Filosofi Panjat Pinang

 
Filosofi Panjat Pinang

LADUNI.ID, Jakarta - Asy-Syeikh Al-Mukarrom KH. Abdul Djalil Mustaqim, Rahimahullah, mengatakan bahwa permainan Panjat Pinang (Jawa, plurutan jambe) sebenarnya adalah ciptaan para Wali Songo.

Kata Asy-Syeikh KH. Abdul Djalil Mustaqim, "Permainan Plurutan jambe itu mengandung nilai-nilai ajaran yang adiluhung. Permainan itu merupakan gambaran perjalanan seorang Salik atau Murid yang sedang berproses menuju kehadirat Ilaahi Robbi."
Tampak dalam proses menuju puncak batang pinang itu betapa susah payahnya para Salikin itu. Badan mereka harus belepotan dengan oli bekas atau lemak yang dilumurkan ke batang pinang itu.

Sering kali, mereka harus merelakan kepala mereka yang merupakan simbol kehormatan seseorang harus diinjak oleh teman-teman mereka sendiri. Namun, kadang kala pula mereka yang ganti menginjak "Kehormatan" teman-teman mereka.
Tidak jarang, ketika mereka sudah hampir mencapai puncak, tiba-tiba mereka harus merosot ke titik yang paling bawah. Tetapi, mereka tidak boleh berputus asa.
- Seorang Salik harus memiliki cita-cita yang tinggi.
- Seorang Salik harus memiliki semangat yang prima.
- Seorang Salik harus pantang menyerah.
- Seorang Salik harus sabar.
- Seorang Salik harus tawakal.
- Seorang Salik harus yakin kepada Allah SWT.

Pada saat mereka terpuruk, maka saat itu pula mereka harus bangkit. Nah, ketika si Salik berhasil mencapai puncak. Lantas apa yang dia lakukan ?. Apakah dia lalu meraup semua hadiah-hadiah yang menggantung di puncak batang pinang itu ?.
Ternyata tidak. Satu persatu hadiah-hadiah itu dia ambil dari gantungannya, lalu satu persatu dia campakkan dan dia lemparkan hadiah-hadiah itu ke bawah.

Saat itu si Salik mengalami suatu kebahagiaan yang tidak bisa digambarkan. Saat itu si Salik sedang mengalami suatu keadaan seperti yang diwahyukan Allah SWT,

"Yauma laa yanfa'u maalun walaa banuun, illa man atalloohu bi qolbin saliim."

Artinya: Pada hari di mana harta benda dan anak-anak tidak ada manfaatnya, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih/selamat

Maka, tidak akanlah bisa seorang Salik berhadapan dengan Allah SWT selama hatinya masih beranggapan kalau harta dan anak-anak memiliki guna dan manfaat.
Wallahu A'lam Bisshowab.