Biografi KH. Syamsuri Brabo

 
Biografi KH. Syamsuri Brabo
Sumber Gambar: foto istimewa

Daftar Isi Biografi KH. Syamsuri Brabo

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Wafat
2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Guru-guru
3.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1  Mendirikan Pesantren
4.    Kisah Karomah dan Teladan
4.1  Teladan
4.2  Pribadi Penyabar
4.3  Karomah

1. Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir

KH. Syamsuri Brabo lahir pada tanggal 21 April 1906 di Tlogogedong Demak Jawa Tengah. Beliau merupakan putra dari pasangan KH. Dahlan bin Nolo Khoiron, seorang pemuka agama dan oleh masyarakat dipercaya menjadi imam di sebuah mushala di desa Tlogogedong Demak

1.2 Wafat

KH. Syamsuri Brabo berpulang ke rahmatullah tepat ba’da Magrib malam Rabu, 23 Shofar (4 Oktober 1988). Makam KH. Syamsuri Brabo berada di Taman pemakaman umum di Desa Brabo, Kecamatan Tanggungharjo, Grobogan, Jawa Tengah.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan

Sebagaimana putra seorang pemuka agama, KH. Syamsuri muda sudah diajari pengetahuan keagamaan dasar dengan cukup lengkap, baik dalam hal ibadah, akidah, fikih, juga Al-Qur’an. Bagi beliau, guru yang pertama adalah KH. Dahlan, ayah beliau sendiri. Selanjutnya, KH. Syamsuri muda belajar kepada KH. Abdurrohman Tlogogedong Demak Jawa Tengah.

Saat nyantri kepada KH. Abdurrohman itulah, KH. Syamsuri pernah mendapat wejangan, “Seng sregep ngajine, sisok tak pek mantu” (Kamu rajin mengaji ya…, besok saya jadikan menantu).

Berbekal keyakinan dan semangat yang tinggi, KH. Syamsuri melanjutkan pendidikan beliau dengan belajar kepada Kyai Irsyad Gablog. Setelah selesai, beliau melanjutkan dengan nyantri di Mangkang, lalu belajar juga di Pesantren Tebuireng di bawah asuhan KH. Hasyim Asy’ari.

Kemudian melanjutkan dengan belajar fan hadits (Shohih Bukhori dan Shohih Muslim) kepada KH. Hasan Asy’ari di Poncol Bringin Salatiga. Setelah selesai, beliau kembali melanjutkan pendidikan beliau di Pesantren Tegalsari, Bringin Salatiga di bawah asuhan KH. Tholhah.

Lalu kembali melanjutkan pendidikan beliau lagi dengan belajar kepada KH. Syarqowi Tanggung Tanggungharjo Grobogan Jawa Tengah selama tiga tahun, sebelum akhirnya beliau diambil menantu oleh KH. Syarqowi. Hal ini karena KH. Syarqowi melihat kekhususan yang muncul dalam pribadi Kyai Syamsuri.

Di antara teman yang seangkatan dengan Kyai Syamsuri adalah KH. Muslih Mranggen Demak. Bahkan, Kyai Syamsuri dan KH. Muslih sama-sama alumni Pondok Tanggung, di bawah asuhan KH. Syarqowi.

Bahkan ada sebuah kisah menarik diantara keduanya, KH. Muslih Mranggen pernah meminjam kitab Shohih Bukhori kepada Kyai Syamsuri. Lalu, Kyai Syamsuri meminjamkan kitab tersebut dengan mengutus murid beliau Shobari untuk membawanya ke Mranggen. Konon Shobari membawa kitab tadi dengan dipikul memakai kayu.

Tokoh lain yang seangkatan adalah KH. Arwani Kudus (hubungan dalam thoriqoh), KH. Shodaqoh (ayah KH. Haris Shodaqoh, pengasuh PP Al Itqon Gugen Semarang), KH. Nawawi Bringin Slatiga, dan KH. Ihsan Brumbung Mranggen Demak.

Dalam hal tarekat, Kyai Syamsuri mengambil sanad kepada Kyai Sarqowi, tepatnya tarekat Naqsabandiyah Kholidiyyah. namun beliau tidak diangkat menjadi mursyid, meski kadang ditunjuk sebagai badal (guru pengganti). Hal ini karena Kyai Syamsuri diarahkan untuk lebih berkonsentrasi pada pendidikan santri di pesantren.

2.1 Guru-guru Beliau

  1. KH. Dahlan, (ayah KH. Syamsuri Brabo)
  2. KH. Abdurrohman
  3. KH. Irsyad Gablog
  4. KH. Hasyim Asy’ari.
  5. KH. Hasan Asy’ari
  6. KH. Tholhah
  7. KH. Syarqowi

 

3. Perjalanan Hidup dan Dakwah

3.1 Mendirikan Pesantren

Kehadiran KH. Syamsuri di Brabo bermula dari permintaan Mbah Idris dan Mbah Hasan Hudori, tokoh agama Brabo. Keduanya meminta kepada Kyai Sarqowi agar menanamkan santrinya di desa Brabo.

Dengan bermodal ketaatan kepada guru dan doa restu KH. Sarqowi, mulailah KH. Syamsuri berjuang menyiarkan agama Islam di tanah Brabo.

Metode dakwah KH. Syamsuri yaitu mendekati masyarakat dengan cara yang halus, bahkan berkunjung ke rumah mereka. Karena sifat sabar dan keuletan beliau, KH. Syamsuri berhasil merebut hati dan simpati masyarakat Brabo. Sehingga, banyak masyarakat Brabo mulai luluh hatinya.

Berbekal ilmu dari pesantren KH. Syamsuri mulai menggelar pengajian kecil-kacilan (bandongan) untuk kerabat, tetangga dan akhirnya sampai kemana-mana

Melihat makin bertambahnya santri yang mengaji maka masyarakat di daerah itu mengusulkan untuk mendirikan Pondok Pesantren sebagai tempat pembelajaran dan kamar untuk menginap santri-santri.

Pada 1941, berdirilah Pondok Pesantren Sirojuth Tholibin. yang bermakna lentera penerang bagi mereka yang menuntut ilmu. Nama ini dimaksudkan agar para santri yang menuntut ilmu benar-benar memperoleh ilmu yang bermanfaat, yang bisa menerangi jalan kehidupan.

Selain itu, nama ini sebagai bentuk tabarukan (ngalap berkah) kepada ulama, terutama Syaikh Muhammad Ihsan Jampes Kediri (penulis kitab Sirojuth Tholibin), nama kitab yang diabadikan sebagai nama pesantren.

4. Kisah Karomah dan Teladan

4.1 Teladan

KH. Syamsuri di Brabo adalah pribadi yang tawadhu’ dan wira’i. Bahkan, sifat itu sudah terlihat saat masih nyantri di pesantren Poncol Bringin Salatiga, saat itu KH. Syamsuri diajak menonton bioskop oleh teman beliau. Tetapi, beliau justru tidak menonton film yang berlangsung. Beliau hanya menundukkan kepala dan membaca istighfar.

Di sisi lain, KH. Syamsuri adalah pribadi yang rajin dan teliti. beliau selalu membiasakan memberi makna gandul (jrendel/utawi-iku) pada kitab kuning yang kosong, bahkan semua kitab yang disodorkan oleh guru beliau akan beliau beri makna gandul. Kebiasaan ini tetap terbawa sampai KH. Syamsuri berumah tangga. Sebulan sekali, ia akan menjemur kitab beliau di halaman rumah agar tidak dimakan serangga.

KH.  Syamsuri tidak pernah malu bertanya kepada siapa pun yang lebih paham ketika mengalami kesulitan memahami sebuah ta’bir (wacana), dengan bahasa yang santun dan tawadlu’, “Kang, maksude ta’bire sangkeng lafadz niki pripun? Tiyang pondok boten saget sedoyo” (Kang, bagaimana penjelasan wacana ini? Orang-orang pondok tidak ada yang paham). Ungkapan ini tidak menunjukkan kebodohan beliau. Sebaliknya, hal itu merupakan ekspresi kecerdasan dan ketekunan Kyai Syamsuri dalam belajar.

KH. Syamsuri sangat wira’i (teliti), egaliter, dan terbuka. KH. Syamsuri tidak pernah mengambil sikap berhadap-hadapan atau memposisikan tokoh lain sebagai pesaing. hal itu tampak dari penuturan murid beliau, bahwa sesaat setelah murid beliau tadi pulang dari Pesantren Al-Qur’an, KH. Syamsuri memerintahkan seluruh santri beliau untuk mengaji Al-Qur’an kepada beliau setiap setelah subuh. KH. Syamsuri pasti menengok kamar santri dan menanyakan apakah mereka sudah mengaji Al Quran atau belum.

4.2 Pribadi Penyabar

Pada waktu itu malam hari. Zaman dahulu memang belum ada listrik, maka keadaan gelap gulita. Ada seorang santri yang sedang jalan-jalan malam, berkeliling untuk ronda. Sesampainya di sumur pondok, beliau melihat sesosok orang yang tidak jelas maka beliau bertanya sembari membentak, “Siapa itu?!..”. Sebaliknya, dengan nada yang halus dan tanpa marah, ada jawaban, “Aku Syamsuri” ternyata seorang tadi adalah KH. Syamsuri.

Di lain waktu, ada seorang santri yang mengambil kelapa pada malam hari. Si santri tadi berkeyakinan bahwa pada malam hari KH. Syamsuri tidak akan mengetahuinya. Tetapi ternyata setelah santri tadi sudah ada di atas, KH. Syamsuri sudah ada di bawah dan menegurnya, “Ati-ati, Kang” hati-hati, Mas.

Paginya santri tadi dipanggil untuk ke kediaman KH. Syamsuri. Ada perasaan takut pada diri santri tersebut. Tetapi, apa yang dikatakan Kyai Syamsuri setelah santri tadi di ndalem? “Kang, sarapan dahulu. Setelah itu, kelapa di belakang tolong dipecah dan dibuang kulitnya” tanpa marah ataupun jengkel pada tingkah santri yang mencuri kelapa pada malam hari.

Suatu ketika KH. Syamsuri kehilangan ayam. Beliau mengetahui siapa pencurinya. Beliau tidak menangkapnya, tapi justru mengikutinya. Kemudian, setelah ayam itu dijual kepada orang lain, KH. Syamsuri segera membeli ayam tadi.

Di sisi lain, setiap ada tamu, baik santri alumni atau orang lain, KH. Syamsuri tidak pernah menanyakan sesuatu yang berhubungan dengan materi-dunia, melainkan hanya bertanya tentang kesehatan, “Bagaimana kabarnya?” “Sekarang mondok di mana?” dari cerita tadi kita mengetahui betapa zuhudnya KH. Syamsuri. Bahkan kepada tamu beliau pun tidak akan menanyakan tentang hal-hal yang berhubungan dengan keduniawian.

4.3 Karomah

Ada satu kisah yang menarik tentang KH. Syamsuri Brabo tepatnya pada tahun 1960, lantai masjid Al-Muhajirin (masjid tempat ibadah santri dan masyarakat sekitar) yang terbuat dari susunan lembaran papan sempat rusak. KH. Syamsuri Brabo bermaksud memperbaikinya dengan membeli kayu milik Masjid Desa Jragung Demak lama. Tetapi, dana yang terkumpul masih kurang, meski masyarakat Brabo sudah memberikan jariyah.

Akhirnya, KH. Syamsuri menjual kitab Syarah Bukhori setebal 12 jilid besar kepada Bpk. Anwar (Toha Putera) Semarang kala itu dan saat menjual kitab tadi, KH. Syamsuri bermaksud bahwa suatu saat, beliau akan membeli kitab tersebut kembali.

Beberapa waktu kemudian, KH. Hamid Kajoran Magelang berkunjung ke kediaman Bpk. Anwar. KH. Hamid melihat setumpuk kitab yang teronggok. Menariknya, kitab tersebut sudah diberi makna dengan rapi dan bagus. Maka, KH. Hamid pun meminta kitab tadi dari Bpk Anwar. Karena yang meminta KH. Hamid, maka kitab tadi diberikan secara cuma-cuma.

Beberapa waktu kemudian, setelah pulang dari Makkah, KH. A. Baidhowi (putra ke-4 KH. Syamsuri) sowan kepada KH. Hamid Kajoran. KH. Hamid berkata, “Gus Dhowi, aku punya kitab. Tetapi, karena aku tidak bisa mengaji, maka kitab itu akan saya hadiahkan kepada sampeyan.”

KH. Hamid meminta KH. Baidhowi agar menginap di kamar beliau. KH. Hamid mempersilakan agar KH. Baidhowi tidur di kamar atas, sedang KH. Hamid tidur di kamar bawah. Sampai larut malam, KH. Baidhowi tidak bisa tidur, karena rikuh (malu).

Paginya, KH. Hamid menghadiahkan kitab yang dijanjikan kepada KH. Baidhowi dengan syarat beliau harus menyanggupi maharnya. KH. Baidhowi menyanggupi mahar tadi setelah berpikir agak lama. KH. Hamid menyebutkan, “Mahar yang pertama, doakanlah semua anak keturunanku suka dengan tamu.”

Mahar tambahan yang diminta KH. Hamid, yakni: “Mahar kedua, doakan semua anak cucuku bisa haji. Sedang, “Mahar ketiga, doakan anak cucuku suka mengaji.”

KH. Baidhowi berdoa dengan diamini KH. Hamid. Kemudian, KH. Hamid memerintahkan putra beliau, KH. Baqoh Arifin untuk mengantarkan KH. Baidhowi. Dalam perjalanan, kitab tersebut sempat terjatuh. Sesampainya di Brabo, kitab tersebut diberikan kepada KH. Syamsuri. Setelah dibuka, ternyata kitab itu adalah kitab yang dulu dijual kepada Bpk Anwar, KH. Syamsuri memeluk erat kitab tadi. beliau menangis.

Chart Silsilah sanad

Berikut chart silsilah sanad guru KH. Syamsuri Brabo dapat dilihat DI SINIdan chart silsilah sanad murid beliau dapat dilihat DI SINI.


Artikel ini sebelumnya diedit tanggal 18 November 2020, dan terakhir diedit tanggal 01 September 2022.

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya