Biografi KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
- by Budi
- 34.928 Views
- Jumat, 30 Desember 2022

Daftar Isi
1 Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1 Lahir
1.2 Riwayat Keluarga
1.3 Wafat
2 Sanad Ilmu dan Pendidikan Beliau
2.1 Menuntut Ilmu sampai Mesir dan Irak
2.2 Guru-Guru Beliau
3 Penerus Beliau
3.1 Anak-anak Beliau
4 Karier, Jasa, dan Karya Beliau
4.1 Karier Beliau
4.2 Jasa-jasa Beliau
4.2.1 Mengembalikan NU ke Khittah 1926
4.2.2 Membuat Partai Politik bersama Tokoh NU
4.3 Karya-karya Beliau
5 Penghargaan
5.1 Penghargaan
5.2 Doktor Kehormatan
1. Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1 Lahir
KH. Abdurrahman Wahid atau yang kerap disapa dengan panggilan Gus Dur lahir di Denanyar, Jombang, Jawa Timur pada 4 Agustus 1940. Namun sebenarnya tanggal tersebut lahir dari kesalahpahaman memahami kalau beliau dilahirkan di bulan 8. Namun yang dimaksud bukanlah masehi, tapi hijriyah sehingga yang tepat ia dilahirkan pada 4 Sya’ban tahun 1940/7 September 1940. Namun demikian, Gus Dur memperbolehkan dua tanggal kelahiran tersebut untuk diperingati sebagai hari lahirnya.
Nama lengkap beliau adalah Abdurrahman ad-Dakhil yang bermakna “sang penakluk”, sebuah nama yang diberikan ayahandanya, KH. Wahid Hasyim dengan inspirasi dari seorang perintis bani Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spayol. Namun belakangan, kata “Addakhil” tidak cukup dan diganti dengan nama “Wahid” menjadi Abdurrahman Wahid.
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Ayahnya adalah seorang pendiri organisasi besar Nahdlatul Ulama, yang bernama KH. Wahid Hasyim. Sedangkan Ibunya bernama Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, KH. Bisri Syansuri.
Secara nasab, Gus Dur bisa dikatan memiliki garis keturunan orang besar. Beliau tak lain adalah cucu KH. Hasyim Asy’ari, Pendiri Nahdatul Ulama dan salah seorang ulama berpengaruh dalam perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Jika ditarik keatas dari kakeknya, maka nasab beliau akan bersambung dengan Nabi Muhammad SAW, melalui Maulana Ishaq, salah seorang wali songo.
Dari jalur ibu, Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri pondok pesantren Denanyar, Jombang, KH. Bisyri Syansuri, yang ikut mendirikan dan memimpin Nahdlatul Ulama dan berperan dalam pergerakan nasional dan awal kemerdekaan. KH. Bisri Syansuri tercatat pernah menjabat menjadi Rais Aam PBNU, sebagai anggota DPR RI, dan pakar di bidang fikih
Sejak masa kanak-kanak, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu beliau juga aktif berkunjung ke perpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku. Di samping membaca, beliau juga hobi bermain bola, catur dan musik. Bahkan Gus Dur, pernah diminta untuk menjadi komentator sepak bola di televisi. Kegemaran lainnya, yang ikut juga melengkapi hobinya adalah menonton bioskop. Kegemarannya ini menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Inilah sebabnya mengapa Gu Dur pada tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri Festival Film Indonesia.
1.2. Riwayat Keluarga
KH. Abdurrahman Wahid melepas masa lajangnya dengan menikah Ibu Nyai. Hj Sinta Nuriyah. Buah dari pernikahannya, beliau dikaruniai empat orang anak yaitu:
- Alissa Qotrunnada Munawaroh
- Zannuba Arifah Chafsoh
- Annita Hayatunnufus
- Inayah Wulanda
1.3. Wafat
KH. Abdurrahman Wahid wafat pada tanggal 30 Desember 2009, pukul 18.40 WIB, dalam usianya yang ke 69 tahun di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Saat kepergian guru bangsa, Pondok Tebuireng tumpah ruah penuh dengan lautan manusia yang ingin menyaksikan proses dikebumikannya Gus Dur. Pesantren Tebuireng penuh dan sesak. Begitu juga jalanan utama di depan pesantren terlihat manusia berbondong-bondong ingin ikut mengantar Gus Dur.
Di luar sana, tidak hanya teman-teman Muslim yang memadati masjid, musholla, dan majelis-majelis untuk mendoakan Gus Dur, tetapi juga teman-teman dari agama Konghucu, Katolik, Kristen, Hindu, dan Budha turut meramaikan rumah ibadah masing-masing untuk mendoakan Gus Dur. Bahkan, mereka memajang foto Gus Dur di altarnya masing-masing.
Kini, pemikiran, gagasan, tulisan, dan pergerakan sang zahid Gus Dur yang di batu nisannya tertulis, “Here Rest a Humanist” itu tidak pernah kering meneteskan dan mengguyur inspirasi bagi kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara di Republik ini. Begitu juga makamnya yang hingga sekarang terus ramai diziarahi.
2. Sanad Ilmu dan Pendidikan Beliau
2.1. Menuntut Ilmu sampai Mesir dan Irak
Pertama kali belajar, Gus Dur belajar mengaji dan membaca al-Qur’an pada sang kakek, KH. Hasyim Asy’ari. Dalam usia lima tahun beliau telah lancar membaca al-Qur’an. Sewaktu kecil juga, Gus Dur sudah mulai menghafal al-Qur’an dan puisi dalam bahasa arab. Pada tahun 1944, Gus Dur dibawa ke Jakarta oleh ayahnya yang mendapat mandat dari KH. Hasyim Asy’ari untuk mewakili beliau sebagai Ketua Jawatan agama dalam pemerintahan pendudukan Jepang.
Meskipun ayahnya merupakan tokoh terkemuka, Gus Dur tidak menempuh pendidikan di sekolah elit yang biasa dimasuki oleh anak para pejabat. Gus Dur memulai pendidikannya di Sekolah Rakyat (SR) sebuah sekolah bentukan pemerintah Hindia Belanda untuk anak pribumi atau SD KRIS sebelum akhirnya pindah ke SD Perwari. Setelah itu beliau melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Tanah Abang. Namun karena tidak naik kelas, ibunya kemudian memindahkannya untuk sekolah di SMEP di Yogyakarta dan tinggal di rumah tokoh Muhammadiyah, pak Junaid sambil mengaji di tempat KH. Ali Maksum, Pondok Pesantren Krapyak.
Ada kisah yang tidak sederhana dibalik peristiwa Gus Dur tidak naik kelas. 19 April 1953, KH. Wahid Hasyim baru berusia 39 tahun, meninggal dunia akibat kecelakaan mobil di Cimahi dan Gus Dur menyertai di perjalanan waktu itu. Hal ini menjadi peristiwa yang amat memilukan bagi Gus Dur yang kala itu usianya baru 13 tahun, yang menyebabkan Gus Dur tidak naik kelas. Tahun 1957, beliau meneruskan pendidikan ke Magelang di Pondok Pesantren Tegalrejo dibawah bimbingan Kiai Chudori.
Gus Dur kemudian melanjutkan perjalanan mencari ilmunya ke Jombang untuk belajar secara penuh di Pondok Pesantren Tambak Beras dibawah bimbingan KH. Wahab Chasbullah. Kemudian Gus Dur kembali belajar di pondok pesantren Krapyak Yogyakarta, dan beliau tinggal dirumah kiai Ali Maksum.
Tahun 1963, Gus Dur menerima beasiswa dari Kementerian Agama untuk belajar di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir. Meski sudah mahir berbahasa Arab, Gus Dur diharuskan mengambil kelas remedial terlebih dahulu, karena tidak mampu memberikan bukti bahwa beliau memiliki kemampuan berbahasa Arab. Hal ini membuat Gus Dur merasa bosan, karena harus mempelajari materi yang sudah beliau pelajari selama di pesantren. Gus Dur lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengunjungi toko-toko buku, perpustakaan, hingga ke bioskop dalam upayanya dalam menggali khazanah peradaban yang pernah terjadi di Mesir.
Perpustakaan bukanlah salah satu referensi Gus Dur dalam memperkaya wawasannya. Dimanika politik di Mesir juga menjadi referensi Gus Dur dalam memperkaya wawasan. Gus Dur dengan cermat mengamati kondisi Mesir kala itu, khususnya berkaitan perseteruan antara penguasa Mesir dengan organisasi Ikhwanul Muslimin dibawah komando Sayyid Qutub.
Pada tahun 1966, Gus Dur pindah ke Irak, ia masuk dalam Depertement of Religion Universitas Baghdad. Selama di Baghdad, Gus Dur mendapatkan rangsangan intelektual yang berbeda dengan sebelumnya, dimana Irak juga merupakan sebuah negara modern yang memiliki peradaban Islam cukup maju.
Di Baghdad. Gus Dur menyelesaikan pendidikan sarjana. Kemudian ia melanjutkan S2, judul tesisnya sudah diajukan. Tapi sayangnya, sang pembimbing meninggal dunia, dan Gus Dur sangat sulit untuk mencari penggantinya, walhasil Gus Dur memilih untuk pulang ke Indonesia.
Tahun 1971, Gus Dur bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Karir Gus Dur terus merangkak dan menjadi peneliti untuk majalah Tempo dan koran Kompas. Artikelnya diterima dengan sangat baik, dan dari menulis di media massa itu Gus Dur dikenal sebagai intelektual.
Gus Dur mendapatkan banyak undangan untuk mengisi perkuliahan dan seminar yang menyebabkan ia harus pulang pergi Jakarta-Jombang, tempat ia dan keluarganya tinggal. Namun honorarium dari tulis menulis artikel ini tidaklah mencukupi untuk menutupi biaya hidup keluarganya. Sehingga, Gus Dur dan sang istri sempat harus tetap berjualan es lilin dan kacang tanah.
2.1. Guru-Guru Beliau
- KH. Hasyim Asy’ari
- KH. Wahid Hasyim
- KH. Ali Maksum
- KH. Chudori
- KH. Wahab Chasbullah
3. Penerus Beliau
3.1 Anak-anak Beliau
KH. Abdurrahman Wahid dikaruniai empat orang anak yaitu:
- Alissa Qotrunnada Munawaroh
- Zannuba Arifah Chafsoh
- Annita Hayatunnufus
- Inayah Wulanda
4. Karier, Jasa, dan Karya Beliau
4.1 Karier
- 1972-1974 Fakultas Ushuludin Universitas Hasyim Ashari, Jombang, sebagai Dekan dan Dosen
- 1974-1980 Sekretaris Umum Pesantren Tebu Ireng
- 1980-1984 Katib Awwal PBNU
- 1982-1985 Menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ)
- 1984-2000 Ketua Dewan Tanfidz PBNU
- 1987-1992 Ketua Majelis Ulama Indonesia
- 1989-1993 Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat RI
- 1998 Partai Kebangkitan Bangsa, Indonesia, Ketua Dewan Syura DPP PKB
- 1999-2001 Presiden Republik Indonesia
- 2000 Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Mustasyar
- 2002 Rektor Universitas Darul Ulum, Jombang, Jawa Timur, Indonesia
- 2004 Pendiri The WAHID Institute, Indonesia
4.2 Jasa-jasa Beliau
4.2.1 Mengembalikan NU ke Khittah 1926
Saat menjadi ketua PBNU inilah di tahun 1984 NU menginisiasi gagasan “Kembali ke Khittah 1926” dimana NU tidak lagi terlibat secara kelembagaan dalam kegiatan politik praktis. Gus Dur memiliki sebuah penawaran yang sangat brilian tentang “kembali ke khittah 1926” dengan meninggalkan gelanggang politik praktis.
4.2.2 Membuat Partai Politik bersama Tokoh NU
Menjelang pertengahan 1998, Gus Dur dalam masa periode ketiga menduduki jabatan ketua PBNU. Melihat situasi carut negara ini mengharuskan NU turut andil dalam perpolitikan, akhirnya Gus Dur membuat PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) bersama-sama tokoh NU lainnya sebagai wadah bagi masyarakat NU supaya bisa mengikuti pemilihan legislatif pada tahun 1999, dan akhirnya PKB bisa mengikuti pemilihan legislatif.
4.3 Karya-karya Beliau
- Islamku, Islam Anda, Islam Kita
- Pergulatan Negara Agama dan Kebudayaan
- Tuhan Tidak Perlu Dibela
- Islam Kosmopolitan, Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan
- Kiai Nyentrik Membela Pemerintah
- Khazanh Kiai Bisri Syansuri
- Menggerakkan Tradisi Pesantren
- Melawan melalui Lelucon: Kumpulan Kolom Abdurrahman Wahid di Tempo
- Prisma Pemikiran Gus Dur
- Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren
5. Penghargaan
5.1 Penghargaan
Gus Dur banyak menerima Penghargaan dari dalam negeri dan luar negeri karena jasa-jasanya :
- 2010 Lifetime Achievement Award dalam Liputan 6 Awards 2010
- 2010 Bapak Ombudsman Indonesia oleh Ombudsman RI
- 2010 Tokoh Pendidikan oleh Ikatan Pelajar Nadhlatul Ulama (IPNU)
- 2010 Mahendradatta Award 2010 oleh Universitas Mahendradatta, Denpasar, Bali
- 2010 Ketua Dewan Syuro Akbar PKB oleh PKB Yenny Wahid
- 2010 Bintang Mahaguru oleh DPP PKB Muhaimin Iskandar
- 2008 Penghargaan sebagai tokoh pluralisme oleh Simon Wiesenthal Center
- 2006 Tasrif Award oleh Aliansi Jurnanlis Independen (AJI)
- 2004 Didaulat sebagai “Bapak Tionghoa” oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang
- 2004 Anugrah Mpu Peradah, DPP Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia, Jakarta, Indonesia
- 2004 The Culture of Peace Distinguished Award 2003, International Culture of Peace Project Religions for Peace, Trento, Italia
- 2003 Global Tolerance Award, Friends of the United Nations, New York, Amerika Serikat
- 2003 World Peace Prize Award, World Peace Prize Awarding Council (WPPAC), Seoul, Korea Selatan
- 2003 Dare to Fail Award , Billi PS Lim, penulis buku paling laris "Dare to Fail", Kuala Lumpur, Malaysia
- 2002Pin Emas NU, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Jakarta, Indonesia.
- 2002 Gelar Kanjeng Pangeran Aryo (KPA), Sampeyan dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwono XII, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia
- 2001 Public Service Award, Universitas Columbia , New York , Amerika Serikat
- 2000 Ambassador of Peace, International and Interreligious Federation for World peace (IIFWP), New York, Amerika Serikat
- 2000 Paul Harris Fellow, The Rotary Foundation of Rotary International
- 1998 Man of The Year, Majalah REM, Indonesia
- 1993 Magsaysay Award, Manila , Filipina
- 1991 Islamic Missionary Award , Pemerintah Mesir
- 1990 Tokoh 1990, Majalah Editor, Indonesia
5.2 Doktor Kehormatan
Gus Dur juga menerima gelar Doktor Kehormatan dari luar negeri karena pemikirannya dan jasa-jasanya:
- Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Universitas Thammasat, Bangkok, Thailand (2000)
- Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000
- Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Universitas Sorbonne, Paris, Perancis (2000)
- Doktor Kehormatan dari Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand (2000)
- Doktor Kehormatan dari Universitas Twente, Belanda (2000)
- Doktor Kehormatan dari Universitas Jawaharlal Nehru, India (2000)
- Doktor Kehormatan dari Universitas Soka Gakkai, Tokyo, Jepang (2002)
- Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Universitas Netanya, Israel (2003)
- Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Universitas Konkuk, Seoul, Korea Selatan (2003)
- Doktor Kehormatan dari Universitas Sun Moon, Seoul, Korea Selatan (2003)
6. Referensi
https://wiki.laduni.id/
https://gusdur.net/
VIDEO CERITA ANAK GUS DUR
Memuat Komentar ...