Hukum Lupa atau Ragu Jumlah Rakaat saat Melaksanakan Shalat

 
Hukum Lupa atau Ragu Jumlah Rakaat saat Melaksanakan Shalat
Sumber Gambar: creativemarket.com, Ilustrasi: Laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Lupa merupakan sifat yang tidak dapat dilepaskan dari diri manusia. Sifat ini disematkan kepada setiap makhluk, dan sejak dulu ketika manusia pertama diciptakan sifat ini telah melekat. Seperti bunyi pepatah Arab mengatakan Al-insan Mahallul Khatha’ wan Nisyan, manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Hanya Allah SWT, Sang Khaliq yang tidak pernah lupa dan tidak pernah tidur.

Jangankan manusia biasa, Nabi Muhammad SAW juga pernah lupa. Tetapi lupanya beliau mengandung satu pelajaran yang kelak bisa menjadi tuntunan bagi umat Islam saat lupa. Dan akhirnya menjadi tahu apa yang harus dilakukan ketika ingat atau sadar. Terutama saat lupa dengan hal berkaitan dengan ibadah.

Lupa di tengah-tengah shalat

Sifat lupa yang merupakan fitrah manusia sebagai makhluk Allah SWT, meniscayakan fiqih dalam memberikan ruang istimewa bagi mereka yang benar-benar lupa. Misalkan lupa makan atau minum ketika berpuasa, maka hal itu dianggap sebagai rezeki dan tidak membatalkan puasa. Sebagaimana keterangan di dalam Hadis berikut ini:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَكَلَ أَوْ شَرِبَ نَاسِيًا فَلَا يُفْطِرْ فَإِنَّمَا هُوَ رِزْقٌ رَزَقَهُ

“Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda: Siapa yang lupa, lalu makan atau minum ketika berpuasa, maka janganlah membatalkan puasanya, karena hal itu adalah rezeki yang Allah berikan kepadanya.

Di dalam Kitab Lubbul Ushul, Imam Zakariya Al-Anshari dalam muqaddimahnya mengatakan berikut ini:

وَالأَصَحُّ إِمْتِنَاعُ تَكْلِيْفِ الْغَافِلِ وَالْمُلْجَأِ، لاَ الْمُكْرَهِ

“Menurut Qoul Ashoh (pendapat yang lebih shahih), tidak mungkin terjadi pembebanan hukum terhadap orang yang tidak mempunyai kesadaran atas apa yang terjadi pada dirinya (lupa) dan orang yang tidak memiliki daya dan upaya (tidak mampu). Tetapi bukan terhadap orang yang dipaksa.”

Jadi syariat memberikan jalan keluar bagi orang yang lupa pada saat melakukan suatu ibadah. Sebab, sifat lupa biasa juga terjadi pada sesuatu yang sering dilakukan. Begitulah manusia, semakin sering melakukan sesuatu, semakin tinggi pula kemungkinan terjadi lupa. Karena jika tidak melakukan sesuatu pastilah ia tidak lupa, begitu kira-kira logikanya.

Di antara kondisi lupa yang sering terjadi ialah lupa rakaat saat sedang melaksanakan ibadah shalat. Tidak jarang memikirkan sesuatu atau mengkhayal entah ke mana sehingga shalat pun tidak fokus. Terkadang ketika kalimat salam terucap dari Imam, barulah sadar bahwa sedang mengerjakan shalat. Lebin dari itu, bahkan setelah salam dan berdiam sejenak baru disadari ada satu atau dua rakaat yang tidak ditunaikan.

Apabila kondisi ini menimpa seseorang ada beberapa hal yang dapat dilakukan saat teringat kembali serta meyakini adanya kelalaian itu.

Misalnya, seseorang lupa meninggalkan satu atau dua rakaat dalam shalatnya, sedangkan ia telah mengucap salam dalam mengakhiri shalat. Maka jika ingatan itu datang dalam waktu dekat hendaklah segera menambah rakaat yang ditinggalkannya dan mengakhirinya dengan Sujud Sahwi. Tetapi jikal ingatan itu baru datang setelah beberapa lama (misalkan baru teringat setelah membaca dzikir) maka orang tersebut wajib mengulangi shalatnya kembali. Keterangan ini sebagaimana terdapat di dalam Kitab Majmu’. Berikut redaksinya:

اِذَا سَلَّمَ مِنْ صَلَاتِهِ ثُمَّ تَيَقَّنَ اَنَّهُ تَرَكَ رَكْعَةً اَوْ رَكْعَتَيْنِ اَوْثَلَاثًا اَوْ اَنَّهُ تَرَكَ رُكُوْعًا اَوْسُجُوْدًا اَوْغَيْرَهُمَا مِنَ الْاَرْكَانِ سِوَى النِّيَّةِ وَتَكْبِرَةِ الْاِحْرَامِ فَاِنْ ذَكَرَ السَّهْوَقَبْلَ طُوْلِ الْفَصْلِ لَزِمَهُ الْبِنَاءُ عَلَى صَلَاتِهِ فَيَأْتِى بِالْبَاقِى وَيَسْجُدُ لِلسَّهْوِ وَاِنْ ذَكَرَ بَعْدَ طُوْلِ الْفَصْلِ لَزِمَهُ اِسْتِئْنَافُ الصَّلَاةِ

“Apabila seseorang telah salam kemudian ia baru teringat bahwa ia telah melupakan satu, dua atau tiga rakaat atau ia lupa telah meninggalkan rukuk, sujud atau rukun lainnya kecuali niat dan takbiratul ihram, maka ia cukup menambahi apa yang telah dilupakannya itu dengan sujud sahwi, jikalau ingatan itu segera datang. Tetapi jika ingatan itu datangnya setelah beberapa lama maka hendaklah ia mengulangi shalatnya kembali.”

Berbeda ketika seseorang lupa meninggalkan satu rukun tertentu (ruku’ atau baca Al-Fatihah), maka ketika ingat dan ia belum melakukan rukun yang sama pada rakaat setelahnya, hendaklah segera mengganti rukun yang ditinggalkan itu. Dan apabila ia lupa, maka itulah apapun yang dilakukannya sudah cukup dan dianggap sah karena memang lupa. Demikian keterangan yang ada di dalam Kitab I’anatut Tholibin. Berikut redaksinya:

وَلَوْ سَهَا غَيْرُ مَأْمُوْمٍ فِى التَّرْتِيْبِ بِتَرْكِ رُكْنٍ كَأَنْ سَجَدَ قَبْلَ الرُّكُوْعِ أَوْ رَكَعَ قَبْلَ الْفَاتِحَةِ لَغَا مَافَعَلَهُ حَتَّى يَأْتِيَ بِالْمَتْرُوْكِ فَاِنْ تَذَكَّرَ قَبْلَ بُلُوْغِ مِثْلِهِ أَتَى بِهِ وَاِلَّا فَسَيَأْتِى بَيَانُهُ... وَإِلَّا أَيْ وَاِنْ لَمْ يَتَذَكَّرْ حَتَّى فَعَلَ مِثْلَهُ فِى رَكْعَةٍ أُخْرَى أَجْزَأَهُ عَنْ مَتْرُوْكِهِ وَلَغَا مَا بَيْنَهُمَا هَذَا كُلُّهُ اِنْ عَلِمَ عَيْنَ الْمَتْرُوْكِ وَمَحَلَّهُ... 

Ragu di tengah-tengah shalat

Ragu-ragu di dalam shalat berbeda dengan lupa. Jika yang terjadi adalah keragu-raguan, maka perlu meninjau masalahnya secara detail.

Ketika seseorang mengalami keraguan di tengah-tengah shalatnya, apakah dia sudah melakukan satu fardhu tertentu (rukuk,misalnya) atau belum. Maka masalah ini perlu diperinci lagi, jika keraguan terjadi sebelum orang itu melakukan fardhu yang ditinggal (rukuk) tersebut pada rakaat setelahnya, maka ia harus kembali untuk melakukan fardhu yang ditinggal (rukuk). Namun jika keraguan itu datang setelah ia melakukan fardhu yang sama yang ditinggalkannya yakni rukuk pada rakaat setelahnya, cukuplah baginya meneruskan shalat dan menambah satu rakaat lagi, sebagai pengganti satu rukun yang ditinggalkannya itu. Sebagaimana keterangan di dalam Kitab Fathul Mu’in, berikut ini:

... أَوْ شَكَّ هُوَ أَيْ غَيْرُ الْمَأْمُوْمِ فِى رُكْنٍ هَلْ فَعَلَ أَمْ لَا كَأَنْ شَكَّ رَاكِعًا هَلْ قَرَأَ الْفَاتِحَةَ أَوْسَاجِدًا هَلْ رَكَعَ أَوْاِعْتَدَلَ أَتَى بِهِ فَوْرًا وُجُوْبًا اِنْ كَانَ الشَّكُّ قَبْلَ فِعْلِهِ مِثْلَهُ أَيْ مِثْلَ الْمَشْكُوْكِ فِيْهِ مِنْ رَكْعَةٍ أُخْرَى

Ragu setelah shalat selesai

Demikian pula halnya, jika terjadi keraguan setelah shalat, dalam artian apakah shalat yang telah dikerjakan itu telah lengkap ataukah ada rukun tertentu yang tertinggal, maka shalat semacam itu secara fiqih tetap dianggap sah dan tidak perlu mengulanginya kembali. Sebagaimana keterangan di dalam Kitab Hasyiyah Qulyubi wa Umairah. Berikut ini teks penjelasannya:

وَلَوْشَكَّ بَعْدَ السَّلَامِ فِى تَرْكِ فَرْضٍ لَمْ يُؤْثِرْ عَلَى الْمَشْهُوْرِ، لِاَنَّ الظَّاهِرَ وُقُوْعُ السَّلَامِ عَنْ تَمَامٍ

“Jikalau setelah salam (selesai shalat) seseorang ragu dalam meninggalkan/melaksanakan satu fardhu tertentu, maka hal itu tidak berpengaruh (tetap sah) menurut pendapat yang mashur. Karena dalam kenyataannya ia telah melakukan salam dan (shalat dianggap) sempurna.”

Dari sini bisa dipahami bahwa lupa dan ragu adalah dua hal yang berbeda. Begitu pula cara penyelesaiannya. Hukum lupa segera dicabut ketika datang ingatan. Selama seseorang dalam kondisi lupa ia akan terbebas dari tuntutan syariah, dan ketika ia teringat kembali, maka orang tersebut kembali terkena tuntutan syariah. Seperti contoh berpuasa, ketika seseorang lupa bahwa ia sedang menjalankan puasa, maka ia terbebas dari tuntutan syari’ah boleh makan dan minum. Namun ketika ia teringat kembali bahwa ia puasa, maka ia wajib menahan semuanya dan kembali berpuasa. Sedangkan ragu-ragu bisa hilang karena adanya keyakinan. Dan tidak ada keraguan yang dibarengi dengan keyakinan. Dalam bahasa lain, di dalam kaidah fiqih dikenal dengan konsep berikut:

اَلْيَقِيْنُ لَا يَزُوْلُ بِالشَّكِّ

“Bahwa keyakinan tidak bisa dihilangkan sebab adanya sautu keraguan.”

Semoga bermanfaat. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 31 Juli 2021. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Editor: Hakim