Catatan Gus Dur, 'Pelacur dan Anjing, Kiai dan Burung'

 
Catatan Gus Dur, 'Pelacur dan Anjing, Kiai dan Burung'

LADUNI.ID, Jakarta - Alkisah, seorang pelacur tua, mungkin tinggal seonggok daging penuh dengan kuman penyakit kotor, tertatih-tatih menempuh perjalanan di padang pasir. Perbekalan tinggal air sekendi belaka, padahal perjalanan masih jauh.

Tiba-tiba dilihatnya seekor anjing tergeletak begitu saja di tempat sepanas itu. Tiada harapan lagi untuk hidup, karena sudah tidak kuasa berjalan lagi. Tinggal menunggu saat kematian.

Tak sampai hatinya melihat penderitaan anjing itu, pelacur tersebut lalu meminumkan airnya yang tinggal sedikit itu ke mulut makhluk sial dangkalan itu.

Makhluk hina itu lalu mampu meneruskan perjalanan, dan menyelamatkan diri dari kematian.

Menurut cerita itu, sang pelacur akhirnya mati kehausan, sang anjing selamat sampai di kota dan berhasil memelihara kelangsungan hidupnya.

Tetapi, kematian pelacur itu berujung pada kebahagiaan abadi, karena ia langsung masuk sorga abadi. Sorga tertinggi. Karena keibaannya yang tiada terhingga kepada makhluk lain, hingga melupakan keselamatan diri sendiri, ia memberikan darma bakti tertinggi kepada kemanusiaan. 

Ini yang disebut kebahagiaan tanpa batas, dan dengan itu ia bermodal cukup masuk sorga. Walaupun sebelum itu, ia sudah begitu rupa bergelimang dengan dosa.

Lain lagi kisahnya sang kiai. Sewaktu akan bepergian ke kota lain, kiai bujangan yang berdiam seorang diri di rumahnya, samar-samar ingat akan kebutuhan burung peliharaannya kepada air minum.

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN