Fakta Tak Boleh Dihilangkan Sebab Praduga (Kaidah ketiga)

 
Fakta Tak Boleh Dihilangkan Sebab Praduga (Kaidah ketiga)

LADUNI.ID - 

الْيَقِينُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ
"Fakta (hal yang sudah yakin terjadi) tak bisa dihilangkan sebab praduga"

Kaidah ini menegaskan bahwa hal yang sudah menjadi fakta sama sekali tak bisa berubah statusnya hanya karena praduga atau asumsi belaka yang keberadaannya masih diragukan. Asal kaidah ini adalah hadis yang menceritakan bahwa seorang sahabat mengeluhkan keraguannya apakah dia buang angin atau tidak saat shalat? Nabi kemudian bersabda:
لَا يَنْصَرِفُ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا، أَوْ يَجِدَ رِيحًا
"Tak perlu pergi [berwudlu] kecuali mendengar suara atau aroma [kentut]." (HR. Muslim)

Dan juga berdasar instruksi Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam tentang orang yang lupa jumlah rakaat shalat sebagaimana berikut:
إذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ، فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى أَثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا؟ فَلْيَطْرَحْ الشَّكَّ، وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ
"Bila kalian ragu dalam shalat hingga tak ingat apakah sudah shalat tiga atau empat rakaat? Maka buang yang masih diragukan [rakaat yang lebih banyak] dan teruskan yang sudah diyakini [rakaat yang lebih sedikit]"

Berdasarkan itu kemudian dirumuskan bahwa sesuatu yang sudah menjadi fakta yang meyakinkan hanya dapat berubah status hukumnya dengan fakta serupa, bukan dengan sesuatu yang masih meragukan keberadaannya. Aplikasi kaidah ini tak terhitung banyaknya sebab mencakup hampir semua tema fikih. Beberapa contohnya adalah:

1. Bila sudah berwudhu kemudian beberapa saat kemudian ragu apakah tadi sempat melakukan sesuatu yang membatalkan wudhu atau tidak? Maka yang menjadi fakta di sini adalah punya wudhu sedangkan kebatalannya masih diragukan. Jadi tetap dihukumi punya wudhu. Hal yang berbeda ketika kasusnya memang tidak punya wudhu lalu mandi. Setelah mandi baru dia ragu apakah sewaktu mandi tadi sudah berwudhu atau tidak? Maka fakta di sini adalah tidak punya wudhu sedangkan keberadaan wudhunya masih diragukan. Jadi, dihukumi belum berwudhu.

2. Bila terjadi hutang piutang antara dua orang, lalu di kemudian hari terjadi sengketa sebab peminjam mengaku sudah melunasi hutangnya sedangkan pemberi hutang merasa belum dibayar, maka yang dimenangkan adalah klaim pemberi hutang. Yang menjadi fakta di sini adalah terjadinya hutang piutang sedangkan pelunasannya masih diragukan.

3. Bila seseorang berpuasa lalu ragu apakah waktu maghrib sudah tiba atau belum? Maka dalam hal ini ia dilarang berbuka puasa, bila berbuka maka batal puasanya. Alasannya, fakta yang terjadi adalah masih tetapnya waktu berpuasa sedangkan tibanya waktu maghrib masih diragukan.

4. Bila seseorang memakai pakaian suci, kemudian ragu apakah pakaiannya terkena najis atau tidak? maka statusnya tetap dihukumi suci. Kesuciannya adalah fakta sedangkan timbulnya najis baru praduga. Bahkan andai ada orang yang melemparkan kotoran sapi yang sudah mengering ke sebuah kolam lalu cipratan airnya terkena pakaian, maka pakaian tersebut tetap berstatus tidak najis kecuali nyata ada kotoran sapi yang ikut menempel di pakaian tersebut. Bila tak terlihat ada kotoran, maka faktanya adalah ia terkena air kolam saja sedangkan keberadaan kotoran di pakaian hanya praduga saja.

5. Ada lantai suci yang sebagiannya terkena kencing anak kecil, lalu ada area tertentu di lantai itu yang diragukan apakah ikut terkena najis atau tidak? Maka yang wajib disucikan hanyalah area yang secara faktual ada kencingnya saja.

6. Bisa dikiaskan sendiri bagi kasus-kasus lain.

Penerapan kaidah ini bisa sangat ekstrem hingga seolah tak masuk akal tapi tetap benar secara fikih, misalnya: Hanya ada dua orang di satu ruangan yang keduanya punya wudhu lalu terdengar suara kentut dan tercium aroma tak sedap. Secara meyakinkan pasti ada salah satu dari dua orang itu yang kentut, tapi masalahnya tak ada satu pun yang merasa kentut. Bagi masing-masing orang itu, fakta yang terjadi adalah punya wudhu sedangkan keberadaan kentutnya masih praduga saja. Akhirnya secara fikih keduanya dianggap masih punya wudhu dan sah melakukan shalat, meskipun secara akal pasti salah satunya ada yang batal wudhu.

Hanya saja ada pengecualian bagi kaidah ini, misalnya dalam kasus kucing yang memakan bangkai tikus yang lalu pergi lama. Bila memakai kaidah ini harusnya mulut kucing itu tetap dihukumi najis sehingga apa pun yang dijilatnya ikut najis sebab faktanya ia makan bangkai. Tetapi para ulama menganggap mulut kucing itu suci bila sudah pergi lama hingga kira-kira sudah minum entah di mana. Ini berarti fakta kenajisan tadi diabaikan sebab praduga sudah bersuci. Kenapa demikian? Agar tak menyulitkan masyarakat.

Oleh: Abdul Wahab Ahmad