Ziarah di Makam KH. Mahfudh Salam, Ambarawa, Ulama Pejuang dari Pati

Memperoleh Donasi Sebesar : Rp 0. Donasi Sekarang
 
Ziarah di Makam KH. Mahfudh Salam, Ambarawa, Ulama Pejuang dari Pati

 

Daftar Isi

Laduni.ID, Jakarta - Kiai Mahfudh Salam adalah seorang ulama pejuang Islam yang gigih, seorang ahli hukum Islam (faqih) yang disegani, dan seorang guru besar agama. Kiai Mahfudh Salam memiliki jiwa patriotisme yan tinggi dalam membela rakyat jelata di wilayah Pati.

Profil

Beliau adalah putra dari Kiai Abdussalam yang masih keturunan Syekh Mutamakkin. KH. Mahfudh Salam juga saudara dari Kiai Abdullah Salam Kajen, Pati. Pesantren Matholi’ul Falah adalah bukti peninggalan perjuangan Kiai Mahfudh dalam pendidikan dan dakwah untuk mengajar santri-santrinya.

KH. Mahfudh Salam juga aktif dalam memerangi para penjajah Belanda pada masa itu. Perlawanan terhadap kolonial, konsep politik kebangsaan, dan ide-ide diplomasi politik Kiai Mahfudh banyak diturunkan kepada putranya Kiai Sahal.

Dalam sebuah kisah, Kiai Mahfudh merupakan kiai, pejuang dan santri yg cerdas. Ia memahami turats secara mendalam, menguasai ilmu-ilmu politik-intelijen dan hafidzul qur’an. Ketika mengantar adiknya, Kiai Abdullah Salam mondok mengaji kepada Kiai Said, Pamekasan Madura, Mbah Mahfudh ikut menemani adiknya selama dua minggu. Hal ini dilakukan untuk menghibur dan menjaga adiknya agar kerasan mondok. Selama proses menemani adiknya itu, Mbah Mahfudh sambil menghafal al-Quran dan khatam dalam waktu hanya dua minggu.
 

Lokasi Makam

KH. Mahfudh Salam wafat di Benteng Fort Willem I, Ambarawa, pada tahun 1942. Perlawanan terhadap kolonial, konsep politik kebangsaan dan diplomasi politik Mbah Mahfudh, sejatinya menjadi telaga inspirasi bagi Kiai Sahal. Ide-ide dan prinsip politik kebangsaan Kiai Sahal, dipengaruhi oleh ayahandanya, sang pejuang kemerdekaan, KH. Mahfudh Salam, Lahul Fatihah

Makam beliau terletak di dekat jalan utama Ambarawa, di perlintasan Semarang-Solo dan Semarang-Yogya. Warga sekitar, mengenal Benteng Fort Willem I ini adalah "Benteng Pendem".

Haul

Haul KH. Mahfudh Salam diadakan setiap tahun sekali di pondok pesantren Maslakul Huda. Haul beliau diperingati pada bulan Rabi'ul Awal untuk tanggal haul akan diberitahukan pihak keluarga besar pondok pesantren Maslakul Huda.

Motivasi Ziarah Menurut Syekh An Nawawi al Bantani

1. Untuk Mengingat mati dan Akhirat
2. Untuk mendoakan
3. Untuk mendapatkan keberkahan
4. Memenuhi hak ahli kubur yang diziarahi, seperti ke makam orang tua

Fadilah

Makam KH. Mahfudh Salam banyak dikunjungi para peziarah dan santri. Tak hanya datang dari wilayah Ambarawa saja. Banyak peziarah yang datang dari luar kota dan bahkan dari luar Ambarawa yang berziarah di makam beliau yang berada di Komplek Benteng Fort Willem I, Ambarawa.

Ada keyakinan dari masyarakat dan santri yang datang ke sana bahwa dengan berziarah, berdoa dan bertawassul di makam KH. Mahfudh Salam, dibukakan akal pikiran dan hatinya dalam menerima ilmu, dimudahkan dalam mencapai cita-citanya, dan dimudahkan dalam mendapatkan keturunan anak sholeh dan sholehah

Oleh-oleh

Oleh-oleh yang bisa dibeli dan dibawa pulang usai ziarah di Ambarawa di antaranya:
Tahu Serasi, Tahu Bakso, Torakur, Enting-enting Kacang, Lumpia, Kopi Banaran, Tumpi, Kue Sarang Madu
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sekilas Sejarah

Kiai Mahfudh dilahirkan sekitar tahun 1900-an. Belum ada data akurat yg dapat diakses untuk menjadi tonggak kelahiran, ayahanda Kiai Sahal. Mbah Mahfudh merupakan putra dari Kiai Salam bin Ismail, dan ibundanya bernama Nyi Mirah. Beliau merupakan putra ketiga dari empat saudara. Pada masa kecil, Kiai Mahfudh belajar mengaji kepada ayahandanya, Kiai Salam, yg merupakan ulama terkemuka di kawasan lereng Muria.

Pada waktu itu, pesantren sebagai institusi pendidikan belum didirikan secara formal, hanya majelis-majelis mengaji di rumah kiai, musholla dan masjid. Masjid Kajen, yg menjadi warisan arkeologis dan situs Islam, peninggalan Syekh Mutamakkin menjadi referensi kegiatan keagamaan di kawasan Kajen. Perguruan Islam Mathali’ul Falah, baru didirikan pada 1912.

Mengiringi beberapa pesantren tua lainnya, semisal Tebu Ireng (didirikan Syekh Hasyim Asy’ari pada 1899, di Jombang), pesantren Lirboyo (oleh Mbah Manaf/KH. Abdul Karim, pada 1910 di Kediri), pesantren Krapyak di Yogyakarta, yang didirikan oleh KH. Munawir pada 1910.
Pesantren Mathali’ul Falah, dengan demikian menjadi titik episentrum pendidikan dan kawah candradimuka santri-santri serta masyarakat Kajen, yang kemudian disusul oleh pesantren-pesantren lainnya, semisal Salafiyyah, yang menandai kawasan Kulon Banon dan Wetan Banon, dalam historiografi keislaman di Kajen.

Mbah Mahfudh berperan penting dalam proses pendidikan Kiai Sahal, terutama pembentukan karakter dan wawasan kebangsaan. Kiai Sahal mengungkapkan dalam kisah yg dituturkan Neng Tutik Nurul Jannah (2014) bahwa ayahandanya, Kiai Mahfudh sebenarnya menjalankan strategi diplomasi politik dengan Belanda. Ketika masih kecil, Kiai Sahal sering melihat tamu-tamu pembesar Belanda datang ke rumah ayahandanya, untuk berdiskusi dan terlibat perbicangan membahas masalah politik maupun keagamaan.

Kiai Mahfudh berbicara dengan tamu Belanda, menggunakan bahasa Melayu bahasa yang belum banyak dipakai orang pribumi Jawa masa itu. Uniknya, Mbah Mahfudh belajar bahasa Melayu dari para santrinya. Beliau, acapkali mengundang santrinya untuk membaca koran berbahasa Melayu, hingga mengerti maksud dan ungkapan-ungkapannya. Inilah, metode belajar dari Kiai Mahfudh untuk mengakses jendela pengetahuan dan pergerakan nasional masa itu.

“Beberapa kali orang Belanda datang ke rumah, dan diterima dengan baik oleh Bapak”, ungkap Kiai Sahal, sebagaimana dikisahkan oleh Tutik Nurul Jannah.

Lalu, apa sebenarnya yg melatar belakangi diplomasi politik Mbah Mahfudh dgn mendekati bahkan bekerjasama dgn pembesar Belanda? Tidak lain dan tidak bukan, adalah motivasi politik. Inilah strategi ala pesantren, yang mampu luwes dalam melihat gelombang politik kolonial, dengan melihat dari dekat kekuatan lawan. Persis, ketika Gus Dur mendekati Benny Moerdani untuk melihat dan memetakan kekuatan politik Orde Baru, strategi intel-militer serta jaringan murid-murid Pater Beek yang bergerak pasca peristiwa 1965.

KIAI WAHAB CHASBULLAH, mengingatkan: “KALAU INGIN KERAS, HARUS PUNYA KERIS”. Maksudnya, strategi politik yg canggih dgn melawan secara frontal atau melawan dgn lembut, harus dimulai dulu dgn mengukur kekuatan diri sendiri sekaligus memetakan kekuatan lawan. Inilah, yang sering diungkap oleh arsitek militer dan pakar strategi Tiongkok, Tsun Zu dalam karyanya the Art of War.

Dengan demikian, Kiai Mahfudh berusaha ‘mendekat’ dgn pejabat Belanda, untuk mengetahui strategi, gerakan hingga kerja-kerja intelijen Belanda (PID, Politie Inlichtingen Dienst dan RID, Regionale Inlichtingen Dienst) yang saat itu bergerak lincah. Selain itu, Kiai Mahfudh juga ingin agar pesantren Mathali’ul Falah, tidak ‘dikubur sebelum berkembang’ oleh rezim kolonial Belanda.

“Motivasi politik yg dimaksudkan di sini adalah kebutuhan Belanda untuk berhubungan baik dengan tokoh-tokoh yang dianggap memiliki pengaruh kuat di lingkungannya dengan tujuan meredam dan memata-matai tokoh tersebut agar tidak memantik bergolakan di kalangan republik. Di sisi lain, kedekatan ini cukup menguntungkan, terutama bagi keberlangsungan lembaga pendidikan yg dipimpin oleh Kiai Mahfudh, yakni Perguruan Islam Mathali’ul Falah” (Jannah, 2014).

Akan tetapi, hubungan retak terjadi antara Kiai Mahfudh dgn birokrat Belanda, ketika munculnya "Peristiwa Pegadaian". Peristiwa ini, ditandai dengan kondisi yang tidak kondusif pada masa itu, dengan banyaknya perampokan dan penjarahan terhadap toko serta pasar. Melihat kondisi ini, dengan latar belakang ekonomi warga muslim di kawasan Pati kelas menengah ke wabah, Kiai Mahfudh  memerintahkan santri-santri untuk ikut menjaga pegadaian, agar asetnya tidak dijarah oleh orang-orang yg tidak berhak dan dirusak oleh amuk massa.

‘Peristiwa pegadaian’ terjadi pada kisaran tahun 1940-an. Pada masa itu, politik ekonomi Belanda sedang mengalami pergolakan, terutama menjelang Perang Dunia II. Militer Jepang sedang merangsek untuk memperluas wilayah politik dan keamanan, di kawasan Asia Tenggara. Fondasi ekonomi dan politik kolonial di wilayah Hindia Belanda, terancam dgn ekspansi militer Jepang.

Pada masa itu, pegadaian merupakan salah satu kunci ekonomi di daerah Pati, selain pasar tradisional dan toko-toko kelontong milik pengusaha Tionghoa. Pegadaian, sebenarnya merupakan aset dari pemerintah Hindia Belanda, untuk memberi modal cepat bagi petani dan nelayan. Barang-barang milik petani dan warga kecil, banyak yg disimpan di pegadaian, untuk digadaikan agar mendapat pinjaman uang. Ketika masa panen, biasanya barang di pegadaian diambil kembali oleh pemiliknya, para petani kecil.

Langkah Mbah Mahfudh, dengan menginstruksikan santri-santri menjaga pegadaian merupakan strategi jitu, agar barang-barang berharga milik warga kecil terlindungi. Lebih jauh, Mbah Mahfudh juga memberi perintah agar barang-barang di pegadaian dikembalikan kepada pemiliknya, yakni warga miskin dan petani-petanih kecil di kawasan Pati. Terang saja, langkah ini membuat pejabat Belanda berang, karena aset mereka diambil oleh santri-santri dan dibagikan kepada penduduk. Pemerintah Belanda mengalami kerugian, apalagi pabrik Gula di Pakis dan Trangkil, masa itu tidak bisa diandalkan hasilnya, karena situasi politik yg tidak stabil.

Aksi Mbah Mahfudh semakin membikin marah Belanda, ketika beliau dengan santri-santrinya menyerang Rumah Sakit Kristen (RSK) di Tayu. Rumah Sakit ini, dianggap sebagai pusat konsolidasi politik dan juga basis kristenisasi di lereng Muria. Dengan menggasak Rumah Sakit Kristen, Mbah Mahfudh setidaknya mendapatkan dua keuntungan, yakni melemahkan basis kekuatan politik Belanda dan mengendurkan moral serdadu Hindia Belanda.

Setelah berjuang melawan kolonial, akhirnya Mbah Mahfudh ditangkap oleh militer Belanda. Beliau kemudian dipenjara, dan dipindah ke penjara Ambarawa, hingga kedatangan militer Jepang. Fort Willem I, merupakan benteng yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda, selama 11 tahun, sejak 1834-1845, di bawah kepemimpinan Kolonel Hoorn.

Benteng ini, dibangun untuk menghormati Raja pertama Kerajaan Belanda, Willem Frederik Prins van Oranje-Nassau. Bangunan benteng ini, terletak di dekat jalan utama Ambarawa, di perlintasan Semarang-Solo dan Semarang-Yogya. Warga sekitar, mengenal Benteng ini sebagai ‘Benteng Pendem’.

 

 

Kiai Mahfudh wafat di Fort Willem I, Ambarawa, pada tahun 1944. Perlawanan terhadap kolonial, konsep politik kebangsaan dan diplomasi politik Mbah Mahfudh, sejatinya menjadi telaga inspirasi bagi Kiai Sahal. Ide-ide dan prinsip politik kebangsaan Kiai Sahal, dipengaruhi oleh ayahandanya, sang pejuang kemerdekaan, KH. Mahfudh Salam, Lahul Fatihah

Sumber: Kajen, 3 Maulid 1435 H/25 Desember 2014, tulisan untuk mengiringi Haul Kiai Mahfudh, di Ambarawa, 3 Maulid 1435 H/26 Desember 2014.

Munawir Aziz, santri dan peneliti, berinteraksi di @MunawirAziz, dan email: moena.aziz@gmail.com

–kajian Tutik Nurul Jannah, hasil wawancara dengan Kiai Sahal, pada 20 Oktober 2012, dan 18 Desember 2012, tertuang dalam buku ‘Epistemologi Fiqh Sosial: Konsep Hukum Islam dan Pemberdayaan Masyarakat (2014, STAIMAFA Press, editor: Munawir Aziz).

–biografi Kiai Mahfudh dan konteks sejarah hidupnya, masih memerlukan riset lanjutan. Hal ini, karena data yang sangat terbatas untuk mengulas sepak terjang dan perjuangan melawan kolonial yang dilakukan beliau.


Lokasi Makam

Makam Kiai Mahfudh Salam di benteng fort Willem I Ambarawa