Kisah Seorang Guru di Papua Rela Berpisah dengan Ayahnya demi Indonesia

 
Kisah Seorang Guru di Papua Rela Berpisah dengan Ayahnya demi Indonesia

LADUNI.ID, Jakarta - Saya seorang guru muda yang berumur 23 tahun, lulusan Universitas Nusa Cendana 2017, jurusan Pancasila dan Kewarganegaraan. Saya asli orang Timor Leste, tapi saya cinta Merah Putih. Ayah saya kembali memilih Timor leste, tetapi saya dan ibu memilih Indonesia pada saat jejak pendapat.

Dan terpaksa Saya dan Ibu harus berpisah dengan Ayah sampai sekarang. Kami hanya bertemu di pintu batas. Bagi saya merupakan suatu pengalaman yang luar biasa ketika harus berhadapan dengan kehidupan yang jauh berbeda dari kehidupan di kota sebelumnya.

“Tanah kami tanah kaya,kami berenang di atas minyak,tidur di atas emas…..”

Secuil lirik dari Edo Kondologit di atas membuat saya yakin anak Papua itu bisa. Dulunya ( Nopember 2018 ), anak-anak SDI Kaibusene sama sekali tidak bisa menyebutkan identitas negara Indonesia. Mereka menyebutkan warna bendera Indonesia adalah Bintang Kejora. Indonesia Raya pun tak bisa dinyanyikan oleh murid kelas 6, paling fatal lagi Pancasila tidak bisa dihafalkan sama sekali.

Saya menangis pertama kalinya mau di bawa kemana nasib anak anak ini? Mau salahkan siapa? Kondisi sekolah yang terbatas dengan segala fasilitasnya. Ruangan cuma 3 sehingga harus bercampur, atau karena kurangnya tenaga pendidik? atau karena malasnya pendidik turun tinggal di daerah sejuta rawa dan ikan betik itu?

Yang pasti bukan salah anak didik saya. Hal kecil tapi sangat miris ketika di dengar.

Beda degan sekarang semenjak bulan Februari 2019, anak-anak didik saya mengalami banyak perubahan. Mereka punya mimpi yang sangat besar. Mereka berkata: Ibu sa su cape ka begini terus saya mau naik pesawat kayak bapak - bapak dorang di jakarta sana, naik mobil mewah, sa tra pernah naik mobil Ibu guru, sa mau tidur di atas spon, Sa mau minum air bersih, Sa mau jadi orang hebat ibu…

Dengan niat mengubah nasib mereka giat belajar walau kadang dengan segala keterbatasan buku mereka tetap harus mau latihan membaca dan menulis. Mereka mau lakukan semuanya sebab mereka mulai paham pendidikan itu merupakan pedoman menuju kehidupan yang layak.

Mereka tidak lagi ke hutan. Kami guru bersikeras berkata kepada orangtua, “cukup mace dan pace saja ke hutan anak dorang dengan kita belajar supaya besok besok mereka bisa beli berasa kasih pace dorang makan ka”

Sekarang semua lagu nasional mereka sudah bisa menyanyikan, bahkan bahasa Inggris ajaran dasar pun sudah bisa mereka sebutkan dan pahami maksudnya.

Saya percaya ketika seorang guru bekerja dgn niat baik, leluhur dan nenek moyang orang papua merestui bahkan Tuhan melihat semua ketulusan kita maka diberkati semua usaha kita, walau kadang banyak yg berkata, “kalian bertahan?” Kalau bukan kita siapa lagi? Saya Papua, Saya Indonesia

Anak didik saya bermimpi suatu saat nanti seiring matahari terbit di ufuk timur ini kami yg kulitnya hitam dan rambutnya keriting bisa menjadi orang No 1.

Aamiin Nak….semuanya bisa. Yang rajin belajar dan berdoa…” Mimpi itu Luka, tapi luka jika diobati akan sembuh.

Sebagai seorang guru kami menyiapkan perpustakan mini dgn jumlah buku 500 buah utk dibaca setiap jam 16.00 WIT di rumah kami

Anak anak didik saya berkata yg paling membuat saya terharu,” Ibu guru pisang goreng ni kenapa harus orang kulit putih ee yang jual, padahal kami pisang banyak sekali yg ditanam?”

Saya menjawab,:”Karena kamu selama ini malas, coba kamu pikir kamu jual pisang kasih orang orang kulit putih mereka buat pisang goreng kamu beli lagi..yang untung siapa?? Lebih baik mari sini ibu ajar kamu buat pisang goreng supaya kamu tahu dan menghasilkan uang utk beli buku,”

 

Penulis: Diana Cristiana Da Costa Ati, S.pd, – Guru Penggerak daerah terpencil SDI Kaibusene Distrik Haju, Kabupaten Mappi, Provinsi Papua.