Kajian Kitab Hikam Pasal I, 'Larangan Bersandar Pada Amal'

 
Kajian Kitab Hikam Pasal I, 'Larangan Bersandar Pada Amal'

LADUNI.ID, Jakarta -  Larangan Bersandar pada Amal, 'Bersandarlah pada Allah Jangan pada Amal Perbuatan'

Oleh: Asy-Syaikh Shohibul Faroji Azmatkhan

Larangan Bersandar pada Amal, 'Bersandarlah pada Allah Jangan pada Amal Perbuatan'

مِنْ عَلاَ مَةِ اْلاِعْـتِــمَادِ عَلَى الْعَمَلِ، نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُـودِ الزَّ لــَـلِ

"Di antara tanda-tanda orang yang senantiasa bersandar kepada amal-amalnya, adalah kurangnya ar-raja' (kurangnya rasa harap kepada rahmat Allah) di sisi alam yang fana."

Penjelasan (Syarah)

Ar-raja' adalah istilah khusus dalam terminologi agama Islam, yaitu Tasawwuf Islam, yang bermakna pengharapan kepada Allah Ta'ala. 

Pasal Kitab Al-Hikam yang pertama ini bukan ditujukan ketika seseorang berbuat salah, gagal atau melakukan dosa. Karena ar-raja' lebih menyifati orang-orang yang mengharapkan kedekatan dengan Allah, untuk taqarrub

Kalimat "wujuudi zalal", artinya segala wujud akan hancur, atau alam ini fana. Menunjukkan seseorang yang hidup di dunia dan masih terikat oleh alam hawa nafsu dan alam syahwat. Itu semua adalah wujud al-zalal, wujud yang akan musnah. Sedangkan seorang mukmin yang kuat tauhidnya, ia akan tetap bersandar kepada Allah, meskipun ia masih hidup di dunia dan terikat pada semua wujud yang fana ini. Jika kita berharap akan rahmat-Nya, maka kita tidak akan menggantungkan harapan kepada amal-amal kita, baik itu besar atau pun kecil. 

Dan hal yang paling mahal dalam perjalanan menuju Allah (suluk) adalah hati, yaitu apa yang dicarinya dalam hidup. Yang kita cari hanyalah Allah. Bukan banyaknya amal dan membanggakannya. Dunia ini akan menguji sejauh mana kualitas raja' (harap) kita kepada Allah Ta'ala.

Rasulullah saw. bersabda: "Tidaklah seseorang masuk surga Allah dengan amalnya." Ditanyakan oleh sahabat Nabi, "Sekalipun engkau wahai Rasulullah?" Beliau bersabda, "Sekalipun saya, hanya saja Allah telah memberikan rahmat kepada-ku." - (H.R. Bukhari dan Muslim)

Orang yang melakukan amal ibadah itu pasti punya pengharapan kepada Allah, meminta kepada Allah supaya berhasil pengharapannya, akan tetapi jangan sampai orang beramal itu bergantung pada amalnya, karena hakikatnya yang menggerakkan amal ibadah itu Allah. Sehingga apabila terjadi kesalahan, seperti, terlanjur melakukan maksiat, atau meninggalkan ibadah rutinnya, ia merasa putus asa dan berkurang pengharapannya kepada Allah. Sehingga apabila berkurang pengharapan kepada rahmat Allah, maka amalnyapun akan berkurang dan akhirnya berhenti beramal.

Seharusnya dalam beramal itu semua dikehendaki dan dijalankan oleh Allah. sedangkan diri kita hanya sebagai media berlakunya Qudrat Allah. Kalimat: Laa ilaha illallah. Tidak ada Tuhan selain Allah, berarti tidak ada tempat bersandar, berlindung, berharap kecuali Allah, tidak ada yang menghidupkan dan mematikan, tidak ada yang memberi dan menolak melainkan Allah.

Pada dasarnya syari'at menyuruh kita berusaha dan beramal. Sedang hakikat syari'at melarang kita menyandarkan diri pada amal dan usaha itu, supaya tetap bersandar pada karunia dan rahmat Allah subhanahu wata'ala saja.

Apabila kita dilarang menyekutukan Allah dengan berhala, batu, kayu, pohon, kuburan, binatang dan manusia, maka janganlah menyekutukan Allah dengan kekuatan diri sendiri, seakan-akan merasa sudah cukup kuat dapat berdiri sendiri tanpa pertolongan Allah, tanpa rahmat, taufik, hidayat dan karunia Allah subhanahu wata'ala.

Kesimpulan:

Bersandarlah kepada Allah saja, bukan bersandar kepada amal perbuatan kita.

Referensi, Asy-Syaikh Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Athoilah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam, Pasal 1