Keluwesan Hukum Islam Seputar Puasa Ramadhan

 
Keluwesan  Hukum Islam Seputar Puasa Ramadhan

LADUNI.ID, Jakarta  - Surat al-Baqarah ayat 183-187, inilah ayat al-Qur’an yang  paling popular pada bulan Ramadhan, hampir semua penceramah di masjid dan di tempat lainnya membaca ayat ini. 

Pada ayat 183 hanya menjelaskan tentang status hukum puasa yaitu wajib, dan tujuan atau target yang ingin dicapai yaitu takwa. Artinya, salah satu pesannya atau pelajaran, bahwa manajemen hidup, tidak semata-mata terfokus pada persoalan hukum dan prosedur formal, tapi sebaiknya harus jelas target tujuan apa yang mestinya harus diperoleh. Untuk mencapai target tujuan itu, maka harus dilakukan langkah-langkah strateginya. Langkah strateginya itulah yang kemudian disebut sebagai syariatnya, dalam bahasa operasional namanya ilmu Fiqh.

Apabila diperhatikan ayat-ayat tentang puasa, justru pada ayat 187 surat al-Baqarah baru dijelaskan tentang tata cara puasa, yaitu: 

وَكُلُوا وَٱشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلْخَيْطُ ٱلْأَبْيَضُ مِنَ ٱلْخَيْطِ ٱلْأَسْوَدِ مِنَ ٱلْفَجْرِ

Artinya: Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar.

Inilah ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang perintah makan sahur sebagai batas waktu memulai puasa yang diawali dengan niat puasa, yaitu ketika fajar atau waktu subuh sudah masuk.

Hadis yang memperjelasnya adalah, Rasulullah SAW. menegaskan: 

مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فلَا صِيَامَ لَهُ

“Barangsiapa yang tidak berniat puasa pada malam harinya sebelum terbit fajar (subuh), maka tidak ada puasa baginya. (HR. Nasai dari Hafshah istri Rasulullah SAW.).

Lalu ayat selajutnya adalah:

ثُمَّ أَتِمُّوا ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيْلِ

Kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam. 

Maksudnya, sampai terbenam matahari, itulah saatnya diperintahkan berbuka puasa.

Dari sinilah, para ulama mendefenisikan puasa adalah menahan diri untuk tidak makan, minum dan hubungan seksual suami istri sejak terbit fajar yang diawali dengan niat puasa hingga terbenam matahari.

Pada ayat 184 surat al-Baqarah, barulah berbicara masalah hukum-hukum puasa, termasuk hukum bagi perempuan, qadha puasa, dan fidyah puasa, yaitu: 

فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.

Berdasarkan ayat ini, secara hukum dibolehkan tidak berpuasa bagi: 1. Orang sakit, 2. Orang musafir, 3. Orang yang terasa sangat berat menjalankan puasa.
Orang sakit seperti apa? Perjalanan seperti apa? Terasa berat seperti apa?

Inilah memerlukan tafsir atau penjelasan. Penjelasan dari mana? Dari Hadis, dari para ulama yang ahli di bidangnya, yaitu ahli tafsir, ahli hadis, ahli fiqh, dan lainnya. 

Kalau tidak pakai tafsir, hanya berdasarkan terjemahan. Maka orang yang sakit bisul, sakit kudis, panu, boleh tidak puasa. Begitu juga “dalam perjalanan”, kalau hanya berdasarkan terjemahan, maka perjalanan apa saja, termasuk perjalanan dari rumah ke pasar, ke kantor, dan lain-lain. Apakah ini yang dimaksud? Tentu bukan. Maka sekali lagi, pemahaman terhadap al-Qur’an perlu penjelasan dari hadis-hadis Rasulullah SAW. dan para ulama.

فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا (Maka barangsiapa di antara kamu sakit)
Sakit atau penyakit yang membolehkan tidak puasa, adalah sakit atau penyakit yang apabila berpuasa akan menimbulkan kesulitan yang berat, atau menyebabkan kerusakan bagi dirinya. Begitu juga jika khawatir, apabila berpuasa, maka penyakitnya akan bertambah parah atau proses kesembuhannya memakan waktu lama.

Atas dasar inilah, para ulama merumuskan bahwa syarat wajib puasa ialah sehat jasmani. 
Diriwayatkan dari ‘Ubbadah bin ash-Shamit: 

أَنَّ رَسُولَ اللهِ - صلى الله عليه وسلم - قَضَى أَنْ لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

Sesungguhnya Rasulullah SAW. menetapkan bahwa tidak boleh membuat bahaya kerusakan terhadap diri sendiri dan tidak boleh kepada orang lain. (HR. Ibnu Majah).

Rasulullah SAW. pernah menegur seseorang yang memaksakan dirinya berpuasa kelaparan dan kehausan yang luar biasa hingga pingsan, padahal ia musafir, Beliau bersabda kepada orang tersebut: 

لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصِّيَامُ فِى السَّفَرِ

Bukanlah kebaikan berpuasa ketika dalam musafir. (HR. Abu Daud dari Jabir bin Abdullah).

Kasus ini juga menjadi contoh, bahwa terkadang ada orang beragama dengan semangat tinggi, tapi tidak dibarengi ilmu agama yang memadai sehingga keliru mengamalkan agama, dikira mati syahid karena mati berpuasa, padahal mati sakit hi hi hi. 
Al-Qur’an menegaskan: 

وَلاَ تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

“Janganlah engkau membunuh diri kamu sendiri. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada kalian. QS. An-Nisa, 4: 29).

Ayat selajutnya, 
اَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ (atau dalam perjalanan)

Perjalanan yang dimaksud adalah perjalanan jauh, sebagaimana dijelaskan dalam hadis Rasulullah SAW. 

لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، تُسَافِرُ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ عَلَيْهَا

“Tidak halal bagi perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir mengadakan perjalanan sejauh sehari semalam kecuali bersama mahramnya. (HR. Muslim dari Abu Hurairah).

Atas dasar hadis inilah, para ulama memperkirakan dan menetapkan ukuran jauhnya. Saya mengutip pendapat Prof. Wahbah az-Zuhaili dalam kitabnya al-Fqh al-Islami wa Adillatuhu, bahwa Perjalanan yang membolehkan tidak puasa adalah perjalanan sehari semalam, diperkirakan oleh para ulama, yakni sekitar 89 Km. Ada juga ulama lainnya menyebutkan lebih 80 Km, tidak persis sama dengan 89 Km. 
Perjalanan sejauh ini pula yang membolehkan meng-qashar shalat atau men-jamak shalat.

Bagi mereka yang sakit dan mengadakan perjalanan jauh sebagaimana dijelaskan di atas, maka boleh tidak berpouasa, tapi wajib menggantinya dengan puasa pada hari di luar Ramadhan sebanyak puasa yang ditinggalkannya.

وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَه (Dan bagi orang yang berat menjalankannya)

Para Ulama Tafsir dan Ahli Fiqh menjelaskan bahwa yang termasuk, Orang berat menjalankan ibadah puasa adalah orang tua yang sudah lanjut usia, orang sakit permanen atau tidak ada harapan kesembuhannya, pekerja berat. 
Bagi mereka ini, boleh tidak puasa, tapi wajib diganti dengan fidyah saja.

Lalu Bagaimana hukum puasa bagi perempuan hamil dan perempuan yang menyusui?
Apakah termasuk kategori مَرِيْضاً (sakit) atau seperti أو على سفر (Musafir) sehingga ia boleh tidak puasa, tapi wajib menggantinya dengan puasa di luar Ramadhan, atau termasuk kategori وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَه (Dan bagi orang yang berat menjalankannya) sehingga mereka cukup dengan membayar fidyah saja?

Berkaitan dengan masalah ini, ada hadis Rasulullah SAW. menjelaskan:

إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَضَعَ عَنِ المُسَافِرِ الصَّوْمَ، وَشَطْرَ الصَّلَاةِ، وَعَنِ الحَامِلِ أَوِ المُرْضِعِ الصَّوْمَ

“Sesungguhnya Allah Ta’ala meringankan kewajiban puasa dan separuh shalat bagi musafir, dan meringankan kewajiban puasa bagi perempuan hamil dan perempuan menyusui. (HR. Tirmidzi dari Anas bin Malik).

Hadis ini belum menjelaskan secara rinci mengenai bentuk keringanan dispensasinya, apakah menggantinya dengan puasa atau dengan fidyah saja.

Maka para ulama dalam menjelaskan masalah ini berbeda-beda pendapatnya, dalam berbagai kitab fiqh pun juga bermacam-macam komentarnya, salah satunya yang saya kutipkan adalah Fiqh an-Nisa’ fi Dhau’i al-Madzahib al-Arba’ah wa al-ijtihadat al-Fiqhiyyah al-Mu’ashirah karya Dr. Muhammad Utsman al-Khasyt:

Kalau tidak puasa hanya karena mengkhawatirkan dirinya saja, tidak berpengaruh pada kesehatan janin, atau kualitas dan kuantitas air susunya, ia wajib mengganti puasanya saja, tidak dengan fidyah, seperti halnya orang sakit. (Madzhab Syafi’i dan Hanafi).

Kalau mereka tidak puasa karena mengkhawatirkan kesehatan janinnya dan berkurang air susunya atau kualitasnya terganggu, menurut mayoritas ulama, ia boleh tidak puasa tetapi ia wajib mengganti puasanya dan membayar fidyah. (Madzhab Syafi’i dan Hambali).

Madzhab Maliki: membedakan antara perempuan hamil dan perempuan yang menyusui. Perempuan yang hamil hanya wajib mengqadha’ puasa. Sedangkan perempuan menyusui wajib mengganti puasa dengan bayar fidyah.

Pendapat yang berbeda yang didasarkan dari Ibnu Abbas. bahwa mereka cukup dengan membayar fidyah saja, tanpa menggantinya dengan puasa, mereka disamakan hukumya dengan Orang-orang yang berat menjalankannya (وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَه ).

Abu Daud meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ayat

وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

(Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.) merupakan keringan bagi orang tua lanjut usia baik laki-laki maupun perempuan.

Sedangkan perempuan hamil dan perempuan menyusui jika keduanya khawatir terhadap kondisi janin bayinya, maka keduanya boleh tidak berpuasa, namun wajib menggantinya dengan bayar fidyah. Ini yang disebutkan Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh as-Sunnah.

Berbagai macam pendapat di atas menunjukkan keluwesan flesibilitas hukum Islam dan memberi peluang dan kesempatan bagi umatnya untuk menjalankannya, bagi yang mau mengganti dengan puasa silakan, bagi yang mau mengganti dengan fidyah juga tidak apa-apa sebab semuanya ada dasar hukumnya.

والله أعلم بالصواب

Oleh: Dr. Wajidi Sayadi, M.Ag