GP ANSOR Setia Mengawal Politik Indonesia

 
GP ANSOR Setia Mengawal Politik Indonesia

LADUNI.ID, Jakarta - Gerakan pemuda (GP) Ansor adalah organisasi pemuda  Islam tradisional yang di bentuk beberapa saat setelah berdirinya Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi pemuda ini berawal dari dua organisasi pemuda Islam Internasional , yaitu Syubbanul Wathon ( pemuda tanah air) pada tahun 1923 dan Da’watus syubban ( Panggilan pemuda ) pada tahun 1924. Kedua organisasi ini bergabung menjadi satu dengan nama Nahdelatus Suybban ( Kebangkitan Pemuda ) pada tahun 1930, kemudian berubah menjadi Persatuan Pemuda NU (PPNU) pada tahun 1931, selanjutnya pada tahun 1932 berubah menjadi Pemuda NU (PNU).

Organisasi pemuda ini pada mulanya ditentang para ulama tradisional, tokoh pemuda cenderung mengikuti kelompok Islam modern meniru gaya barat, seperti memakai celana panjang, bersepatu dan juga memakai dasi. Baru kemudian pada tahun 1934, PNU diakui sebagai bagian dari daparternen kepemudaan NU dalam muktamar  NU ke-9 di Banyuwangi dengan nama Ansor Nahdlatul Oelama  (ANO) pengakuan ini akhirnya didapatkan atas dukungan  K.H. Abdul  Wahab Chasbullah, Wahid Hasyim dan juga tokoh-tokoh yang lain.

Selanjutnya hubungan GP Ansor dan NU mengalami ketegangan akibat para pemuda mengenakan seragam yang disandangkan dasi di lehernya, dan para pemuda juga membentuk gerakan drum band , mendapatkan kecaman keras terhadap kiai NU pada tahun 1930-1940an. Namun ketegangan dan perselisihan lambat laun mulai mereda, seiring dengan tumbuhnya kesadaran dikalangan kiai dibutuhkan satu organisasi pemuda yang bertujuan membantu perjuangan mereka. Pesatnya perkembangan ANU sejak terlahir kembali menjadi GP Ansor pada 14 Desember 1949 semakin meyakinkan kiai adanya kekuatan pemuda untuk membantu menopang perjuangan mereka.

Pada masa itu juga NU adalah bagian dari partai Masyumi sebagai partai Islam yang pertama kali di Indonesia, yang lahir beberapa hari setelah sistem multi partai dilakukan 7 November  1945, karena berbagai alasan  yang sangat kompeleks, NU memisahkan diri dari Masyumi secara resmi, pada muktamar ke 19 Palembang, April 1952, sejak saat itu umat Islam terbagi menjadi dua kepemimpinan politk, Masyumi yang modern dan NU yang tradisional.

Sebelum menyatakan memisahkan dari Masyumi  NU melakukan persiapan dengan cara menata dan menetapkan lebih dahulu barisan secara internal. Kemudian NU membenahi hubungan dengan Ansor secara struktual, sebagai penegasan komitmen NU yang akan terjun dalam dunia politik dilaksanakan persetujuan bersama Pengurus Besar (PB) Tahun 1951. Persetujuan itu merupakan penegasan GP Ansor sebagai kader politik dan alat perjuangan partai NU yang dipimpin  para Ulama Ahlussunah wal jama’ah . Walaupun Ansor sebagi Banom NU yang memiliki Anggaran Rumah Tangga (ART) tetap mempunyai persepsi politik yang sama dengan NU, yang segera menjadi partai politik. Banyaknya pemuda Ansor yang terlibat  dalam kegiatan partai telah membawa perubahan secara drastis dalam tubuh organisasi, para aktivis dan pemimpin saat itu tidak lagi memikirkan jalannya program kerja organisasi atau langkah lain guna menyehatkan organisasi, hal itu terlihat pada kongres GP Ansor ke-4 di Malang pada tanggal 29 Oktober -2 November 1956. Sebelum kongres ke-4 Ansor, partai NU baru saja sukses secara mengejutkan dalam pemilu 1955 dengan menduduki empat partai besar bersama PNI, Masyumi dan PKI. Partai NU menambah jumlah wakilnya di departemen dari delapan menjadi empat puluh lima wakil, dengan kesuksesan itu, NU banyak membutuhkan kader untuk menempati posisi dalam parlemen atau menteri dalam kabinet, maka Ansor lah salah satu organisasi pendukung NU selain Muslimat yang menjadi pemasok utama kader-kader politik partai NU.

Hal ini pun menjadikan GP Ansor menghadapi dua kenyataan : pertama ,banyak anggota Ansor yang merangkap jabatan, baik sebagai pengurus Ansor sekaligus jabatan dalam partai NU, parlemen maupun kabinet pemerintahan. Sehingga seringkali sulit membedakan antara kebijakan partai NU maupun kebijakan GP Ansor atau kebijakan indvidu anggota. Kedua GP Ansor menjadi alat bagi kebijakan ambisi politik anggota atau puncak pimpinan organisasi yang ingin meraih jabatan parlemen atau menteri dalam kabinet. Karena itu tidak heran dan sudah menjadi rahasia umum bahwa sejak pemilu 1955 posisi dalam Ansor semakin indektif dengan parlemen atau kabinet bagi anggota dan pengurus Ansor.

Puncak perbedaan terjadi dalam menyikapi demokrasi terpimpin dimana NU memutuskan untuk mengambil bagian di dalamnya, dalam menanggapi konsep presiden Soekarno tentang demokrasi terpimpin, kabinet gotong royong dan dewan nasional pada tanggal 21 Febuari 1957, NU  tidak mempunyai sikap politik sendiri, sehingga Mr. Imbron Rosjadi selaku ketua umum GP Ansor dan Jusuf Hasyim sebagai ketua dua, dianggap berada di satu kubu bersama KH. Bisri Syansuri, KH. M. Dachlan dan KH. Achmad Siddiq, yang menganggap bahwa konsepsi Soekarno adalah anti demokrasi. PP GP Ansor di daerah untuk tetap waspada dan memperhatikan keadaan Indonesia yang dalam keadaan darurat.

Keadaan perpolitikan Indonesia yang semakin memanas terutama setelah di umumkannya dekrit Presiden 5 Juli 1959 membuat langkah NU sebagai partai politik semakin terhitung berdasarkan pertimbangan politis dengan sangat hati-hati. Beberapa kebijakan  politik NU terutama yang berkaitan dengan demokrasi terpimpin terus mendapatkan kritikan dari kalangan pemuda Ansor , terutama yang berkaitan dengan liga demokrasi. Pada kongres ke-5 di Solo Desember 1959, organisasi ini mulai kembali memunculkan beberapa tokoh muda yang berkompeten dalam berpolitik diantaranya : Jusuf Hasyim ketua dua GP Ansor dan Chalid Mawardi sekretaris umum GP Ansor.`          

Seiring berjalannya waktu kini Gerakan Pemuda Ansor masuk diera gen Z, di era sekarang ini GP Ansor sudah mengalami perubahan yang sangat signifikan dalam urusan perpolitikkan misalnya di daerah Pekalongan. Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor Yaqut Cholil Qoumas, Minggu (1/12/2019), tampil dalam Temu Kader Ansor dan Banser di Pekalongan, Jawa Tengah. Lelaki yang oleh kadernya disapa Gus Yaqut itu menyerukan perlunya peduli dengan masalah politik. Ia meminta kader Ansor dan Banser tidak mengabaikan masalah politik, meskipun organisasi keagamaan itu tidak mengajak anggotanya berpolitik. "Saya tidak sedang mengajak Ansor berpolitik namun hampir semua dimensi kehidupan masyarakat ditentukan oleh politik. Oleh karena itu, kita harus seimbang antara keagamaan dan sosial kemasyarakatan, dimana di dalamnya ada politik," katanya.

Dihadapan ratusan kader Ansor dan Banser, anggota DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa dari Daerah Pemilihan (Dapil) Jawa Tengah yang meliputi Kabupaten Batang, Kabupaten Pekalongan, Kota Pekalongan, dan Kabupaten Pemalang itu meminta agar ajaran Aswaja, selawatan, ngaji, dan gotong royong dijaga. Menurutnya, hal itu penting dan harus, namun politik juga tak kalah penting.. Yaqut menegaskan untuk membangun Nahdatul Ulama (NU) masa depan dibutuhkan kontribusi serius dalam dunia sosial kemasyarakatan, termasuk di dunia politik. Meskipun NU termasuk Ansor adalah organisasi keagamaan dan sosial kemasyarakatan, kata dia, para kader jangan abai dengan persoalan politik."Kita tidak bisa hanya mengaji saja, selawatan saja namun juga harus menatap masa depan bangsa dengan lebih baik. Oleh karena itu, kita jangan abai dengan masalah politik," kata Yaqut Cholil Qoumas. Ia mengatakan Ansor dan Banser harus bisa mendukung apabila ada kader, seperti Azmi Fahmi, Ketua Pimpinan Cabang GP Ansor Kabupaten Pekalongan memiliki peluang maju bupati. "Kita harus dukung, diperjuangkan seluruh kader. Ini politik," kata adik dari tokoh Nahdlatul Ulama, Yahya Staquf itu.. Ia menambahkan seluruh kader Ansor dan Banser harus tetap solid dan satu komando dalam berkhidmat, serta serius menjaga ajaran Aswaja, Pancasila, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Ahmad Jaenudin - Mahasiswa UNUSIA Jakarta