Ketika Gus Dur Jalan-Jalan di Ciganjur

 
Ketika Gus Dur Jalan-Jalan di Ciganjur

LADUNI.ID, Jakarta - Orang-orang datang ke tempat itu dengan rupa macam-macam. Ada yang pakai baju koko, berkopyah hitam dan sarung, pakai tato lengkap, pakai salib dan lain-lain. Mereka datang untuk menghadiri Haul Gus Dur yang keenam di kediamannya, Ciganjur, Jakarta Selatan. Tidak jauh dari pusat acara yang akan dihadiri oleh Habib Luthfi bin Yahya dari Pekalongan ini, kira-kira 600 meter, seorang lelaki yang berkacamata memerlukan lebih banyak 75 tahun berjalan sekarang.

Lelaki itu berjalan dengan biasa saja, tidak terburu-buru dan tidak juga cepat. Tapi, jalan sempit Ciganjur malam ini memerlukan menepi — klakson berbunyi saling bersahabat seperti semua manusia ini tuli belaka — dan berhenti di warung kopi. Warung itu cukup ramai, tapi ada tempat kosong dan lelaki ada di sana.

“Kopi, Pak?” Tanya pemilik warung sembari membantah dengan seksama lelaki yang harus dianalisa. Ia diterima kenal dengan lelaki ini, tetapi tidak yakin dengan apa yang dilihatnya.

"Tidak. Berikan jahe hangat saja, ”jawabnya singkat.

Orang-orang yang berada di warung saling bertukar pandang dan berbisik-bisik. Suasana mulai gaduh, setiap orang suka berbicara sendiri-sendiri dan mencoba meyakinkan apa yang ia lihat barusan. Sementara lelaki itu hanya diam saja. Akhirnya, salah seorang di antara mereka memberanikan diri bertanya. "Maaf, Pak. Sampean Gus Dur, bukan?

Lelaki itu menoleh, ia melihat wajah orang-orang yang ingin melihatnya. Sepersekian detik setelahnya, lelaki itu tertawa dan hal itu membuat mereka kebingungan.

“Sekali lagi, kami meminta maaf, Pak. Apa benar sampean Gus Dur, ”tukas yang lain, dengan nada panik.

Lelaki itu menganggukkan kepala.

"Gus Dur?" Tanya yang lain, memastikan.

Lelaki itu tersenyum. Lalu menjawab, "Kira-kira begitu orang-orang memangilku."

Suasana mulai tegang dan bingung. Beberapa pemikiran, orang ini bisa jadi merupakan pembohong atau meminta mirip dengan Gus Dur, sebagian lagi perlu perlu laporan ke petugas keamanan. Toh, Gus Dur memiliki wafat enam tahun yang lalu, bahkan ada yang menunggu hari kematiannya, tak jauh dari tempat mereka saat ini. Salah satu dari mereka mengambil ponsel dan mengambil memotretnya.

“Sudah. Tidak usah bingung. Duduk saja di sini. Saya hanya ingin jalan-jalan saja, ”katanya.

Hal itu membuat orang-orang itu lega. Mereka pun duduk kembali dan kembali menikmati kudapan yang ada di warung, serta mulai bercakap-cakap dengan pria bernama Gus Dur itu. Mereka pun sering dibuat tertawa karena guyonan yang sering dilontarkan oleh lelaki itu. Suasana sudah sangat cair.

"Gus," kata salah satu di antara mereka, "saya ini capek loh lihat berita di tipi setiap hari."

Sekarang, semua orang mulai melihatnya orang itu. Mohon juga lelaki itu.

"Tiap hari yang saya lihat itu ya digunakan."

Lelaki itu terdiam sebentar. Ia mendongakkan kepala di atas, terpejam lalu menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya. Hal ini ia lakukan tiga kali.

"Maksud sampean?" Tanya lelaki itu.

“Begini, Gus. Kami ini orang kecil. Tiap hari disuguhin politik nggak jelas. Korupsi di mana-mana.

"Betul, Gus," timpal yang berbaring.

“Ada pembunuhan juga, Gus. Salim Kancil itu orang seperti kami, wong cilik. Ia mengalahkan gara-gara bela tanah yang diambil orang kaya. Kami loh sedih. Sudah nggak punya apa-apa, tanah diambil orang lagi. Belum lagi orang islam ngamuk terus sama orang lain, agama lain. Daerah mana itu, Jang? ”Tanya yang lain sembari menoleh ke teman di sebelahnya.

"Tolikara, Pak Dhe," jawab orang bernama Jajang.

“Singkil di Aceh juga, Pak Dhe. Bogor juga, GKI Yasmin masih nggak boleh ibadah loh di ada, ”seloroh yang lain.

“Aku adalah prinsipe. Wong agamo kok ngunu , ”tambahnya.

Lelaki itu tampak terdiam. Itu melihat dengan seksama wajah-wajah orang yang berada di sekitarnya.

"Kalian percaya padaku, kan?"

Mereka mengangukkan kepala. Lelaki itu lalu melanjutkan perkataannya.

“Jika sampean semua yakin dipersiapkan, maka lakukanlah apa yang harus saya lakukan kompilasi masih hidup dulu. Selalu berbaik baiklah bagi sesama, apa pun suku dan agamanya. Dampingi orang-orang yang lemah di sekitar kamu. Jangan biarkan ada yang melukai mereka, dilarang mengeluarkannya beribadah. ”

Mereka semua terdiam. “Tapi, panjenengan sudah tidak ada, Gus. Kami senang sendirian, ”tukas yang lain. Orang itu meneteskan air mata.

Lalu lelaki itu berdiri, memeluk orang ini dan menepuk pundaknya.

“Jangan pernah takut. Semuanya akan baik-baik saja, asalkan sampean tetap mengamalkan agama dengan baik, selalu menolong orang yang kesusahan dan mempercayai agama islam. Saya akan selalu ada di hati sampean semua. ”

Lelaki itu pun lalu meminta ijin untuk pergi ke acara haul.

“Kalian tetap saja di sini, terus ngopi kalian. Saya akan berbicara kepada orang-orang yang ada di acara itu, juga tentang keluhan-keluhan sampean semua, ”katanya.

Lelaki itu pun berjalan lagi. Jalanan kian ramai. Orang-orang itu warung itu pun turut mengantarnya keluar dan melihat sosoknya berjalan menuju keramaian hingga tak terlihat lagi di antara kerumunan orang-orang.


  • Cerita ini adalah cerita imajiner, terkait isi, setuju cerita, waktu dan lain sebagainya, Respon tanggung jawab penulis. (Sumber: islami.co)