Biografi KH. Abdul Hayyie Nai'm

 
Biografi KH. Abdul Hayyie Nai'm
Sumber Gambar: foto istimewa

Daftar Isi Profil KH. Abdul Hayyie Nai'm

  1. Kelahiran
  2. Pendidikan
  3. Murid Kesayangan KH. Idris Kamali
  4. Belajar di Tanah Arab
  5. Bersahabat dengan Presiden Ke-4
  6. Pengasuh Majelis Taklim dan Madrasah
  7. Chart Silsilah Sanad

Kelahiran

KH. Abdul Hayyie Nai'm lahir pada tahun 1940 di Cipete, Jakarta Selatan. Beliau merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, dari pasangan KH. Muhammad Na’im, ulama asli Cipete dengan Hj. Mardhiyah, yang berasal dari Mampang.

Pendidikan

Masa kecil KH. Abdul Hayyie Nai'm dihabiskan dengan belajar bersama orang tuanya di Cipete, Jakarta Selatan. Selepas Madrasah Ibtidaiyah, ia pun kemudian melanjutkan ke Raudhatul Muta’alimin Mampang, yang diasuh ulama kenamaan Betawi KH. Abdur Razaq Ma’mun.

Setelah selesai belajar dengan KH. Abdul Razaq,  Abdul Hayyie, yang baru berusia 14 tahun, melanjutkan pendidikannya dengan nyantri ke Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.

Meski masih terbilang kecil, Abdul Hayyie berangkat ke pesantren hanya bersama kawannya, tanpa ditemani orangtua. Bahkan saat masuk pesantren yang saat itu diasuh KH. Abdul Khaliq Hasyim, ia hanya memakai celana pendek. Maka, tak ayal, ia disambut dengan sorak-sorai santri-santri lain, sementara ia sendiri kebingungan karena tak mengerti bahasa Jawa.

Enam bulan pertama, ia mengaku baru berusaha menyesuaikan diri dengan suasana pesantren. Atau, menurut istilahnya, mondok-mondokan.

Baru pada bulan ketujuh, ayahnya datang untuk memasrahkannya kepada para pengajar Tebuireng. Secara khusus ia juga dititipkan kepada KH. Idris Kamal, menantu Hadhratussyekh KH. Hasyim Asy’ari, yang berasal dari Cirebon.

Awalnya, Abdul Hayyie, yang berteman akrab dengan Gus Hakam, putra KH. Kholiq, pengasuhnya, mengikuti pengajian dengan sistem bandongan, guru membacakan sebuah kitab dan para santri menyimak sambil memberi catatan makna di kitabnya masing-masing.

Setelah dua tahun, Kiai Idris, gurunya, menyuruh Abdul Hayyie mengaji dengan sistem sorogan, santri membaca dan menguraikan makna kitab sedangkan sang guru hanya mendengarkan sambil sesekali mengoreksi.

“Kalau kamu ngaji bandongan, yang akan tambah pandai itu guru kamu,” nasihat Kiai Idris waktu itu. “Sedangkan dengan sorogan, kamulah yang akan aktif dan bertambah pandai,” Secara khusus, Kiai Idris menyediakan waktu baginya untuk mengajukan sorogan.

Murid Kesayangan KH. Idris Kamali

KH. Abdul Hayyie Nai'm adalah salah satu santri yang sangat diistimewakan dan disayangi oleh KH. Idris Kamali. Dalam beberapa kisah yang diceritakan, misalnya, setiap kali makan malam, Kiai Idris selalu menyisakan separuh dari sepiring porsi yang disantapnya. Menjelang tengah malam, santri yang sudah dianggap putra sendiri itu dipanggil dan disuruh menghabiskan sisa makan malam dari piring gurunya tersebut. Dalam tradisi pesantren, makanan sisa guru ini dianggap membawa berkah tersendiri.

Belakangan, Abdul Hayyie juga dipercaya mengurus berbagai hal pribadi sang guru, termasuk urusan cuci pakaian, atau, untuk pakaian-pakaian tertentu, laundry. Bahkan ia dibelikan gunting cukur dan diminta untuk belajar memangkas rambut dengan KH. Idris sebagai modelnya. Selama kurang lebih empat tahun, Abdul Hayyie menjadi tukang cukur kiainya itu.

Saking sayangnya, kiai yang hanya memiliki seorang putra itu juga mencukupi seluruh kebutuhan Abdul Hayyie di pesantren. Hayyie juga dilarang terlalu sering pulang. “Kamu pulang mau apa? Kalau kamu kangen pada orangtuamu, saya akan minta mereka datang kemari. Kalau kamu butuh uang, saya beri. Kamu butuh pakaian, saya belikan,” ujar ayah angkatnya itu setiap kali Abdul Hayyie pamit pulang.

“Maka saya pernah dua tahun lebih tidak pulang dari pesantren... he he he,” tutur Kiai Abdul Hayyie.

Hal yang paling mengesankan dari Kiai Idris, yang dianggap paling berjasa dalam mendidik Abdul Hayyie, adalah dalam hal kedisiplinan dan kerapian. Dalam berpakaian, misalnya, sang guru selalu tampil dandy dengan baju disetrika licin dan sepatu yang hitam berkilat, meski nyaris tidak pernah meninggalkan kompleks pesantren.

Selai itu, Kiai Idris juga mempunyai cara mengabsen yang unik. Jadi setiap akan mengajar, ia memberikan dua bungkus rokok kepada Abdul Hayyie dan menyuruhnya membagikan kepada murid-murid yang akan mengaji. setiap murid hanya berani mengambil satu batang, sisanya akan dikembalikan pada sang kiai. Maka, dari sisa rokok, Kiai Idris akan segera tahu berapa orang santri yang saat itu bolos mengaji.

“Santri yang ketahuan membolos dengan sengaja akan diskors tiga hari tidak diizinkan mengaji. Dan bila sampai tiga hari tidak minta maaf secara pribadi, ia tidak akan diizinkan mengaji selamanya”.

Pengalaman menarik di masa mondok lainnya, setiap kali baru pulang atau akan berangkat ke pesantren, Abdul Hayyie selalu dibawa sang ayah sowan kepada Habib Ali Al-Habsyi, Kwitang, dan Habib Ali Alatas, Cikini, untuk dimintakan doa. Ia juga diharuskan pamit kepada seluruh paman dan bibinya setiap kali akan berangkat.

Belajar di Tanah Arab

Ceritanya, tahun ’60-an, KH. Abdul Hayyie Nai'm sangat menginginkan anaknya bisa bermukim dan belajar di Mekah. Maka ia pun mendekati koleganya di NU, KH. Idham Khalid, yang kemudian berhasil memberikan kemudahan pemberangkatan putranya.

Malam sebelum kepulangannya, Kiai Idris meliburkan semua pengajiannya dan menyediakan waktu kepada anak angkatnya untuk bercengkerama. Malam itu juga Kiai Idris menitipkan sepucuk surat kepada Abdul Hayyie untuk disampaikan kepada familinya yang menjabat duta besar RI untuk Kerajaan Arab Saudi, KH. Muhammad Ilyas. Maka tahun itu Abdul Hayyie berangkat ke Makkah dengan menumpang kapal laut.

Di Kota Suci, Abdul Hayyie mondok di Pesantren Darul Ulum, yang diasuh oleh Syekh Yasin Al-Fadani, ulama besar Makkah kelahiran Minangkabau. Yang unik, selama kurun waktu lima tahunan (1960-1964), keberadaan Abdul Hayyie dan beberapa kawannya adalah sebagai mukimin ilegal. Karena sebenarnya saat itu pemerintah Kerajaan Arab Saudi melarang kedatangan mukimin baru.

Saat itulah KH. Abdul Hayyie merasakan betapa Allah SWT telah melindunginya selama masa belajar. “Waktu baru datang,” cerita Buya penuh semangat, “saya langsung tawaf dan berdoa di depan Ka’bah, agar selama belajar Allah menyelamatkan saya dari sweeping para asykar, tentara”.

Di madrasah yang sangat populer di tanah air ini, ia sekelas dengan KH. Kholil Bisri, putra KH. Bisri Musthofa Rembang. Ia juga berteman dengan KH. Hambali Maksum dan KH. Mahfuzh Ridwan (kini menjadi pengasuh Ponpes Edimancoro Salatiga). Seiring perjalanan waktu, ketiganya menjadi sahabat karib.

Bersama KH. Hambali dan KH. Mahfuzh pula, pada 1965, ia nekat hijrah ke Baghdad, Irak, tanpa bekal apa pun, kecuali tiket yang dibeli dengan uang terakhir yang mereka miliki. Di Baghdad mereka mendaftar di Fakultas Sastra Baghdad University. Namun, untuk diterima dan berhak mendapatkan beasiswa, ternyata ketiganya masih harus menunggu cukup lama.

Mereka lalu memutuskan tinggal di sebuah flat, langganan mahasiswa Indonesia yang pembayaran sewanya bisa diutang sampai beasiswa keluar. Sedangkan untuk makan, secara bergantian ketiga pemuda itu menjual satu per satu barang yang mereka miliki di pasar loak.

Uangnya digunakan untuk membeli bahan makanan yang dimasak dengan menumpang di sebuah musala yang merbotnya kebetulan orang Indonesia. Dan untuk menghemat uang, mereka makan hanya sekali dalam sehari.

Demikianlah, selama kurang lebih lima bulan, Abdul Hayyie, KH. Mahfuzh Ridwan, dan KH. Hambali hidup prihatin di ibu kota negeri Abu Nawas tersebut. Kehidupan mereka mulai membaik saat beasiswa yang terbilang lumayan itu sudah mereka terima dengan lancar setiap bulan. Bahkan sebagian uang tersebut bisa ditabung.

Bersahabat dengan Presiden Ke-4

Ketika kuliah di Baghdad itu pula, pada tahun kedua, Abdul Hayyie bertemu dan bersahabat dengan KH. Abdurrahman Wahid (mantan presiden RI) yang kebetulan sekelas dengannya. “Kami dulu sering gantian pinjam buku catatan setiap menjelang ujian,” kenangnya.

Hingga kini, ia dan Gus Dur masih terus menjalin silaturahmi. Gus Dur, yang kemenakan kiainya di Tebuireng itu, sesekali juga mengunjungi rumah sahabatnya ini. Terkadang mereka mengobrol sambil terkekeh-kekeh, nostalgia mengenang beberapa kebiasaan di Baghdad, misalnya main karambol.

Berbeda dengan di negara Timur Tengah lain, saingan terberat mahasiswa Indonesia di Irak adalah para pelajar Irak sendiri. Mereka belajar sangat keras, karena takut tidak lulus. Sebab, kata KH. Abdul Hayyie sambil terkekeh, pelajar irak yang gagal dalam ujian akan langsung diikutkan wajib militer dan dikrim ke medan perang.

KH. Abdul Hayyie berhasil meraih gelar Lc-nya tahun 1970. Namun ia tak segera pulang. Bersama sahabatnya, KH. Mahfuzh dan KH. Hambali, kembali ia berkelana ke beberapa negara Timur Tengah, seperti Yordania, Turki, dan Beirut. Mereka menggunakan uang tabungan yang disisihkan dari beasiswa dan uang pengganti tiket pesawat yang disediakan pemerintah Irak.

Baru tiga tahun kemudian Abdul Hayyie kembali ke tanah air. Di kampung halamannya, Cipete, ia segera bergulat dengan aktivitas barunya, membantu sang ayah mengajar. Apalagi ketika enam bulan kemudian ayahnya wafat, K.H. Abdul Hayyie pun semakin tenggelam dengan aktivitas dakwah dan taklimnya.

Pengasuh Majelis Taklim dan Madrasah

Di samping mengasuh pengajian dan Madrasah An-Nur, peninggalan ayahnya, ia juga mengajar di berbagai madrasah dan majelis taklim di Jakarta Selatan, termasuk daerah Ciganjur dan sekitarnya.

Pada 1989, setelah adik-adiknya dirasa cukup matang untuk menggantikan posisinya di An-Nur, Cipete, ia pun hijrah ke Jalan Durian, Gang Sabar, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Meski demikian, dengan rutin ia masih terus memantau dan mendampingi pendidikan di An-Nur.

Lima belas tahun terakhir, seminggu sekali ia juga mengajar secara bergiliran di sekitar 50 masjid di Jakarta Selatan dan Depok. Meski usianya telah beranjak, semangat dan derap langkahnya perlu diacungi jempol.

Ayah 11 anak ini juga sangat khawatir dengan perkembangan masyarakat 30 tahun mendatang. Para pejabat saat ini, kata Kiai Abdul Hayyie, 30 tahun lalu adalah remaja yang dibesarkan dengan budaya yang masih relatif bersih. “Saya, pada tahun 1950-an, bersama teman-teman adalah remaja yang hobi tidur dan bermain di masjid. Itu pun jadinya kayak sekarang. Apalagi remaja kita saat ini 30 tahun mendatang.”

Kepedulian akan masa depan remaja itu pula yang menggerakkan hatinya mendampingi Habib Hasan bin Ja’far Assegaf, mengasuh Majelis Taklim Nurul Mustafa, yang mayoritas jemaahnya remaja tanggung.

Chart Silsilah Sanad

Berikut ini chart silsilah sanad guru KH. Abdul Hayyie Nai'm dapat dilihat DI SINI.


Artikel ini sebelumnya diedit tanggal 16 Oktober 2020, dan terakhir diedit tanggal 01 September 2022.

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya