Laron, Halal atau Haram untuk Dikonsumsi?

 
Laron, Halal atau Haram untuk Dikonsumsi?

LADUNI.ID, Jakarta - Musim hujan jadi waktu laron untuk keluar sarang. Gerombolan binatang bersayap ini terbang meriungi lampu yang menyala. Siklus hidup laron cukup singkat. Hanya dalam beberapa jam, sayap laron akan rontok. Selanjutnya, laron akan mencari pasangan lalu berkembang biak.

Sebagian masyarakat mengumpulkan laron untuk dikonsumsi. Ada yang menggorengnya, ada pula yang dijadikan campuran makanan tertentu seperti peyek atau bakwan.

Mereka tidak mempedulikan status hukum laron menurut Islam. Jika ditanya halal atau haram, alasan yang dipakai adalah laron disamakan dengan belalang.

Lantas, apakah benar laron halal dimakan?
Tentang laron itu sendiri. pertama-tama harus dilihat dulu penjelasan dari nash Al-Quran dan Al-Hadits sebagai sumber hukum yang pertama dan utama dalam Islam. Lalu menelaah keterangan dan pembahasan dari para ulama, mengenai binatang itu.

Kalau ia termasuk hewan yang diharamkan, maka tentu tidak boleh dimakan. Sehingga karenanya, kalau dikonsumsi, walaupun dinyatakan memiliki kandungan gizi dan protein yang tinggi, serta baik untuk kesehatan, tetap terlarang. Karena banyak riwayat dan nash yang tegas melarang kita mengkonsumsi bahan atau makanan yang haram.

Namun ada pula ulama dan Imam Madzhab yang menyatakan bahwa laron itu struktur tubuhnya dapat dianalogikan sama dengan belalang. Sehingga dapat dikategorikan halal mengkonsumsinya. Jumhur ulama menyatakan, binatang-binatang yang tidak punya darah mengalir di tubuhnya, “Maa laa daama lahu sailun” maka umumnya dianggap suci. Tapi kalau untuk dimakan, maka terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ada yang berpendapat membolehkannya, dan ada pula yang melarangnya.

Tapi dalam hal ini tetap berlaku kaidah yang bersifat umum. Yakni kalau membahayakan bagi manusia, maka tentu jadi terlarang. Dan dengan demikian hukum mengkonsumsinya pun menjadi haram.

Selanjutntya, bagi orang yang awam, boleh saja menerima dan mengikuti pendapat dari para kyai, pimpinan agama dan ulama yang dikenalnya secara perorangan. Dalam hal ini tentu adalah ulama yang terpercaya dan diakui kredibilitasnya. Bukan hanya orang yang mengaku-aku ulama, tanpa ada track-recordnya, rekam-jejaknya yang terpercaya. Namun pendapat dari orang yang lebih banyak, seperti ijma’ ulama, itu tentu lebih baik lagi. Seperti untuk konteks kita di Indonesia adalah pendapat atau fatwa yang dikeluarkan oleh para ulama di Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Itu tentu lebih layak untuk diterima.

Terakhir, kalau boleh kita mengingatkan dan menyarankan, makanlah produk atau bahan yang telah jelas kehalalannya. Jangan yang macam-macam, atau neko-neko, yang tidak jelas atau dianggap meragukan status kehalalannya. Karena makanan yang jelas halal itu masih sangat banyak tersedia di sekitar kita. Mengapa malah menyibukkan diri dengan yang meragukan, atau  yang syubhat. Sebab dikhawatirkan, yang syubhat itu akan mengakibatkan orang tergelincir pada yang haram.