Kemuliaan dan Keindahan Akhlak Putri Habib Umar bin Hafidz

 
Kemuliaan dan Keindahan Akhlak Putri Habib Umar bin Hafidz
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Tulisan ini merupakan catatan seorang alumni Daruzzahro, pesantren khusus putri yang diasuh oleh Istri Habib Umar. Tulisan ini beredar luas di berbagai media. Namun, nama penulisnya tidak pernah ada yang tahu, sebab dirahasiakan dan tidak pernah dicantumkan. 

Terlepas dari siapapun yang menulis kisah teladan indah putri Habib Umar bin Hafidz, tapi kisah tersebut menunjukkan keindahan dan kemuliaan putri Habib Umar. Putrinya itu mencerminkan akhlak dan perangai yang diteladankan oleh orang tuanya. Karena itu, rasanya penting sekali menyajikan kisah mulia ini untuk para pembaca. Berikut tulisan yang tak bertuan tapi bertuah. 

***

Selagi aku masih duduk di Daruzzahro, Guru Mulia Al Habib Umar bin Hafidz pernah berkata kepada salah satu putrinya:

"Darul Mustofa dan Daruzzahro ini bukanlah kepunyaan kita, sekalipun ayah yang mendirikannya tetapi sejatinya adalah kepunyaan kakek kita Rasulullah SAW beserta putri kecintaan beliau, ibu kita Sayyidah Fatimah Azzahro r.ha. Maka sekali-sekali kamu jangan berbuat seenak sendiri di dalamnya. Harus tunduk dengan segala macam peraturannya, jangan memakan hak-hak tamu Azzahro sebelum mereka semua telah habis makan, kecuali sisa-sisa  puing makanan dari mereka. Ingat! Peran kita di sini hanya sebagai  pembantu, khaddam, dan pelayan yang melayani rumah ini beserta  tamu-tamunya!"

Pada suatu hari, saat jam istirahat, aku hendak pergi ke kamar kecil, tetapi aku melihat putri kecil putri bungsu Habib Umar bin Hafidz duduk seorang diri di salah satu tangga Daruzzahro sambil memegang perut, maka aku pun menghampirinya dan bertanya:

"Ada apa denganmu wahai putri mulia?"

Dengan polosnya putri kecil itu menjawab bahwa ia dalam keadaan lapar dari tadi, sebab sebelum pergi ke sekolah tidak sempat sarapan terlebih dahulu, khawatir terlambat ucapnya.

Mendengar jawaban itu, spontan aku membalasnya dan berujar:

"Mengapa putri yang mulia tidak mengambil sepotong roti di ruang makan Darruzzahro saja?"

Ia hanya menggeleng sambil tersenyum.

"Atau pulang sebentar ke rumah mengambil sarapan?" tawarku kembali.

Ia pun tetap membalasnya dengan gelengan.

Aku semakin keheranan, dan bertanya pelan, “Bukankah engkau adalah putri guru mulia kami (Habib Umar bin Hafidz)? Pemilik Daruzzahro ini wahai yang mulia?”

Pertanyaanku dijawabnya dengan santun. Ia pun menceritakan pesan sang ayah untuk putra-putri dan seluruh keluarganya.

Mendengarnya, membuat aku tercengang dan terkejut. Aku merasakan sudut mataku mulai berembun, hatiku bergetar mendengar penuturannya. Tidak hanya sampai di situ, putri kecil guru mulia mengejutkanku dengan perkara lain. Merasa kasihan dan tak tega, aku pun merogoh saku baju dan mengambil selembar uang di dalamnya.

“Jika begitu ku mohon ambilah ini sebagai hadiah dariku, dan belilah sedikit makanan untuk  mengganjal perut yang mulia”, ucapku penuh harap sambil menyodorkan selembar uang itu ke hadapannya.

Ia tersenyum ramah, mata beningnya menatapku lembut dan menolak halus pemberianku dengan menggeleng-gelengkan kepalanya, namun aku terus merayu dan memohon agar dia bersedia menerimanya, tetapi putri kecil guru mulia tetap bersikeras untuk tidak menerimanya dan terus menghindarkan tangannya dari tanganku,  melihat usahaku tiada henti, dengan polosnya ia lalu berkata,

"Maafkan aku saudaraku, bukannya menolak pemberianmu, dan ingin melukai  perasaanmu, akan tetapi ayah mengajarkan kami untuk tidak memberatkan orang lain dan tidak berharap belas kasih manusia selain belas kasih Allah SWT. Simpanlah uang itu, karena engkau lebih  memerlukannya ketimbang aku, lagi pula kalau ayahanda mengetahui pasti beliau tidak akan menyetujuinya juga."

Kurasakan air mataku mulai berjatuhan di pipiku, aku memperhatikannya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Aku lihat kerudungnya tampak kumal, pakaiannya pun terlihat lusuh. Ia hanya menggunakan "keresek" putih untuk alat-alat sekolahnya, kakinya penuh debu tanpa mengenakan sandal. Aku terdiam terpaku tak mampu berkata sekalimat pun sampai putri guru mulia itu berlalu dari hadapanku sambil berlari-lari kecil dengan wajah yang tetap riang. Aku menelan ludah susah payah, gemetar jiwaku menatap bayangnya yang perlahan menghilang dari pandanganku, hatiku bergetar hebat, pendidikan macam apa ini yang membuat anak sebelia dia memiliki hati yang sedemikian mulia. Sambil berderaian air mata, aku segerakan langkahku menuju kamar. Sesampainya di kamar, aku membenamkan kepalaku di bantal dan pecah tangisku seketika, bagaimana tidak? Akhlak mulia nan indah itu benar-benar menamparku.

Jiwaku hancur lembur dihantam akhlak mulia sebegitu luhur, benar benar kami ini murid yang tak tau diri. Jauh kami merantau dari negara kami, hanya demi menimba ilmu serta mengambil keberkahan dari guru mulia Habib Umar bin Hafidz beserta Sang Istri, malam-malam kami tidur dengan nyenyak, tidak pernah sedikitpun kekurangan air dan makanan, bahkan kami menganggap tempat ini seperti rumah kami sendiri. Terkadang kami berbuat semaunya, makan dengan kenyang dan menggunakan kipas angin dan AC sepuasnya, tetapi guru mulia yang mendirikan tempat ini pun merasa tidak memilikinya dan tidak berlaku seenaknya.

Hatiku benar-benar serasa dicambuk rasa malu yang begitu dalam, teramat malu atas ketidaktahuan kami, atas sedikitnya perhatian dan kepedulian kami. Guru mulia beserta keluarga begitu memuliakan para pelajarnya melebihi penghormatan kami kepada beliau. Aku tak bisa berhenti menangis. Aku terus saja menangis.

Sampai akhirnya terdengar suara peringatan waktu istirahat segera berakhir. Aku pun menghentikan tangisanku dan menyeka air mata. Masih dengan mata yang sembab, aku bangkit berdiri dan berniat mengambil air wudhu.

Saat ku lewati ruang makan Daruzzahro, sungguh aku menyaksikan pemandangan yang kembali sangat membuat hatiku miris. Aku melihat tangan mungil putri yang mulia itu memunguti beberapa pecahan roti yang tersisa dari bekas sarapan sebagian pelajar tadi pagi. Melihatnya, memaksa aku membuang pandangan karena tak sanggup menyaksikannya. Kejadian tersebut sangat membekas di hatiku sehingga aku merenungkannya selama berhari-hari.

Semenjak kejadian itu, aku jadi jarang ikut makan bersama dengan teman-teman lainnya. Aku mencoba membiasakan diri untuk menunggu mereka telah usai semua, dan aku mulai melatih diri melunturkan kesombongan yang ada pada diriku.

Terkadang aku sengaja memakan roti yang sudah kering dan keras yang sudah aku hancurkan sebelumnya, atau memakan bekas-bekas  nasi yang akan dibuang, atau makan bersama kawan tetapi dengan suapan yang terbatas. Ketika masih agak kenyang, maka cukup hanya 3 suap, tapi ketika memang dalam keadaan lapar, maka cukuplah hanya 9 suap. Semua itu sengaja aku lakukan agar diriku yang sangat  payah ini dapat merasakan kerasnya menuntut ilmu tanpa memanjakan diri sedikitpun. Terlebih setiap kali mengingat kejadian di atas itu, hatiku sangat malu terhadap Sang Guru. Kami hanya seorang murid dan hanya menumpang di tempat ini, harusnya kami yang menjadi pelayan bukannya memanjakan diri terus menerus. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 09 November 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

Penulis: Seorang Alumni Daruzzahro, Hadhromaut, Yaman

Editor: Hakim