Hukum Arisan dalam Islam
LADUNI.ID, Jakarta - Arisan tergolong transaksi utang piutang karena orang yang mendapatkan uang arisan dia ingin memanfaatkan uang tersebut untuk berbagai keperluan lalu mengembalikannya sama persis dengan nominal yang dia terima.
Uang yang dikumpulkan diberikan kepada salah satu anggota arisan dan demikian seterusnya, sehingga semua anggota arisan mendapatkannya. Hal ini termasuk utang piutang yang mengandung unsur menolong dan berbuat baik.
Oleh karena itu tidak mengherankan kiranya apabila Islam mengatur proses interaksi antar individu ini lebih-lebih yang ada kaitannya dengan pelepasan harta atau pengeluaran dana dan sering dikenal dalam bahasa santri dengan fiqh mu’amalah. Saudara penanya yang disayangi Allah. Memakan harta dengan cara yang batil dan tanpa adanya kerelaan hati dari orang orang maupun pihak-pihak yang terlibat dalam proses transaksi adalah haram hukumnya, hal ini sebagaimana dicetuskan dalam friman Allah surat an-Nisa’ ayat 29:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta diantara kalian dengan cara yang bathil.”
Selain larangan memakan harta dengan jalan yang batal, Allah juga memberikan rambu-rambu yang tegas mengenai keharaman transaksi yang didalamnya terdapat dan mengandung riba, ada hal yang nampaknya perlu dijadikan pertimbangan dan diperhatikan yakni mengenai status panitia/bandar arisan tersebut. Apabila ia dianggap sebagai orang yang menghutangi para anggota dan transaksi yang dilakukakannya dengan para anggota arisan tersebut adalah akad utang piutang (qiradlh), serta pengembalian utang dengan nilai lebih bagi panitia disebutkan dalam transaksi, maka hukumnya adalah riba.
Namun apabila panitia/bandar arisan ini statusnya adalah sebagai petugas/pegawai yang layak mendapatkan upah/gaji dalam mengurusi arisan sehingga akad/transaksi yang dilakukan adalah ujrah/upah, maka hal semacam ini hukumnya adalah boleh.
Dalam hal ini, Kami lebih cenderung mengikuti pendapat yang kedua yakni posisi bandar/panitia arisan tersebut adalah petugas yang layak mendapat gaji/upah atas jerih payah yang mereka lakukan.
Mengenai rujukan dapat dilihat dalam banyak kitab fiqih seperti I’anah at-Thalibin dan yang lain. Demikian jawaban singkat ini, mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Kunjungi Juga
- Pasarkan Produk Anda dengan Membuka Toko di Marketplace Laduni.ID
- Profil Pesantren Terlengkap
- Cari Info Sekolah Islam?
- Mau Berdonasi ke Lembaga Non Formal?
- Siap Berangkat Ziarah? Simak Kumpulan Info Lokasi Ziarah ini
- Mencari Profil Ulama Panutan Anda?
- Kumpulan Tuntunan Ibadah Terlengkap
- Simak Artikel Keagamaan dan Artikel Umum Lainnya
- Ingin Mempelajari Nahdlatul Ulama? Silakan
- Pahami Islam Nusantara
- Kisah-kisah Hikmah Terbaik
- Lebih Bersemangat dengan Membaca Artikel Motivasi
- Simak Konsultasi Psikologi dan Keluarga
- Simak Kabar Santri Goes to Papua
Memuat Komentar ...