Gus Dur melanjutkan perjalanan mencari ilmunya ke Jombang untuk belajar secara penuh di Pondok Pesantren Tambak Beras dibawah bimbingan KH. Wahab Chasbullah. Masih belum puas, beliau meneruskan belajarnya lagi dan kembali belajar di Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, dan saat itu beliau tinggal dirumah KH. Ali Maksum.

Tahun 1963 M, Gus Dur menerima beasiswa dari Kementerian Agama untuk belajar di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir. Saat itu, meski sudah mahir berbahasa Arab, Gus Dur diharuskan mengambil kelas remedial terlebih dahulu, karena tidak mampu memberikan bukti bahwa beliau memiliki kemampuan berbahasa Arab.

Hal ini membuat Gus Dur merasa bosan, karena harus mempelajari materi yang sudah dipelajarinya selama di pesantren. Akhirnya, saat di Kairo itu Gus Dur lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengunjungi toko-toko buku, perpustakaan, hingga ke bioskop dalam upayanya menggali khazanah peradaban yang pernah terjadi di Mesir.

Perpustakaan bukanlah satu-satunya referensi Gus Dur dalam memperkaya wawasannya. Dinamika politik di Mesir juga menjadi referensi Gus Dur dalam memperkaya wawasan. Gus Dur dengan cermat mengamati kondisi Mesir kala itu, khususnya berkaitan dengan perseteruan antara penguasa Mesir dengan organisasi Ikhwanul Muslimin dibawah komando Sayyid Qutub.

Pada tahun 1966 M, Gus Dur pindah ke Irak. Beliau masuk dalam Depertement of Religion di Universitas Baghdad. Selama di Baghdad, Gus Dur mendapatkan rangsangan intelektual yang berbeda dengan sebelumnya, di mana Irak juga merupakan sebuah negara modern yang memiliki peradaban Islam cukup maju saat itu.

Di Baghdad, Gus Dur menyelesaikan pendidikan sarjana. Kemudian melanjutkan S2. Saat itu judul tesisnya sudah diajukan, tapi sayangnya, sang pembimbing meninggal dunia, dan Gus Dur sangat sulit untuk mencari penggantinya. Walhasil, Gus Dur memilih untuk pulang ke Indonesia. Tapi sebelumnya beliau sempat juga bekerja serabutan di Belanda sebagai tukang dek kapal yang mendapatkan penghasil cukup lumayan. Sebagaimana dikisahkan oleh sahabat dekatnya, Gus Mus.   

Tahun 1971 M, Gus Dur bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Karir Gus Dur terus merangkak dan menjadi peneliti untuk Majalah Tempo dan Koran Kompas. Artikelnya diterima dengan sangat baik, dan dari menulis di media massa itu Gus Dur dikenal sebagai intelektual oleh berbagai kalangan.

Gus Dur mendapatkan banyak undangan untuk mengisi perkuliahan dan seminar yang menyebabkan beliau harus pulang pergi antara Jakarta-Jombang, tempat keluarganya tinggal. Namun honorarium dari tulis menulis artikel ini tidaklah mencukupi untuk menutupi biaya hidup keluarganya. Sehingga, Gus Dur dan sang istri sempat harus tetap berjualan es lilin dan kacang tanah untuk menambah penghasilan memenuhi kebutuhan sehari-hari.

2.2 Guru-Guru

  1. KH. Hasyim Asy’ari,
  2. KH. Wahid Hasyim,
  3. KH. Ali Maksum,
  4. KH. Chudlori,
  5. KH. Wahab Chasbullah,
  6. Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (Habib Ali Kwitang),
  7. KH. Ahmad Al-Hadi Bali,
  8. KH. Sonhaji (Mbah Jimbun),
  9. KH. Idris Kamali.

3. Perjalanan Hidup dan Dakwah

3.1 Mengembalikan NU ke Khittah 1926
Saat menjadi ketua PBNU inilah di tahun 1984 M, NU menginisiasi gagasan “Kembali ke Khittah 1926” di mana NU secara tegas memutuskan untuk tidak lagi terlibat secara kelembagaan dalam kegiatan politik praktis. Gus Dur memiliki sebuah penawaran yang sangat brilian tentang “kembali ke khittah 1926” dengan meninggalkan gelanggang politik praktis.

3.2 Mendirikan Partai Politik bersama Tokoh NU
Menjelang pertengahan 1998 M, Gus Dur dalam masa periode ketiga menduduki jabatan ketua PBNU. Melihat situasi carut-marut negara ini mengharuskan NU turut andil dalam perpolitikan, akhirnya Gus Dur menyetujui untuk membangun sebuah partai bersama para kyai.

Didirikanlah PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) bersama-sama tokoh NU lainnya sebagai wadah bagi masyarakat NU supaya bisa mengikuti pemilihan legislatif pada tahun 1999, dan akhirnya PKB bisa mengikuti pemilihan legislatif. Partai ini dinilai cukup kuat dan mewadahi berbagai aspirasi warga Nahdliyin.

4. Karir-Karir

  1. 1972-1974 Fakultas Ushuludin Universitas Hasyim Ashari, Jombang, sebagai Dekan dan Dosen,
  2. 1974-1980 Sekretaris Umum Pesantren Tebuireng,
  3. 1980-1984 Katib Awwal PBNU,
  4. 1982-1985 Menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ),
  5. 1984-2000 Ketua Dewan Tanfidz PBNU,
  6. 1987-1992 Ketua Majelis Ulama Indonesia,
  7. 1989-1993 Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat RI,
  8. 1998 Partai Kebangkitan Bangsa, Indonesia, Ketua Dewan Syura DPP PKB,
  9. 1999-2001 Presiden Republik Indonesia,
  10. 2000 Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Mustasyar,
  11. 2002 Rektor Universitas Darul Ulum, Jombang, Jawa Timur, Indonesia,
  12. 2004 Pendiri The WAHID Institute, Indonesia.

5. Karya-Karya
Karya-karya beliau yang berhasil dibukukan di antaranya:

  1. Islamku, Islam Anda, Islam Kita
  2. Pergulatan Negara Agama dan Kebudayaan
  3. Tuhan Tidak Perlu Dibela
  4. Islam Kosmopolitan, Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan
  5. Kiai Nyentrik Membela Pemerintah
  6. Khazanh Kiai Bisri Syansuri
  7. Menggerakkan Tradisi Pesantren
  8. Melawan melalui Lelucon: Kumpulan Kolom Abdurrahman Wahid di Tempo
  9. Prisma Pemikiran Gus Dur
  10. Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren

6. Penghargaan dan Gelar

6.1 Pengahargaan
Gus Dur banyak menerima banyak penghargaan dari dalam negeri maupun luar negeri karena jasa-jasanya. Penghargaan tersebut antara lain:

  1. 2010 Lifetime Achievement Award dalam Liputan 6 Awards 2010,
  2. 2010 Bapak Ombudsman Indonesia oleh Ombudsman RI,
  3. 2010 Tokoh Pendidikan oleh Ikatan Pelajar Nadhlatul Ulama (IPNU),
  4. 2010 Mahendradatta Award 2010 oleh Universitas Mahendradatta, Denpasar, Bali,
  5. 2010 Ketua Dewan Syuro Akbar PKB oleh PKB Yenny Wahid,
  6. 2010 Bintang Mahaguru oleh DPP PKB Muhaimin Iskandar,
  7. 2008 Penghargaan sebagai tokoh pluralisme oleh Simon Wiesenthal Center,
  8. 2006 Tasrif Award oleh Aliansi Jurnanlis Independen (AJI),
  9. 2004 Didaulat sebagai “Bapak Tionghoa” oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang,
  10. 2004 Anugrah Mpu Peradah, DPP Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia, Jakarta, Indonesia,
  11. 2004 The Culture of Peace Distinguished Award 2003, International Culture of Peace Project Religions for Peace, Trento, Italia,
  12. 2003 Global Tolerance Award, Friends of the United Nations, New York, Amerika Serikat,
  13. 2003 World Peace Prize Award, World Peace Prize Awarding Council (WPPAC), Seoul, Korea Selatan,
  14. 2003 Dare to Fail Award, Billi PS Lim, penulis buku paling laris "Dare to Fail", Kuala Lumpur, Malaysia,
  15. 2002Pin Emas NU, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Jakarta, Indonesia,
  16. 2002 Gelar Kanjeng Pangeran Aryo (KPA), Sampeyan dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwono XII, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia,
  17. 2001 Public Service Award, Universitas Columbia, New York, Amerika Serikat,
  18. 2000 Ambassador of Peace, International and Interreligious Federation for World peace (IIFWP), New York, Amerika Serikat,
  19. 2000 Paul Harris Fellow, The Rotary Foundation of Rotary International,
  20. 1998 Man of The Year, Majalah REM, Indonesia,
  21. 1993 Magsaysay Award, Manila, Filipina,
  22. 1991 Islamic Missionary Award, Pemerintah Mesir,
  23. 1990 Tokoh 1990, Majalah Editor, Indonesia.

6.2 Gelar yang diraih
Gus Dur juga menerima gelar Doktor Kehormatan dari luar negeri karena pemikiran dan jasa-jasanya yang berskala internasional. Penghargaan tersebut di antaranya:

  1. Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Universitas Thammasat, Bangkok, Thailand (2000),
  2. Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000),
  3. Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Universitas Sorbonne, Paris, Perancis (2000),
  4. Doktor Kehormatan dari Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand (2000),
  5. Doktor Kehormatan dari Universitas Twente, Belanda (2000),
  6. Doktor Kehormatan dari Universitas Jawaharlal Nehru, India (2000),
  7. Doktor Kehormatan dari Universitas Soka Gakkai, Tokyo, Jepang (2002),
  8. Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Universitas Netanya, Israel (2003),
  9. Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Universitas Konkuk, Seoul, Korea Selatan (2003),
  10. Doktor Kehormatan dari Universitas Sun Moon, Seoul, Korea Selatan (2003).

7. Referensi
Diolah dan dikembangkan dari berbagai sumber yang mendukung dengan sumber primer situs resmi gusdur.net.

Artikel ini sebelumnya diedit pada tanggal 07 September 2023, dan kembali diedit dengan penyelarasan bahasa pada tanggal 30 Desember 2023.

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya