Kuta Glee Batee Iliek #2: Syekh Abdurrahim Punggawa Benteng Kokoh Samalanga

 
Kuta Glee Batee Iliek #2: Syekh Abdurrahim Punggawa Benteng Kokoh Samalanga

LADUNI. SEJARAH-Mengurai Kuta  tidak lupa dengan sosok yang dikenal sebagai ulama dan pejuang yang kesohor dengan sebutan Teungku Chiek Kuta Glee Batee Iliek. Nama asli beliau adalah  adalah Tgk. Haji Sjekh Abdurrachim, Ibnu Tgk. Haji Hasan, Ibnu Tgk. Haji Besar. Mula-mula datang ke Samalanga, bertempat tinggal di kampung Kiran.

Sebelum berkeluarga, beliau mengaji pada seorang ulama di Aceh Besar. Pulang dari Aceh Besar, beliau menunaikan ibadah haji di Mekkah. Sekembalinya dari Mekkah, beliau mengajar di Dayah Meunasah Mesjid Batee Iliek.

Dalam perjalanannya beliau sebagai ahli ilmu agama (ulama) dan tokoh kharismatik saat itu juga berperan sebagai pemimpin peperangan melawan penjajah. Sejak tentara Belanda merebut Kraton Aceh pada 24 Januari 1874, Belanda terus bergerak.

Pada awal tahun 1877, Belanda mengadakan rencana perang untuk menyerang daratan Samalanga di bawah pimpinan Kolonel Karel van der Heyden.

Pejuang Samalanga telah mengetahui rencana Belanda itu. Maka para pejuang telah bersiap-siap dan waspada. Kubu-kubu pertahanan di sepanjang tepi pantai telah merupai bendungan dari tanah dibuat untuk pertahanan memanjang dari Timur ke Barat mulai dari Peuneulet, Kuala Tambue sampai ke Kiran.

Tepat pada tanggal 9 Agustus 1877, pasukan Belanda yang diangkut dengan 12 kapal terdiri dari kapal perang dan pengangkut telah mendarat di Samalanga di bawah pimpinan Kolonel Karel van der Heyden.

Tanpa menunggu lagi, pasukan pejuang Tgk. di Pulo Baroh mulai 14 Agustus mengadakan pernyerangan ke bivak-bivak tentara Belanda. Pada 26 Agustus, benteng Kuta Ceukook jatuh ke tangan tentara Belanda dan pasukan pejuang Aceh bertahan di benteng Blang Tomulok.

Dengan kekuatan 2 batalyon di bawah pimpinan van der Hayden, tentara Belanda menyerang benteng tersebut habis-habisan. Tapi malang baginya, mata kiri van der Hayden kena peluru pejuang Aceh dan ia menderita buta.

Maka pada 1 September 1877, dia dibawa ke Kutaradja (Banda Aceh sekarang) meninggalkan serdadu-serdadu yang mati termasuk seorang komandan batalyon Mayor PEJH. van Dompaler.

 

Tentera Belanda yang bergerak terus kemudian dapat menguasai Pante Rheng. Selama mereka berada di tempat itu, masyarakat dalam keadaan cemas akibat dari keganasan serdadu-serdadu yang di luar perikemanusian.

 

Maka Ulee Balang Negeri Samalanga bersama pemimpin-pemimpin masyarakat dan cerdik pandai mengatur siasat, mengadakan perundingan dengan pihak pimpinan tentara Belanda pada 13 September 1877.

 

Dalam kesempatan tersebut, seluruh pertahanan rakyat diperkuat termasuk benteng Kuta Glee yang dibuat sebagai induk pertahanan dan dipimpin langsung Tgk. Haji Syekh Abdurrachim. Sedangkan yang lain-lain seperti benteng Kuta Jeumpa, Kuta Tgk. Loeeng Keubeu, Kuta Lhee Sagoe, Kuta Cot Riwat, Kuta Naleueng Sira, Kuta Tgk. Di Lhok Kroeet, Kuta Glee Gisa Punggoong, Kuta Asam Kumbang dibuat sebagai benteng pembantu dan cadangan.

 

Di samping itu, pertahanan-pertahanan di luar Samalanga seperti Meureudu, Peudada dan Peusangan telah mempersatukan diri terpusat di bawah komando Tgk. Di Kuta Glee. Saat itu, kaum wanita di bawah pimpinan Pocut Meuligoe pesat mengadakan propaganda ke seluruh pelosok untuk memberikan semangat jihad kepada pejuang-pejuang Aceh. Karena beliau seorang wanita, maka kesempatannya untuk bergerak lebih leluasa. Dengan demikian beliau mengkoordinir pertahanan-pertahanan  seluruh Samalanga.

 

Perjanjian penghentian tembak menembak tidak lama berlaku berhubung banyaknya tentara Belanda menjadi korban oleh serangan gerilyawan-gerilyawan Aceh.

 

Maka pada 18 Juni 1880 oleh pimpinan tentara Belanda di Kutaradja dikirimlah tambahan pasukannya dan Major van Steenvelt. Sejak itu, berlaku kembali pertempuran-pertempuran di sekitar Kuta Glee dengan mengalami kekalahan-kekalahan besar di pihak Belanda.

 

**Helmi Abu Bakar El-Langkawi, Sumber:  “Riwajat hidup (singkat) beberapa orang pahlawan Atjeh zaman pra-kemerdekaan