Naudzubillah! Rakus Perkara Warisan

 
Naudzubillah! Rakus Perkara Warisan
Sumber Gambar: Pinterest,Ilustrasi: Laduni.id

Laduni.ID, Jakarta - Keserakahan adalah sifat yang tidak baik dan dapat membawa dampak buruk bagi seseorang. Orang yang terus-menerus dikuasai oleh keserakahan akan segera mendapat kemurkaan. Pandangan matanya yang tertuju kepada sesuatu yang bukan miliknya akan mempercepat tertimpa kekecewaan, dan akhirnya terus-menerus dirundung kesedihan.

Keserakahan tidak hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga dapat merugikan orang lain di sekitar. Ketika seseorang terlalu serakah, ia akan terus mencari cara untuk mendapatkan lebih tanpa memikirkan konsekuensinya. Hal ini dapat menyebabkan konflik dan ketidakadilan dalam hubungan sosial.

Permasalahan warisan seringkali menjadi sumber konflik di dalam masyarakat. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti ketidaktahuan mengenai hukum waris dalam Islam atau nafsu untuk memperoleh harta warisan.

Dalam bahasa Arab, warisan dikenal sebagai al-miras yang berasal dari kata warisa-yarisu-irsan-mirasan yang artinya adalah pemindahan kepemilikan dari seseorang kepada orang lain, atau dari satu kelompok kepada kelompok lainnya.

Secara terminologi, warisan mengacu pada transfer hak kepemilikan dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, termasuk uang, tanah, atau barang-barang lain yang merupakan hak milik secara syar'i.

Dasar hukum waris dalam Islam didasarkan pada Al-Qur'an, As-Sunnah, ijma' para ulama, dan sebagian kecil ijtihad para mujtahid. Karena itu, penting bagi masyarakat untuk memahami dan menghormati aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam agama terkait dengan pembagian warisan.

Al Qur’an sendiri sebagai sumber hukum waris yang utama telah mengatur cara pembagian warisan dalam Islam yang adil antar saudara kandung laki-laki dan perempuan.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam QS. An-Nisa’ 4:7;

لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدٰنِ وَالْاَقْرَبُوْنَۖ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدٰنِ وَالْاَقْرَبُوْنَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ اَوْ كَثُرَ ۗ نَصِيْبًا مَّفْرُوْضًا (٧)

“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.” [QS. An-Nisa’ 4:7]. 

Kekacauan dalam keluarga terkait dengan pembagian harta warisan dengan alasan tidak adil atau hal-hal lainnya seharusnya tidak terjadi. Hal ini disebabkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengatur pembagian warisan menurut hukum Islam dalam Al Qur’an secara gambling dan terdapat larangan yang jelas terkait dengan memakan warisan saudara kandung. Naudzubillah, tindakan ini dianggap sebagai dosa besar yang harus dihindari oleh umat Muslim. Rasulullah SAW telah menegaskan bahwa memakan harta warisan saudara tanpa izin adalah seperti memakan api neraka.

Namun, jika pun terjadi perselisihan dan cara mengatasinya, Islam mengajarkan melalui As-Sunnah, sebagian ijma’ ulama, dan ijtihad.

Dari Ibnu Mas’ud Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda;

“Pelajarilah Al-Qur’an dan ajarkanlah ia kepada manusia, dan pelajarilah al faraidh dan ajarkanlah ia kepada manusia. Maka sesungguhnya aku ini manusia yang akan mati, dan ilmu pun akan diangkat. Hampir saja nanti akan terjadi dua orang yang berselisih tentang pembagian harta warisan dan masalahnya; maka mereka berdua pun tidak menemukan seseorang yang memberitahukan pemecahan masalahnya kepada mereka.” (HR. Imam Ahmad) 

Ketidakpahaman mengenai hukum waris Islam atau besarnya keinginan untuk menguasai harta warisan inilah yang menjadi akar masalah pembagian harta warisan.

Banyak contoh kasus di mana kakak sulung yang diserahi tanggung jawab untuk membagi warisan setelah orang tua meninggal, justru menguasai sebagian besar atau seluruh harta warisan.

Padahal secara Islam, harta warisan wajib dibagi karena merupakan wasiat dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dalam QS. An-Nisa’ 4:12 Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman;

وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ اَزْوَاجُكُمْ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهُنَّ وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصِيْنَ بِهَآ اَوْ دَيْنٍ ۗ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّكُمْ وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِّنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوْصُوْنَ بِهَآ اَوْ دَيْنٍ ۗ وَاِنْ كَانَ رَجُلٌ يُّوْرَثُ كَلٰلَةً اَوِ امْرَاَةٌ وَّلَهٗٓ اَخٌ اَوْ اُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُۚ فَاِنْ كَانُوْٓا اَكْثَرَ مِنْ ذٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَاۤءُ فِى الثُّلُثِ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصٰى بِهَآ اَوْ دَيْنٍۙ غَيْرَ مُضَاۤرٍّ ۚ وَصِيَّةً مِّنَ اللّٰهِ ۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَلِيْمٌۗ (١٢)

“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.” [QS. An-Nisa’ 4:12].   

Jika harta warisan tidak dibagi sesuai dengan ketentuan yang telah Allah tetapkan dalam Al Qur’an, maka hukumnya berdosa kecuali jika saudara kandung ikhlas untuk menyerahkan bagiannya.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam QS. Al-Baqarah 2:188;

وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ࣖ (١٨٨)

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim (pengadilan), supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” [QS. Al-Baqarah 2:188].

Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman dalam QS. An-Nisa’ 4:13-14;

تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ ۗ وَمَنْ يُّطِعِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ يُدْخِلْهُ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَا ۗ وَذٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ (١٣)

وَمَنْ يَّعْصِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَيَتَعَدَّ حُدُوْدَهٗ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيْهَاۖ وَلَهٗ عَذَابٌ مُّهِيْنٌ ࣖ (١٤)

“Itulah ketentuan-ketentuan hukum Allah (artinya ketentuan dan ukuran pembagian tersebut adalah keputusan dari Allah). Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, (artinya tidak menambah jatah warisan sebagian ahli waris dan tidak pula mengurangi jatah sebagian yang lain, dengan cara mengakali atau cara apapun, namun membiarkan masing-masing menerapkan hukum Allah dalam ketentuan pembagian warisan tersebut), niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah keberuntungan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya serta melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, (artinya menentang Allah dalam ketentuan pembagian harta warisan tersebut), niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” [QS. An-Nisa’ 4:13-14].

Seburuk-buruk tipe manusia adalah orang yang jika hatinya rakus, langsung mencuri. Jika sudah kenyang, berbuat dosa. Jika kurang puas, terus menggerogoti. Jika telah merasa tercukupi, bertindak tidak senonoh.

Termasuk kesemena-menaan yang terlampau jauh adalah memakan harta warisan milik ahli waris lainnya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam QS. Al-Fajr 89:19;

وَتَأْكُلُوْنَ التُّرَاثَ اَكْلًا لَّمًّاۙ (١٩)

“Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang bathil).” [QS. Al-Fajr 89:19].

Kata “At-Turats” di sini adalah harta warisan, sedangkan “Al-Lammu” adalah upaya pengumpulan harta warisan dengan melakukan pelanggaran, sehingga orang itu selain memakan bagiannya sendiri, juga bagian warisan milik orang lain. Padahal sistem pembagian harta peninggalan itu telah diatur dalam syariat Islam sebagai putusan hukum yang adil.

Maka barangsiapa yang mengicu (mengakali) untuk menganulir (menggugurkan) putusan dan ketentuan yang ada, dengan mengubah bagian dan jatah (masing-masing ahli waris), melakukan keculasan dan kecurangan dalam pembagiannya, menghalangi salah seorang ahli waris dari haknya, menahan harta peninggalan, menyembunyikan aset-aset dan barang-barang peninggalan, lalu menyembunyikan berkas-berkas bukti harta warisan, berikut memonopoli pengelolaan dan pemanfaatannya untuk dirinya dengan memaksa ahli waris (yang berhak) untuk melepaskan bagiannya dan merasa puas dengan sebagian jatahnya, sungguh dia telah melanggar syariat Allah, ketetapan-ketetapan pembagian-Nya dan aturan-aturan hukum-Nya.

Pengkhianat dzalim yang kelewat batas selalu bersikap siaga untuk memangsa hak wanita dan anak yatim, meskipun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sang rasul pembawa petunjuk dalam doanya telah mewanti-wanti:

اللَّهُمَّ إِنِّي أُحَرِّجُ حَقَّ الضَّعِيفَيْنِ الْيَتِيمِ وَالْمَرْأَةِ [ أخرجه ابن ماجه من حديث إبى هريرة ]

“Ya Allah sesungguhnya aku akan menjadi penghalang ( bagi siapapun yang mencurangi ) hak dua golongan yang lemah, yaitu; anak yatim dan wanita.” [HR. Ibnu Majah dari hadis Abu Hurairah].

Alhamdulillah, kita sebagai umat Islam diberikan petunjuk yang jelas dalam hal hukum warisan saudara kandung. Tidak ada ruang untuk melakukan perbuatan dosa dan dzalim dengan memakan harta warisan yang seharusnya menjadi hak saudara kita.

Allah SWT telah menegaskan bahwa orang yang dzalim akan mendapatkan balasan yang setimpal di akhirat nanti, yaitu masuk ke dalam Neraka. Oleh karena itu, kita harus menjauhi perbuatan dzalim dan selalu berpegang teguh pada ajaran Islam.

Semoga dengan menjalani kehidupan sesuai dengan ajaran agama, Allah SWT meridhai kita dan menghapus dosa-dosa kita. Mari kita terus berusaha untuk menjadi hamba yang taat dan patuh kepada-Nya, agar kita dapat meraih kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Aamiin.[]

 


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 20 Juli 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

__________________

Editor: Lisantono