Tradisi Haul untuk Memperingati Wafatnya Seorang Tokoh Agama

 
Tradisi Haul untuk Memperingati Wafatnya Seorang Tokoh Agama

Istilah Haul pada dasarnya berasal dari bahasa Arab. Haala-Yahuulu-Hawlan yang memiliki arti satu tahun. Istilah ini dalam fikih digunakan sebagai salah satu syarat kewajiban zakat. Kemudian istilah ini oleh masyarakat Islam Indonesia digunakan sebagai upacara peringatan tahunan atas wafatnya seseorang. Tidak ada keterangan jelas yang menunjukkan siapa yang pertama kali menggunakan istilah haul sebagai hari peringatan kematian. Yang pasti, tradisi ini sudah ada seiring dengan masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia.

Dalam definisi yang berkembang di masyarakat Indonesia, haul adalah sebuah peringatan kematian seseorang satu tahun sekali dengan tujuan untuk mendoakan agar semua amal ibadahnya diterima oleh Allah SWT. Orang yang diperingati haulnya biasanya adalah dari pihak keluarga atau juga seorang tokoh atau ulama yang memiliki jasa.

Haul sebagai peringatan kematian anggota keluarga diselenggarakan oleh pihak keluarga dan biaya serta akomodasinya didapat dari iuran anggota keluarga. Pihak keluarga biasanya mengundang tetangga- tetangga terdekatnya untuk diminta turut membacakan tahlil dan doa-doa. Sedangkan haul seorang tokoh biasanya tidak hanya  dari pihak keluarga dan tetangga-tetangga terdekat saja yang turut datang menghadiri acara peringatan haulnya. Beberapa orang dari tetangga desa, kecamatan, kabupaten dan kota lain juga turut serta dalam upacara haul seorang tokoh. Terlebih bagi mereka yang merasa memiliki hubungan emosional semisal haul kiai pesantren di mana ia mengaji. Haul kiai pesantren ini biasanya disesuaikan dengan acara-acara tahunan pesantren seperti imtihan atau haflah akhirussanah (acara tahunan yang menandai berakhirnya masa studi tahunan para santri).

Kegiatan haul biasanya dilaksanakan tepat pada tanggal meninggalnya almarhum. Penanggalan hijriyah pada umumnya digunakan sebagai penentuan satu tahun pertama meninggalnya almarhum dan tahun-tahun selanjutnya. Namun, sebagian masyarakat ada juga yang menggunakan kalender Masehi yang relatif lebih mudah diingat dan ditentukan jauh-jauh hari.

Bagi masyarakat yang menggunakan penanggalan hijriyah sebagai acuan penyelenggaran haul, biasanya mengadakan musyawarah keluarga untuk menentukan hari pelaksanaan peringatan haul. Pada acara haul juga dilakukan ziarah ke makam orang yang sedang diperingati. Bahkan haul bagi seorang tokoh atau wali, mengalami puncaknya pada peringatan haul ini.

Sebagaimana tradisi yang lainnya, haul merupakan efek transmigrasi yang menyebar ke berbagai wilayah di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan beberapa wilayah lain. Tradisi peringatan kematian, yang biasa masyarakat Jawa laksanakan seperti “nelung dina” (peringatan yang dilaksanakan pada hari atau malam ke-3 dari kematian), “mitung ndina” (hari atau malam ketujuh), “matang puluh” (hari atau malam ke 40), “nyatus” (hari atau malam ke 100), dan “nyewu” (hari atau malam ke 1000), bukanlah asli tradisi masyarakat Jawa. Tradisi peringatan kematian tersebut berasal dari tradisi sosio religi bangsa Campa muslim (yang mendiami kawasan Vietnam Selatan sampai mengalami pengusiran sekitar tahun 1446 dan 1471 M). Sementara tradisi muslim Campa tersebut diwarisi dari kultur kaum muslim kawasanTurkistan, Persia, Bukhara, dan Samarkand, yang dari tiga kawasan itulah Islam berkembang di kawasan Indo-Cina, termasuk Campa pada abad ke-10 M, tradisi yang paling banyak mempengaruhi masyarakat Campa adalah tradisi Persia, sehingga ajar terdapat tradisi haul, perayaan hari ‘Asyura, Mauled Nabi, nishfu sya’ban, rebo wekasan, larangan hajat di bulan Muharram, madah Nabi, ahl bait, dan sebagainya.

Menurut Agus Sunyoto, bagi kebanyakan umat Islam yang kurang memahami sejarah, ada anggapan bahwa adat kebiasaan dan tradisi keagamaan yang dilakukan oleh kalangan umat Islam tradisional adalah hasil pencampuradukan antara ajaran Hindu- Buddha dengan Islam atau yang lebih familiar disebut sinkretik. Tanpa didukung fakta sejarah, dinyatakan bahwa tradisi keagamaan yang berkaitan dengan kenduri memperingati kematian seseorang pada hari ke-3, ke-7, ke- 40, ke-100, dan ke-1000 adalah warisan Hindu- Buddha. Padahal, dalam agama Hindu dan Buddha sendiri tidak dikenal tradisi kenduri dan tradisi memperingati kematian seseorang pada hari ke-3, ke-7, ke-40, dan ke-1000. Pemeluk Hindu mengenal kematian seseorang dalam upacara sraddha yang dilaksanakan dua belas tahun setelah kematian seseorang.

Lebih lanjut Agus Sunyoto menyatakan bahwa tinjauan sosio-historis terjadinya perubahan adat kebiasaan dan tradisi kepercayaan  di  Nusantara  khususnya  di Jawa  pasca  runtuhnya   Majapahit,   tidak  bisa ditafsirkan kecuali sebagai akibat dari pengaruh kuat para pendatang asal negeri Champa yang beragama Islam, yang ditandai kehadiran dua  bersaudara  Raden  Rahmat  dan Raden Ali Murtadho. Peristiwa yang diperkirakan terjadi sekitartahun 1440 Masehi yang disusul hadirnya pengungsi-pengungsi asal Campa  pada  rentang  waktu  antara  tahun 1446 hingga 1471 Masehi, yaitu masa runtuhnya kekuasaan Kerajaan Campa akibat serbuan Vietnam, kiranya telah memberikan kontribusi yang tidak kecil bagi terjadinya perubahan sosiokultural-religius masyarakat Majapahit yang mengalami kemunduran.

Haul Wali dan Para Tokoh Agama

Pengidolaan dan pemujaan terhadap seorang wali adalah sebuah ritual yang sudah ada sejak lama dalam sejarah umat Islam. Namun, sejak munculnya Ibn Taymiyyah dan Ibn Qayyim al-Jauziyyah, ritual ini mendapat tantangan serius. Terlebih ketika Arab Saudi diambil alih oleh kerajaan Saud, dimana bentuk pelarangan terhadap pemujaan terhadap wali terjadi di Negara tersebut. Terlepas dari  hal itu, pengidolaan dan pemujaan terhadap wali terus berkembang di Negara-negara lainnya. Tak terkecuali di Indonesia.

Di Indonesia, lebih khusus di tanah Jawa, pemujaanwali ataudalam artilebih sempit lagi, menziarahi makam wali adalah sebuah ritual yang sangat lazim. Mengenai pemujaan wali yang terjadi di Indonesia dan hubungannya dengan tradisi umum masyarakat dianggap sebagai bagian dari ketakwaan. Kecaman keras dari kalangan modernis sejak pertengahan tahun 1920-an tidak berpengaruh banyak terhadap suburnya praktik pemujaan terhadap para wali. (Muhaimin AG, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal, 2002: 227-228)

Salah satu bentuk dari pemujaan terhadap seorang wali adalah dengan mengadakan haul seorang wali. Haul Sunan Bonang (salah satu tokoh penyebar Islam di Indonesia dan termasuk anggota walisongo) misalnya. Dalam 

upacara peringatan haul Sunan Bonang, terdapat beberapa prosesi kegiatan, yaitu: pertama, musyawarah alim ulama yang diadakan di Masjid Sentono. Kedua, takhtimul qur’an bi nazhar (khataman al-Quran dengan membaca kitab al-Quran secara langsung). Ketiga, Takhtimul Qur’an bil Ghayb (khataman al-Quran oleh para penghafal al-Quran dengan tanpa melihat al-Quran). Keempat, Tahlil Kubra. Sebagaimanahalnyahaul Sunan Bonang yang didatangi puluhan ribu kaum muslim untuk turut mengikuti acara haul, haul habib Anis di Solo juga tak kalah menarik perhatian kaum muslim di Indonesia untuk datang ke Solo. Haul Habib Anis Solo juga dilaksanakan tidak hanya satu hari. Pelaksanaan haul Habib Anis tahun 2016 misalnya, digelar selama tiga hari berturut-turut. Rangkaian acara haul Habib Anis selain diisi dengan pembacaan tahlil dan doa bersama juga diadakan pengajian bagi jamaah yang hadir di acara tersebut.

Haul para tokoh kharismatik juga biasanya tidak hanya dilakukan di rumah atau makam sang tokoh di semayamkan. Peringatan haul KH   Abdurrahman   Wahid   (Presiden   RI ke-4) misalnya, diadakan di  berbagai  daerah  di Indonesia. Meski tidak ada hubungan kekeluargaan   dengannya,   masyarakat tanpa  pamrih  meluangkan  waktunya untuk berkumpul di suatu tempat tertentu untuk mengadakan peringatan haul dengan melakukan pembacaan tahlil dan doa bersama.

Fungsi Sosial Haul

Haul menjadi tradisi yang menjanjikan di kalangan umat Islam. Haul mejadi pola penghubung bagi generasi penerus dengan generasi pendiri sebuah orde keagamaan, misalnya tarekat atau pendiri  pesantren  yang pada masanya memiliki kharisma yang sangat tinggi. Haul menghadirkan nuansa kharismatik. Semakin besar charisma kiai atau wali semakin besar nuansa haul tersebut. (Nur Syam, Islam Pesisir, 184)

Pada titik ini, haul juga memiliki fungsi sosial sebagai perekat persaudaran bagi sebuah keluaga dan masyarakat setempat. Bahkan bila yang diperingati adalah seorang tokoh, fungsi sosial dari peringatan haul ini sangat besar. Para tamu yang datang dari berbagai daerah bertemu di acara tersebut. Haul habib Anis Solo (salah seorang habib yang memiliki massa yang cukup banyak) bisa dijadikan contoh bagaimana para muhibbin (kelompok pecinta ahlul bait atau keturunan Nabi Muhammad SAW) dari berbagai daerah datang ke Solo untuk menghadiri peringatan haul tahunan sang habib.

Fungsi Ekonomi

Selain memiliki fungsi sosial, acara haul –terutama haul para wali dan tokoh – juga memiliki dampak ekonomi. Ribuan orang dari berbagai daerah datang di suatu tempat diselenggarakannya acara haul dimanfaatkan oleh para pedagang untuk mengais rejeki. Tempat-tempat penginapan juga biasanya dipenuhi oleh para peserta haul yang datang dari luar daerah. [M. Idris Mas’udi]

Sumber Bacaan

Muhaimin AG, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal, Ciputat: Logos, 2002, cet. II Nur Syam, Islam Pesisir, Yogyakarta: LKiS, 2005 Agus Sunyoto, Atlas Walisongo, Depok: Pustaka IIMaN, 2014 Al-Munawwir, Kamus al-Munawwir, A. Khoirul Anam, dkk, Ensiklopedia NU, Jakarta: Mata Bangsa dan PBNU, 2014 https://www.nu.or.id/post/read/64842/haul-habib-ali-di-masjid-riyadh-solo-digelar-29-31-januari;https://www. wongjonegoro.com/2016/10/haul-sunan-bonang-tuban-2016.html

SUMBER : ENSIKLOPEDI ISLAM NUSANTARA (Edisi Budaya)