Kisah Sendu Pentalqin Mayat di Era Digital

 
Kisah Sendu Pentalqin Mayat di Era Digital

LADUNI.ID, Jakarta - "Buk, tolong ibu saya. Tolong talkinkan ibu saya. Tolong ...," pinta Ipung, anak tetanggaku. Wajah memelas dalam nafas terengah-engah. Mungkin untuk menuju kemari, ia harus berlari-lari.

Aku kaget bukan kepalang mendengar ucapan Ipung. Memang Bu Min, ibunya Ipung, sudah sakit sejak lama. Penyakit diabetes yang dideritanya terus menggerogoti daya tahan tubuh. Terakhir kali, beliau sudah tidak bisa berjalan. Jika kebetulan lewat dan melihatnya terduduk di kursi roda di teras rumah, biasanya aku akan menyapa dan bercengkrama sebentar. Bahkan, tadi pagi pun, sepulang belanja sayur, aku masih menyapanya. Tak dinyana, sore hari harus mendengar kabar ini.

"Inna lillahi ... oh iya, Pung. Hayuk. Eh, bentar dulu," tukasku. Aku pun bergegas masuk ke dalam rumah. Menyimpan sendok nasi yang masih tergenggam di tangan. Tadi, gedoran keras dari luar membuatku terburu-buru membuka pintu.

Tanpa sempat berganti baju, aku dan Ipung berjalan cepat menuju rumah Bu Min.

Di komplek ini, entah apa alasannya, aku sudah beberapa kali dipanggil untuk menalkinkan orang. Profesi? Bukan. Mengiyakan permintaan bantuan para tetangga untuk menalkinkan orang dalam kondisi darurat seperti itu, banyak pelajaran yang bisa kudapat.

Meski, seringkali ada tanya yang menghampiri, "Bagaimana kelak kondisiku saat di situasi seperti itu? Adakah yang bersedia membimbingku? Apakah aku bisa lolos dalam ujian itu?"

Ngeri! Terkadang muncul rasa ngeri membayangkan pertanyaan-pertanyaan ini.

Sampai di sana, beberapa tetangga sudah datang terlebih dulu. Aku bergegas menuju pembaringan Bu Min dan segera duduk di sampingnya.

Wanita itu berusia hampir sama denganku, enam puluh tahunan, dalam kondisi sakaratul maut. Kini badan tambunnya tergeletak tak berdaya. Mulutnya terbuka. Suara nafas terdengar kencang. Kusentuh kulit Bu Min, sudah mulai dingin. Mungkin inilah yang bernama detik-detik perjuangan.

Seketika hati ikut trenyuh.

Setelah mendekat ke telinganya, perlahan kubisikkan dua kalimat syahadat. Lalu kuulangi perlahan untuk menuntunnya. Bu Min terlihat kepayahan mengikuti. Atau mungkin konsentrasinya sudah separuh pergi.

Kucoba lagi. Kali ini kutuntun dengan kalimat yang lebih pendek, kalimat tauhid. "Laa Ilaaha illallah..."

Bu Min tidak bereaksi. Kuusap kepalanya seraya kembali menuntun kalimat tauhid. Kuulangi, lagi dan lagi. Sesekali kuselipkan kalimat penyemangat, bahwa ia akan memenangkan pertarungan ini.

"Ayo, Bu. Bisa. Ayo kita coba lagi..."

Hampir setengah jam berlalu. Waktu terasa berjalan sangat lambat. Bersyukur, kerja keras Bu Min mulai membuahkan hasil. Lidahnya makin bisa mengikuti apa yang kutuntunkan. Terbata-bata. Penuh kepayahan. Namun bisa sampai tuntas.

Jangan tanya lagi air mataku. Tumpah ruah saat menyaksikan kesungguhan perjuangan seorang manusia, untuk terakhir kalinya.

Sampai pada saatnya, perjuangan itu mencapai puncaknya. Setelah rampung mengucap kalimat tauhid, rampung pula deru nafas di dada. Bu Min berpulang pada pemilik sejati.

Dua anak Bu Min, Ipung dan Yana, menangis tergugu. Ratapan mereka terasa menyayat hati.

Begitupun aku, mata ini terus membasah.  Sekalipun wajah tenang Bu Min menjadi mimik terakhir, tetap saja, seindah apapun sebuah kematian, kesedihan tetap menggelora. Bersebab fisik tak lagi bisa bersua, untuk selama-lamanya.

Sore menjelang maghrib, urusan pemandian jenazah telah usai. Aku pamit pada Ipung untuk pulang ke rumah.

Menurutnya, malam ini juga jenazah almarhumah akan dimakamkan. "Pung, Ibuk pulang dulu sebentar, ya. Mau angkat jemuran yang tadi masih di luar. Nanti ba'da maghrib Ibuk balik lagi," ucapku pada anak sulung Bu Min.

Ipung berkali-kali mengucapkan terima kasih. Ia menawariku untuk mengantar, tapi langsung kutolak. Nenek enam cucu ini Alhamdulillah masih diberi kesehatan. Aku langsung melangkah pulang.

Sesampainya di rumah, lekas mengangkat jemuran, bebersih badan, lantas sholat maghrib.

Seusai sholat, tanpa diminta memori berputar mundur sejenak. Saat menalkinkan, konsentrasiku sempat agak oleng. Beberapa kali harus menyaksikan realita yang... akh! Membuat hati ini miris.

Beberapa tetangga yang menengok Bu Min, sesekali mengarahkan handphone bagus untuk memotretnya.

Cekrek!

Dalam kondisi Bu Min yang tengah kepayahan.

Duhai... untuk apa?

Kenang-kenangan?

Bukan kah masih banyak cara untuk mengenang?

Bukan kah lebih baik memberi kenanganan yang utama, dengan menyokong perjuangannya?

"Mari ikut mendo'akan," seru hatiku kala itu

Argh... Astaghfirullah…

Hatiku kian menangis, saat menyaksikan Yana, putri bungsu Buk Min, sepanjang aku menalkin, sepanjang itu pula ia sibuk dengan handphone-nya. Membuat video di menit-menit terakhir sang bunda, seraya satu tangan berkali-kali menyeka air mata.

Duhai, Sayang ... Ini ibumu sedang berjuang. Tak inginkah kau memompa kekuatan?

Setidaknya agar beliau mampu bertahan, dari serangan setan yang akan terus membelokkan lidah, di kesempatan terakhirnya

Ambil posisiku, Sayang ...

Sadarkah, Nak ...

Hanya untuk sebuah kenangan yang bertahun kemudian akan menghilang, kau tukar dengan sesuatu tak tergantikan. Kesempatan. Kesempatan berbakti sepenuh hati, saat raganya masih bisa kau lihat.

Kesempatan mewujudkan cinta, menuntunkan kalimat tauhid sebagai bekal kehidupan alam selanjutnya.

Yah... nak, Berilah bekal itu, Tuntunlah ibumu. Tapi ... akh, iya, dia bukan anakku.

Kini aku memiliki satu pesan untuk kalian, anak-anakku ...

Jika saat agung itu tiba, Talkinkan aku, hingga ujung waktu. Percayalah... Aku lebih membutuhkan itu. Aku sangat membutuhkan itu. Aku ingin lisanmu yang menuntunku.

Tangan berlekas melipat mukena, lalu menyeka bulir bening yang membasahi pipi berkulit keriput.

Malam ini, aku berniat menelpon Gina dan Rumi, untuk menyampaikan permintaan ini.

"Talkinkan aku, anakku ..."

(Abaya Ummi)