Governing The NU (Bagian Ketiga): Kewargaan dan Kuasa Kepemimpinan

 
Governing The NU (Bagian Ketiga): Kewargaan dan Kuasa Kepemimpinan

Oleh GUS YAHYA CHOLIL STAQUF

LADUNI.ID, Jakarta - Telah lama menjadi obsesi para aktivis dan pemeduli NU, bagaimana agar jama’ah (komunitas) yang sedemikian kokoh eksistensinya dapat sungguh-sungguh ditransformasikan menjadi jam’iyyah (organisasi). “Menjam’iyyahkan jama’ah” adalah slogan yang digaungkan berpuluh-puluh tahun tapi tak kunjung menjadi kenyataan. Ketidakteraturan dan berseraknya kepingan-kepingan komunitas seolah merupakan watak bawaan sehingga segala gairah untuk mengatasinya senantiasa berujung keputusasaan.

Sebagian orang menuding langkanya ketrampilan administrasi sebagai masalah dasar. Sebagian lain bahkan munuduh watak kultural pesantren sebagai biangnya. Tak seorang pun sampai pada jawaban tentang jalan keluar yang nyata, yang bisa dilaksanakan dan sungguh membawa kearah tujuan. Ikhtiar bukannya sama sekali tak ada. Tapi sebagian besar bersifat coba-coba dan segera patah ketika menyadari, betapa hasil yang diharapkan begitu jauh dari gapaian.

Yang absen dari wacana pembangunan jam’iyyah justru dua asumsi yang paling mendasar, yaitu asumsi tentang seluk-beluk kewargaan dan asumsi tentang tujuan. Ketika orang mengangankan suatu organisasi NU yang mampu mengerahkan seluruh warganya untuk bergerak bersama, apakah seluk-beluk kewargaan NU memungkinkan bagi angan-angan itu untuk menjadi kenyataan? Lebih jauh, bergerak bersama untuk tujuan apa?

Telah dimaklumi bahwa NU tidak memiliki keanggotaan yang terdaftar. Bahkan, walaupun diwarnai dengan “rasa budaya” yang seragam, persepsi orang per orang tentang dasar kewargaan masing-masing bisa berbeda-beda. Dengan kata lain, kalau ditanyakan kepada setiap warga, atas dasar apa ia merasa menjadi warga NU, jawabannya pasti amat beragam. Ada yang karena keturunan, pertemanan, atau sekedar suatu momentum perjalanan hidup yang terjadi kebetulan.

Singkat kata, kewargaan NU adalah kesertaan yang teramat longgar. Orang bisa merasa menjadi warga tanpa harus punya urusan dengan pengurusnya. Bukan kebetulan bahwa, walaupun yang tertulis dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga adalah “anggota”, istilah “warga” justru lebih populer. Maka, idealisasi organisasi NU yang kepemimpinannya punya kuasa untuk mengendalikan setiap anggotanya hanyalah mimpi kosong belaka. Kuasa kepemimpian NU hanya sampai batas: mengarahkan.

Mengikuti rumus politik, kuasa itu seperti iman. Bisa bertambah bisa berkurang. Untuk mempertahankan efektifitasnya, diperlukan pemeliharaan yang berkesinambungan. Dalam hal ini, pemeliharaan itu diwujudkan dalam keterlibatan kepemimpinan sebagai subyek kuasa dalam vokasi dan advokasi kepentingan-kepentingan warga sebagai obyek. Dalam bahasa pesantren, ini adalah fungsi “ri’aayah”. Semakin intens keterlibatan kepemimpinan NU dalam dinamika kepentingan-kepentingan warga, akan semakin besar dukungan warga dan semakin kuat pengaruh kepemimpinan dalam mengarahkan warga.

Dengan struktur berlingkup nasional dan anggaran pengaruh berluasan nasional, koherensi (kepaduan) kepemimpinan adalah kunci. Sikap, arah dan langkah dari keseluruhan struktur kepemimpinan, segenap tingkatan dan sektor, tak boleh berselisih. Dengan kata lain: kompak. Wujud kepemimpinan di setiap tingkatan tidak hanya mencerminkan aspirasi basis, tapi juga soliditas instrumen organisasi. Maka, kepentingan pengendalian oleh tingkat kepemimpinan yang lebih tinggi harus mendapat ruang dalam pembentukan formasi kepemimpinan dibawahnya.

Tentu saja, rumus macam itu belum cukup. Untuk membangun koherensi kepemimpinan yang optimal dibutuhkan strategi tersendiri pula.


*) Artikel ini ditulis oleh Gus Yahya Cholil Staquf, Katib Aam PBNU