Hari Nahas Sesungguhnya adalah Saat Jauh dari Allah SWT

 
Hari Nahas Sesungguhnya adalah Saat Jauh dari Allah SWT

LADUNI.ID - Nahas bisa berarti sial, apes, atau celaka. Kata ini berasal dari bahasa Arab (nahasa, nahasun) yang berarti keburukan, kesusahan, penderitaan, dan makna lain yang sejenis.

Hari nahas berarti hari yang penuh kesialan, kesusahan, dan penderitaan. Dalam Alquran, hari nahas disebut "yaumi nahsin" (al-Qomar: 19) untuk makna tunggal dan "ayyamin nahisaatin" (Fusshilat: 16) untuk makna jamak. Keduanya menggambarkan penderitaan dan siksaan, seperti yang dialami oleh kaum 'Aad karena kedurhakaan mereka menolak risalah Nabi Hud a.s.

Hari nahas tidak hanya dialami secara kolektif oleh sebuah kaum atau negeri seperti kaum 'Aad pada dua ayat tersebut, tapi juga bisa dialami secara personal oleh tiap orang. Kisah berikut memberi gambaran bagaimana hari nahas bisa saja hadir dalam kehidupan seseorang. Kisah ini juga bisa kita jadikan acuan untuk menilai apakah hari nahas itu ada diantara hari-hari dalam hidup kita.

Al kisah, sepasang suami istri yang baru membina rumah tangga bertengkar karena sebuah masalah. Pertengkaran mereka semakin sengit dan tak ada yang mau mengalah. Di puncak amarahnya, sang suami menghamburkan kata-kata talak "mulai saat ini kamu kutalak, dan aku tak akan pernah kembali padamu kecuali aku berada di hari yang benar-benar nahas".

Ketika amarahnya reda, sang suami disergap rasa menyesal. Semakin hari penyesalannya semakin mendalam. Ia tersadar bahwa ia masih sangat mencintai istrinya. Tapi ia terlanjur mentalaknya. Ia terus berpikir bagaimana caranya kembali rujuk dengan istrinya.

Ia kemudian teringat bahwa talak yang dijatuhkannya itu bersyarat. Ia masih bisa kembali rujuk dengan istrinya kalau ia menjalani sebuah hari yang nahas. Tapi, seperti apakah hari nahas itu? Ia pun berinisiatif mencari penjelasan hukum tentang syarat hari nahas yang diucapkannya.

Sejumlah ulama dan ahli agama ia datangi untuk bertanya. Tapi, semuanya memberikan jawaban yang sama: tak ada peluang rujuk untuknya, karena hari nahas yg disyaratkan itu tak akan pernah ia alami dalam hidupnya.

Ia sedih dan semakin hanyut dalam penyesalan. Tapi, ia terus mencari jawaban. Sampai akhirnya seseorang menyarankan ia menemui seorang alim sepuh yang tinggal jauh dari kampungnya. Pagi buta ia berangkat dan berhasil menemukan tempat tinggalnya.

"Apa mungkin hari nahas itu datang dalam hidup saya? Saya pengen rujuk. Saya masih mencintai istri saya," desaknya setelah menceritakan dari awal masalahnya dengan istrinya.

Sang Alim berpikir sambil memandang lekat wajahnya.
"Tadi kamu sempat solat Tahajjud?" Sang Alim membuka pertanyaan.
"Tidak sempat. Saya bangun saat azan Subuh," jawab Lelaki itu.
"Terus Kamu solat Subuh berjamaah"? tanya Sang Alim lagi.
"Tidak sempat. Saya solat Subuh sendirian, agar bisa segera kesini," Lelaki itu menjawab.
"Sempat solat dua rakaat Fajar?"
"Juga tidak sempat. Saya langsung solat Subuh."
"Hari ini Kamu sudah membaca Alquran?"
"Belum."
"Hari ini Kamu sudah menginfakkan sebagian dari rezekimu?"
"Belum."
"Kalau begitu, pulanglah. Kembalilah segera ke Istrimu. Hari ini kamu sudah sah untuk rujuk dengannya," kata sang Alim kemudian.
"Kok bisa begitu?" tanya si Lelaki heran.
"Tidak ada yang lebih nahas dari hari dimana kamu tidak solat Tahajjud, tidak solat Fajar, tidak jamaah Subuh, tidak membaca Alquran, dan tidak berinfak," Sang Alim menjalaskan.

Si Lelaki girang bukan main. Ia kembali ke rumahnya dengan hati yang berbunga-bunga. Tapi, di sela kegembiraannya, ia merasa begitu tertampar oleh nasihat sang Alim. Ternyata, kenahasan itu tidak hanya kesialan fisik seperti yang selama ini ia ketahui. Kenahasan yang paling nahas adalah ketika Ia jauh dari Allah, karena melewatkan begitu saja amalan-amalan agama yang sesungguhnya mendekatkan Ia kepadaNya dan membawa keberuntungan dunia akhirat buatnya.

Bahkan, kegirangan hatinya kini nyaris tertutupi oleh rasa gundah dan sesal. Ia kini sadar, sebenarnya ia bisa kembali rujuk kepada Istrinya pada hari Ia mentalaknya. Bahkan, Ia bisa rujuk dengannya sesaat setelah Ia usai mengucapkan kata-kata talak kepadanya. Karena, hari itupun adalah hari nahasnya, dimana ia melalaikan amalan-amalan yang tadi ditanyakan Sang Alim.

Di hadapan Istrinya, Ia tidak hanya meminta maaf, tapi juga berikrar untuk menjauhkan hari-hari nahas dari kehidupan rumah tangga mereka.

Oleh:Nasaruddin Idris Jauhar

 

 

Tags