Sabili Sang Majalah Jurnalisme Berdarah

 
Sabili Sang Majalah Jurnalisme Berdarah

LADUNI. ID, KOLOM- Akhir 1999, di tembok musala terminal (lama) Ponorogo, tertempel selebaran-selebaran ajakan jihad ke Ambon. Saya membaca, darah berdesir, panas. "Saudara-saudara kita dibantai orang Kresten, kang." kata seseorang di samping saya yang ikut membaca pamflet merah dengan font mencolok dan kalimat bombastis itu.

Seiring dengan banyaknya poster dan selebaran ajakan berjihad, Majalah Sabili menemukan momentumnya. Takdir menghampirinya. Tirasnya melejit. Laris manis bak permen Milkita. 

Saya mulai membaca Sabili, majalah "islam" terlaris saat itu.  Isinya wakwau...top! Provokatif dan disertai istilah-istilah yang baru bagi saya: Salibis, Sepilis, Perang Salib, Konspirasi, Kuffar, Antek Zionis, Agen Yahudi, penjual Islam, de el el. Inilah majalah yang diolah menggunakan jurnalisme pamflet: desain menarik dan diselingi kalimat meledak-ledak.

Saya sering membeli Sabili di toko buku La Tansa milik Pondok Gontor itu. Di kemudian hari, saya yang masih langsing (!), dipinjami salah satu guru saya yang berlangganan majalah yang sering memakai sampul warna hitam dengan desain keren itu. Sejak saat itu saya rajin mengkonsumsi Sabili 3 kali sehari (uhuk) di kamar. Teman-teman sepondok nggak ada yang minat sama majalah ini. Maklum, sahabat saya lebih asyik hafalan nadzom. Sedangkan saya asyik tiduran hahaha

Hingga tiba saat bapak--saya memanggilnya abi-- jauh-jauh datang dari Jember menyambangi saya, akhir 2000. Bapak  melirik bertumpuk-tumpuk majalah Sabili yang ada di lantai.
"Ini beli di mana?"
"Mboten beli. Hanya dipinjami guru di sekolah."
"Kembalikan besok ke gurumu dan nggak usah baca majalah ini ya."
"Lho, kenapa bi? Kan ini majalah bagus." saya protes.
"Ya wis nggak apa-apa. Asal jangan mempercayai keseluruhan majalah ini. Asal juga diimbangi dengan membaca Aula dan Tabloid Warta."

Apesnya. Saat itu di Ponorogo sulitnya bukan main mencari penjual Majalah Aula dan Tabloid Warta NU. Jadi saya hanya sempat baca dua media milik NU ini saat mudik ke Jember, 6 bulan sekali.

Tahun 2001, saya pindah ngekos di samping pondok gara-gara nggak boleh ikut pencak silat (tapi ngajinya tetap ikut di pondok Darul Hikam-nya Gus Nabil Hasbulloh). Saat ngekos di ndalem Pak Ahmad Lubaidi ini, bacaan saya malah berlimpah. Saat itu Pak Lubaidi (allahummaghfirlahu warhamhu waafihi wa'fu anhu), yang merupakan salah satu tokoh Muhammadiyah desa Joresan (meski amaliahnya NU), langganan Majalah Suara Muhammadiyah, Panji Masyarakat, Almuslimun, Sabili, dan..... Aula serta Warta (meski nggak rutin beli). Keren nih beliau. 

Dari sini, dengan stok bacaan melimpah ini, saya mulai membandingkan gaya penulisan antara berbagai majalah ini. Kesimpulannya: Sabili memang lain. Jika majalah Liberty menjual klenik dan sensualitas (saya sebut "jurnalisme lendir"), maka Sabili lebih fokus pada "jurnalisme darah" (bedakan dg jurnalisme perang) yang menjual sensualitas konflik dan jangoisme atas dasar agama. 

Jika Sabili mau menghantam NU, misalnya, strateginya cerdik. Wartawannya diminta mencari tokoh NU yang nyaring bersuara mengkritik PBNU maupun orang NU. Diwawancarai, dicari statemennya yang bikin panas, lalu dijadikan headline di kolom wawancara dan ditaruh di cover.  Jadi, strategi Kuda Troya yang dipakai. 

Di kemudian hari, ketika kuliah di Surabaya, saya membeli edisi khusus "Sejarah Emas Islam Indonesia" (2004?) dan tahun 2011,  di lapak koran terminal Bungurasih, saya beli edisi khusus terbunuhnya Usamah bin Ladin. Itulah kali terakhir saya beli Majalah Sabili. Tampaknya pula setelah itu Sabili kembang kempis. Hingga saat ini tak ada lagi majalah ini di lapak Bungurasih. Tahun 2019 ini, hanya dua majalah yang tersisa dan terpampang di kios Bungurasih: Hidayatullah dan AULA-nya NU. Majalah lain, rontok semua. Tuh, kan, mengelola media itu sulit. Butuh militansi, brader!

Selain Sabili, sebenarnya ada majalah lain yang kemasannya bombastis, dikelola oleh jaringan Muhammad Jibriel dan kru Arrahmah dot com. Namanya JihadMagz. Saya punya beberapa  eksemplar majalah yang tampaknya beredar secara terbatas dan memamfaatkan jaringan bawah tanah simpatisan al-Qaidah. Satu eks diberi Prof Ahmad Muzakki, Sekretaris PWNU Jatim, tahun 2011. Sisanya saya dapat dg harga semangkok bakso di kios buku bekas di Jl. Semarang, Surabaya. Isinya bagaimana bro? Tak kurang tak lebih sama dg Arrahmah dot com. (Ini media online yang ditutup pemerintah tahun 2014 silam).

Apakah Sabili masih hidup? 
Oktober 2014, usai berziarah di Makam Sunan Kudus bersama Mas Abdulloh Hamid, kami mampir di toko kitab tak jauh dari sang wali. Di sebuah rak khusus majalah, Sabili nongol. Ganti nama menjadi Sabiliku Bangkit. Uluh Uluuuuuh. Gambarnya Pak Prabowo dan Pak Hatta Rajasa. Ini edisi sisa "perang" pilpres 2014. Kemasannya sudah lebih tipis dan jenis kertas sampulnya tak lagi seperti dulu, serta (ini yang paling penting), iklan-iklannya tak berjejal seperti beberapa tahun sebelumnya (habatus sauda, obat herbal, buku-buku Aa Gym, madu, kaset nasyid, kaos perjuangan, hingga training shalat khusyu' dan vcd-nya Bu Irene Handono).

Di tahun 2019 ini, saya tidak tahu apakah majalah ini masih terbit atau sudah gulung tikar. Yang pasti semangat dan gaya bahasa Sabili telah diwariskan dari generasi ke generasi seperti iklan biskuit itu. Di era digital, banyak yang lebih sadis dibanding Sabili. Tak perlu mendirikan sebuah media, di era kejayaan fesbuk dan WA ini, seseorang bahkan telah menjadi media pengkabar itu sendiri, meski kabar yang disampaikan validitasnya juga belum teruji.

Sabili, riwayatmu dulu dan kini. (Foto saya ambil dari Mbah Gugel)

Apa kabar, para pembaca Sabili?

**Rijal Mumazziq R