Menghafal Versus Menalar (Seri 3)

 
Menghafal Versus Menalar (Seri 3)

LADUNI.ID - Pertanyaannya adalah apakah dengan menjalani keduanya (hapal dan nalar) akan menghasilkan keunggulan dan kemampuan yang sama?.

Ini pertanyaan yang konon pernah dibahas para ulama zaman klasik. Mungkin menarik pandangan Al-Jahiz, Abu Utsman Amr, (w. 868 M), sastrawan dan teolog Mutazilah terkemuka. Dia menulis dalam bukunya yang terkenal : "Rasail Jahizh" :

متى ادام الحفظ اضر ذلك بالاستنباط ومتى ادام الاستنباط اضر ذلك بالحفظ

"menekankan kebiasaan menghapal bisa mengurangi kemampuan menganalisis, dan kebiasaan menganalisis bisa mengurangi kemampuan menghapal". (Rasail al-Jahizh).

Pernyataan al-Jahizh di atas mungkin dapat berarti bahwa orang yang banyak menghapal atau kuat hapalannya, pada umumnya kurang cerdas atau tidak cukup mampu berpikir rasional. Dan orang yang banyak berpikir atau seorang rasionalis pada umumnya tidak banyak hapalan atau hapalannya lemah.

Tetapi boleh jadi ada orang yang dianugerahi keduanya dalam porsi yang sama: kuat dalam hapalan sekaligus cerdas. Sejumlah ulama dahulu ada yang memiliki kemampuan dua-duanya, seperti Imam Abu Hanifah, Imam al-Syafi'i, Imam al-Ghazali dan lain-lain.

Lalu mana yang lebih baik dilakukan atau diutamakan jika kedua keinginan tersebut berhadapan?. Lebih baik memilih yang hapalan atau yang berpikir rasional?.

Pandangan Ibnu Rusyd al-Hafid

Pertanyaan penting lain yang sering di ajukan orang ialah siapakah yang disebut Ulama?. Pada masa klasik Islam kecenderungan umum berpendapat bahwa orang âlim atau ulama adalah orang yang hapal pendapat-pendapat para ulama sebelumnya, dalam arti hapal redaksi pendapat mereka. Pandangan ini mendapat kritik tajam dari Ibnu Rusyd al-Hâfid (w. 1198 M), seorang sarjana muslim terkemuka dari Spanyol dengan keahlian ganda; filsuf, dokter dan ahli hukum (fâqih). Ia pernah melontarkan kritik terhadap para ulama pada masanya yang lebih rajin menghapal teks-teks keilmuan dan mengikuti pandangan-pandangan tekstual para ulama daripada melakukan penelitian dan kajian-kajian rasional dan filosofis. Menurutnya, para ahli fiqh seyogyanya tidak selalu bertaklid kepada orang lain dan tidak hanya sibuk menghafal produk-produk fiqh mereka. Orang yang hapal produk-produk hukum para mujtahid, betapapun banyaknya, tidak bisa disebut faqîh. Seseorang baru bisa disebut faqîh (ahli fiqh), jika dia mampu menganalisis dan menggali/mengeksplorasi makna dari teks-teks hukum secara mendalam, melalui argumen-argumen yang dapat diterima akal pikiran dan mengembangkan dasar-dasarnya.