Governing The NU (Bagian Keempat): Kepentingan dan Agenda

 
Governing The NU (Bagian Keempat): Kepentingan dan Agenda

LADUNI.ID, Jakarta - Ditanya tentang kegemaran beliau akan ziarah kubur, Gus Dur menjawab, “Karena ahli kubur tak lagi punya kepentingan”. Itu sebabnya mereka, ahli kubur, tidak lagi berbuat apa-apa, tidak bergerak, tidak berikhtiar dan tidak berorganisasi.

Tapi segala sesuatu sebelum kubur adalah kepentingan. Tak terkecuali NU. Maka, pengertian hadapan (mafhum mukholafah) dari penyataan diatas adalah bahwa, jika ada organ NU yang tidak bergerak, berarti ia berkepentingan untuk tidak bergerak atau tidak memahami kepentingannya.

Padahal, kepentingan adalah dasar utama dalam percaturan masyarakat. Kerjasama atau kompetisi, semua bergantung kepentingan. Ingat adagium yang terkenal sekali: “Tidak ada kawan yang abadi. Yang ada hanyalah kepentingan”.

Kepentingan terbit dari dua sumber, yaitu nilai-nilai dan kehendak untuk mendapatkan sumberdaya-sumberdaya. Jelas bahwa NU terikat pada ajaran Islam ala Ahlis Sunnah Wal Jama’ah. Itu adalah salah satu sumber kepentingannya. Di sisi lain, sebagai aktor percaturan duniawi, NU pun berkepentingan untuk memperoleh sumberdaya-sumberdaya, baik untuk dirinya sendiri atau pihak mana pun yang ia wakili.

Di bagian awal serial ini telah dibahas keharusan menyeimbangkan kepedulian (baca: kepentingan) yang menyangkut madzhab keagamaan dengan kepentingan (duniawi) kemasyarakatan. Dibahas pula keniscayaan untuk memperluas basis kepentingan keluar batas-batas kelompok sendiri. Banyak rumusan keputusan organisasi, termasuk AD/ART dan program hasil Muktamar, sebenarnya telah mencerminkan hal-hal tersebut.

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN