Ramadhan di Pesantren, Sebuah Kenangan (Seri 1)

 
Ramadhan di Pesantren, Sebuah Kenangan (Seri 1)

LADuNI.ID - Saya dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan pesantren di Arjawinangun, namanya Pondok Pesantren Darut Tauhid yang didirikan oleh kakek saya, KH. A. Syathori.

Masih terekam dalam memori otak saya, saat masih anak-anak, kala bulan Ramadhan tiba, ada dua tradisi di pesantren itu, yaitu: pertama, tradisi kiyai membagi-bagikan bubur kepada para santri pada setiap menjelang maghrib untuk santapan buka puasa. Setiap jam 4 sore, para santri mulai antri dengan tertib dan sabar di halaman pondok. Pada wajah mereka terlihat kebahagiaan. Mereka membawa piring (bukan piring beling/kaca, tetapi piring seng/logam ringan), mangkok dan lain sebagainya—tergantung kepunyaan masing-masing. Satu per satu dari mereka maju, dan pengurus pondok kemudian menuangkan bubur ke piring masing-masing. Selain diberi bubur, mereka juga diberi sayur lodeh dan teh manis. Ini semua merupakan sedekah /shodaqoh pribadi kakek saya, bukan sumbangan dari masyarakat setempat.

Tidak seperti sekarang, dulu tidak ada kurma. Sehingga di saat "ta’jil " berbuka masyarakat di kampung lebih suka makanan tradisional. Kalau sekarang, saat hubungan Indonesia dengan negeri-negeri di Timur Tengah terjalin dengan baik dan intens, kurma bukanlah sesuatu yang langka. Di setiap tempat kita pasti menemukannya, khususnya di bulan Ramadhan, sebagai makanan nyaris ‘wajib’ untuk ta’jîl bagi sebagian kalangan.

Kedua, tradisi menabuh kentongan yang tujuannya membangunkan orang pada waktu menjelang sahur. Setiap jam, dari pukul 12 malam, kentongan itu ditabuh secara berbeda. Misalnya, pada pukul 12 ditabuh sebanyak 12 kali, pukul 1 ditabuh sekali, dan begitu seterusnya—mirip dengan lonceng yang berbunyi untuk menunjukkan waktu. Kemudian pada waktu imsak kentongan itu ditabuh sebanyak 6 kali sebagai peringatan agar orang segera menghentikan aktivitas makan.

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN