Uzlah dari Media Sosial

 
Uzlah dari Media Sosial

LADUNI.ID - Suara sumbang sebagian ulama tentang dakwah di dunia maya khususnya media sosial masih terdengar. Diperkuat dengan alasan di dunia nyata jamaah kita lebih banyak. Di lain waktu sebagian ulama mengeluh jamaah mereka berkurang sedikit demi sedikit. Mundur secara teratur. Ada juga yang terpapar radikalisme sampai berani beradu ilmu dengannya. Dari mana lagi biangnya semua ini kalau bukan dari internet.

Internet menyediakan jutaan informasi yang kita perlukan dalam waktu hitungan detik yang dibuat oleh setiap orang dimana dan kapanpun mereka berada. Setiap orang bisa menjadi narasumber segala sesuatu. Awam atau pakar, santri atau ulama, berkedudukan setara di majlis online. Di pesantren Google, memungkinkan seseorang mengetahui sedikit dari banyak hal. Sebaliknya, hampir mustahil tahu banyak dan mendalam dari satu dan semua masalah.

Jika dari mengandalkan informasi di internet saja, sebenarnya seseorang tidak bakal tahu secara mendalam, detail dan spesifik tentang suatu topik. Akan tetapi sensasi “sedikit tahu banyak hal” melahirkan antusiasme berkomentar. Pada tahun 2014, Washington Post melakukan survey pendapat mengenai apakah Amerika Serikat harus melakukan aksi militer setelah invasi Rusia ke Ukraina tahun 2014? Amerika dan Rusia bermusuhan sejak era perang dingin. Invasi Rusia ke Ukraina akan memicu Perang Dunia III.

Ternyata hanya satu dari enam orang Amerika yang dapat menunjukkan peta lokasi negara Ukraina. Ukraina salah satu negara terluas di Eropa tapi responden keliru menunjuk petanya. Pada jajak pendapat tersebut, responden memberi komentar dengan antusias. Antusiasme yang berbanding terbalik dengan tingkat pengetahuan mereka tentang negara Ukraina.

Fenomena antusias terhadap sesuatu yang sedang viral tanpa pengetahuan yang valid juga terjadi di tanah air. Misalnya isu pembubaran Banser. Rasa suka dan benci melatarbelakanginya. Sehingga orang enggan melakukan konfirmasi karena merasa sudah cukup tahu apa itu Banser. Atau pembenci Banser akan melakukan konfirmasi dengan fakta, data dan penjelasan yang mendukung kebenaran perasaan benci mereka. Walau hoaks sekalipun. Hoaks yang diproduksi untuk menutupi antusiasme mereka yang salah.

Antusiasme tanpa pengetahuan membuat masyarakat kekurangan informasi di tengah lautan informasi. Masyarakat menyortir informasi yang mendukung antusiasme mereka. Informasi yang mereka ambil sepotong dan sepihak. Selain itu dibuang. Nalar mati seperti matinya semut di toples gula. Di jagat media sosial, informasi valid menjadi barang langka. Ilmu pengetahuan yang sudah mapan yang dibangun bertahun-tahun oleh ulama bisa lumer seketika oleh komentar pedas seorang awam.

Internet adalah sarana dan arena baru dalam segala bidang kehidupan. Pasti berimbas kepada pola interaksi sosial termasuk hubungan ulama dan awam. Peran ulama sebagai penyimpan, penjelas, penyebar dan pengendali ilmu pengetahuan menjadi terbagi-bagi. Ilmu pengetahuan bukan lagi monopoli ulama. Dengan internet orang awam bisa menyimpan, menjelaskan dan menyebarkan ilmu pengetahuan. Orang awam merasa “semaqam” dengan ulama. Ulama merasa tidak dihargai ilmunya. Keadaan ini membuat sebagian ulama menarik diri dari media sosial karena menganggap tidak ada manfaatnya menyampaikan ilmu di dunia maya.

Mereka memilih ‘uzlah dari dunia maya. Tentu saja akan memberi kesempatan lebih luas kepada orang awam menjadi “ulama” di media sosial, orang-orang yang tidak mempunyai kompetensi karena tidak menjalani proses panjang mencari ilmu. Mereka yang tidak mendapat ijazah dari ulama sebelumnya. Mereka disebut “ulama” karena diberi gelar “ulama” oleh orang-orang awam. Mereka sebenarnya orang awam yang berperisa ulama.

Radikalisme dan lahirnya komunitas-komunitas hijrah beraliran radikal efek lain dari internet. Menyimak informasi yang mengalir begitu deras bikin capek hati. Kebutuhan spiritual meningkat. Orang ingin mendapatkan suasana baru yang menyejukkan hati. Realitas kegersangan spiritual yang bisa kita amati dari antusiasme beragama masyarakat di dunia maya. Sayangnya di saat yang sama sebagian ulama menarik diri (‘uzlah) dari media sosial.

Oleh: Ayik Heriansyah