Biografi Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari

 
Biografi Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari
Sumber Gambar: Istimewa, Ilustrasi: laduni.ID

Daftar Isi Biografi Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari

1.      Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1    Lahir
1.2    Wafat
1.3    Riwayat Keluarga

2.      Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1    Berkelana Menimba Ilmu
2.2    Guru-Guru

3.      Mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng

4.      Penerus
4.1    Anak
4.2    Murid-murid

5.      Jasa dan Karya
5.1    Jasa-jasa
5.2    Karya-karya

6.      Kisah Teladan
6.1    Ketika Kiyai Hasyim dan Kiyai Kholil Berebut menjadi Santri
6.2    Mengambil Cincin Gurunya dari Lubang WC

 

1.   Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1  Lahir

KH. Mohammad Hasyim Asy’ari lahir pada 14 Februari 1871 (24 Dzulqo'dah 1287H). Kiyai Hasyim adalah putra ketiga dari 11 bersaudara dari pasangan KH. Asy’ari pemimpin Pesantren Keras, Jombang dan Nyai Halimah. Dari Nasab Ayahnya, KH. Hasyim Asy’ari memiliki garis keturunan sampai dengan Rasulullah. Berikut ini nasab Kiyai Hasyim dari jalur ayah:

  1. Husain bin Ali
  2. Ali Zainal Abidin
  3. Muhammad Al-Baqir
  4. Ja’far As-Shodiq
  5. Ali Al-Uraidhi
  6. Muhammad An-Naqib
  7. Isa Ar-Rumi
  8. Ahmad Al-Muhajir
  9. Ubaidullah
  10. Alwi Awwal
  11. Muhammad Sahibus Saumiah
  12. Alwi As-Tsani
  13. Ali Khali’ Qasam
  14. Muhammad Shohib Mirbath
  15. Alwi Ammi Al-Faqih
  16. Abdul Malik (Ahmad Khan)
  17. Abdullah (Al-Azhamat) Khan
  18. Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan)
  19. Jamaluddin Akbar Al-Husaini (Maulana Akbar)
  20. Maulana Ishaq
  21. ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri)
  22. Abdurrohman/Jaka Tingkir (Sultan Pajang)
  23. Abdul Halim (Pangeran Benawa)
  24. Abdurrohman (Pangeran Samhud Bagda)
  25. Abdul Halim
  26. Abdul Wahid
  27. Abu Sarwan
  28. KH. Asy’ari (Jombang)
  29. KH. Hasyim Asy’ari (Jombang)

1.2  Wafat

KH. Hasyim Asy’ari wafat pada 25 Juli 1947. Beliau dimakamkan di pesantren Tebuireng, Jombang Jawa Timur.

1.3  Riwayat Keluarga

KH. Hasyim Asy’ari menikah dengan seorang putri dari Kiyai Ya’qub Sidoarjo, Nyai Khodijah. Pernikahan dengan Nyai Khodijah tidak bertahan lama, karena sewaktu Kiyai Hasim Asy’ari menuntut ilmu di Makkah, istri beliau tersebut wafat pada tahun 1901.

Setelah istri pertama wafat, Kiyai Hasyim menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri dari Kiyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan, Madiun. Buah dari pernikahan tersebut, Kiyai Hasyim dan Nyai Nafiqoh dikaruniai 10 anak.

Dalam membina mahligai rumah tangga dengan istri kedua, Kiyai Hasyim mengalami masa yang sama dengan istri yang pertama. Pada tahun 1920, Nyai Nafiqoh wafat.

Keadaan yang sedemikian rupa tidak membuat Kiyai Hasyim larut dalam kesedihan. Karena beliau harus memikirkan anak-anaknya yang harus dirawat, akhirnya Kiyai Hasyim menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri dari Kiyai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan tersebut, Kiyai Hasyim dikaruniai 4 anak.

2.  Sanad Ilmu dan Pendidikan

2.1 Berkelana Menimba Ilmu

Saat masa kanak-kanak, KH. Hasyim Asyari sudah belajar dasar-dasar agama dari ayahnya, KH. Asy’ari dan kakeknya, Kiyai Usman (Pengasuh Pesantren Nggedang di Jombang).

Ketika usia menginjak 15 tahun, Kiyai Hasyim mulai berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, di antaranya adalah Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo.

Di Pesantren Siwalan, Sidoarjo, yang diasuh oleh Kiyai Ya’qub inilah, rupanya Kiyai Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kiyai Ya’qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup waktu lima tahun bagi Kiyai Hasyim untuk menyerap ilmu di Pesantren Siwalan.

Kecerdasan dan kealiman yang dimiliki oleh Kiyai Hasyim, membuat Kiyai Ya’qub tertarik kepada Kiyai Hasyim. Akhirnya, Kiyai Ya’qub menikahkan salah satu putrinya yang bernama Khodijah dengan Kiyai Hasyim.

Tidak lama setelah menikah, Kiyai Hasyim bersama istrinya berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, lalu Kiyai Hasyim kembali ke tanah air. Namun sayangnya, istri dan anaknya telah meninggal dunia.

Pada tahun 1893, Kiyai Hasyim berangkat kembali ke Tanah Suci. Dan sejak itu Kiyai Hasyim menetap di Makkah selama 7 tahun.

2.2  Guru-guru

Di antara guru Kiyai Hasyim yang masyhur adalah berikut ini:

  1. Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau
  2. Syaikh Mahfudz At-Tarmasi
  3. Syaikh Ahmad Amin Al-Aththar
  4. Syaikh Ibrahim Arab
  5. Syaikh Said Yamani
  6. Syaikh Rahmaullah
  7. Syaikh Sholeh Bafadlal
  8. Sayyid Abbas Al-Maliki
  9. Sayyid Alwi bin Ahmad As-Saqqaf
  10. Sayyid Husein Al-Habsyi
  11. KH. Muhammad Saleh Darat, Semarang
  12. KH. Kholil Bangkalan
  13. Kiyai Ya’qub, Sidoarjo
  14. Sayyid Husain Al-Habsyi
  15. Sayyid Sulthan Hasyim Ad-Daghistani
  16. Sayyid Abdullah Az-Zawawi
  17. Sayyid Ahmad bin Hasan Al-Atthas
  18. Sayyid Abu Bakar Syatha Ad-Dimyathi
  19. Sayyid Ahmad Zaini Dahlan
  20. Memperoleh ijazah dari Habib Abdullah bin Ali Al-Haddad
  21. Syaikh Nawawi Al-Bantani
  22. Sayyid Al-Bakry Muhammad Syatho
  23. Muhammad Amin Al-Kurdi
  24. Yusuf bin Ismail An-Nabhani

3. Mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng

Pada tahun l899, Kiyai Hasyim pulang ke Tanah Air. Kiyai Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, Kiai Usman. Tak lama kemudian, Kiyai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh, Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah barat Pabrik Gula Cukir. Di daerah ini, Kiyai Hasyim mendirikan sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal.

Dari tratak kecil inilah Pesantren Tebuireng mulai tumbuh. Kiyai Hasyim mengajar dan shalat berjamaah di tratak bagian depan. Sedangkan tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang dan setiap bulan santrinya semakin banyak berdatangan dari berbagai daerah.

Kiyai Hasyim bukan saja seorang Kiyai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu biasanya Kiyai Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah Kiyai Hasyim memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi ke Surabaya untuk berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kiyai Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya.

4.  Penerus

Setelah mendirikan pesantren, satu per satu santri berdatangan untuk ikut mengaji di Pondok Pesantren Tebuireng. Hingga akhirnya, ribuan santri menimba ilmu kepada Kiyai Hasyim. Dari sinilah tumbuh para santri yang menjadi tokoh, ulama, dan lain sebagainya. Kealiman, keabsahan sanad keilmuan, dan kesuksesan beliau dalam mendidik para santri yang menjadi ulama besar, menjadikan nama beilau semakin masyhur di seantaro Nusantara, bahkan sampai manca negara. Karena itu pula, maka beliau masyhur dengan gelar "Hadratussyaikh" atau "Maha Guru". Tidak sedikit, santrinya yang mendirikan pesantren dan berhasil mencetak ribuan bahkan ratusan santri berpengaruh di Indonesia.

4.1  Anak-anak

Pernikahan pertama dengan Bu Nyai Khadijah, Kiyai Hasyim tidak mempunyai keturunan yang meneruskan. Sedangkan pernikahan beliau dengan Bu Nyai Nafiqoh dikaruniai 10 anak, sementara pernikahannya dengan Bu Nyai Masruroh dikaruniai 4 anak. Berikut ini putra dan putri KH. Hasyim Asy'ari.

  1. Ny. Hannah
  2. Ny. Khairiyah Hasyim
  3. Ny. Aisyah
  4. Ny. Azzah
  5. KH. Abdul Wahid Hasyim
  6. KH. Abdul Choliq Hasyim
  7. KH. Abdul Karim Hasyim
  8. KH. Ubaidillah
  9. Ny. Mashuroh
  10. KH. Muhammad Yusuf Hasyim
  11. KH. Abdul Qodir
  12. Ny. Fatimah
  13. Ny. Khodijah
  14. KH. Ya'qub Hasyim

4.2  Murid-murid

Banyak santri Kiyai Hasyim yang menjadi para tokoh besar dan berpengaruh. Dari sekian santri tersebut, berikut ini di antaranya yang masyhur:

  1. KH. Abdul Wahab Hasbullah, Pesantren Tambak Beras (Jombang)
  2. KH. Bisri Syansuri, Pesantren Denanyar (Jombang)
  3. KH. R As’ad Syamsul Arifin
  4. KH. Wahid Hasyim (anak kandung Kiyai Hasyim)
  5. KH. Achmad Shiddiq (Jember)
  6. Syaikh Sa’dullah Al-Maimani (Mufti di Bombay, India)
  7. Syaikh Umar Hamdan (Ahli Hadis di Makkah)
  8. As-Syihab Ahmad ibn Abdullah (Syiria)
  9. KH. R. Asnawi (Kudus)
  10. KH. Dahlan (Kudus)
  11. KH. Shaleh (Tayu)
  12. KH. Zaini Mun'im (Probolinggo)

5 . Jasa dan Karya

5.1   Jasa-jasa

a. Mendirikan Nahdlatul Ulama (NU)

Pada tahun 1924, kelompok diskusi "Taswirul Afkar" ingin mengembangkan sayapnya dengan mendirikan sebuah organisasi yang ruang lingkupnya lebih besar. Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari yang dimintai persetujuannya, meminta waktu untuk menlaksanakan shalat Istikharah, dalam rangka memohon petunjuk dari Allah SWT.

Sekian lama, petunjuk yang ditunggu oleh Kiyai Hasyim belum datang juga. Kiyai Hasyim sangat gelisah. Dalam hati kecilnya ingin berjumpa dengan gurunya, KH. Kholil bin Abdul Latif, Bangkalan.

Sementara jarak yang harus ditempuh antara Jombang dengan Bangkalan sangat jauh. Tetapi, atas anugerah dan kehendak dari Allah SWT, Kiyai Kholil yang berada di Bangkalan mengetahui apa yang dialami oleh muridnya itu.

Kiyai Kholil lalu mengutus salah satu orang santrinya yang bernama As’ad Syamsul Arifin (kelak KH. R As’ad Syamsul Arifin menjadi pengasuh Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo), untuk menyampaikan sebuah tongkat kepada Kiyai Hasyim di Tebuireng. Pemuda yang ditunjuk itu dipesani oleh Kiyai Kholil, agar setiba di Tebuireng membacakan Surat Thaha ayat 23 kepada Kiyai Hasyim.

Ketika Kiyai Hasyim menerima kedatangan utusan Kiyai Kholil yang bernama As’ad itu, dan mendengar ayat tersebut, hatinya langsung bergetar. "Keinginanku untuk membentuk jamiyah agaknya akan tercapai," ujarnya lirih sambil meneteskan air mata.

Waktu terus berjalan, akan tetapi pendirian organisasi itu belum juga terealisasi. Agaknya Kiyai Hasyim masih menunggu kemantapan hati.

Satu tahun kemudian (1925), utusan Kiyai Kholil bernama As’ad itu kembali datang menemui Hadratus Syaikh. "Kiyai, saya diutus oleh Kiyai Kholil untuk menyampaikan tasbih ini," ujarnya sambil menunjukkan tasbih yang dikalungkan Kiyai Kholil di lehernya.

Ketika itu, tangan As’ad belum pernah menyentuh tasbih sersebut sama sekali, meskipun perjalanan antara Bangkalan menuju Tebuireng sangatlah jauh dan banyak rintangan. Bahkan ia rela tidak mandi selama dalam perjalanan, sebab khawatir tangannya menyentuh tasbih. As'ad memiliki prinsip yang tertanam di dalam hatinya, "Kalung ini yang menaruh adalah Kiyai, maka yang boleh melepasnya juga harus Kiyai." Beginilah salah satu sikap ketaatan santri kepada sang guru yang telah ditanamkan di pesantren sejak dulu.

"Kiyai Kholil juga meminta untuk mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap waktu," kata As’ad kepada Kiyai Hasyim, menyampaikan pesan Kiyai Kholil.

Kehadiran As’ad yang kedua ini membuat hati Kiyai Hasyim semakin mantap. Hadratussyaikh menangkap isyarat bahwa gurunya tidak keberatan jika dirinya bersama kawan-kawannya mendirikan organisai atau jam’iyah yang mewadahi aspirasi para ulama. Dan inilah jawaban yang dinantinya selama ini melalui shalat Istikharah.

Pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M, organisasi tersebut secara resmi didirikan, dengan nama Nahdlatul Ulama, yang artinya kebangkitan ulama. Kiyai Hasyim dipercaya sebagai Rais Akbar pertama.

b. Resolusi Jihad

Pada waku itu, keberadaan Kiyai Hasyim menjadi perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk merangkulnya. Suatu saat Kiyai Hasyim pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, tapi beliau menolaknya mentah-mentah. 

Justru Kiyai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan dengan membuat perintah kepada para santri dan pengikutnya. Perintah tersebut berisi mengenai dua hal. Pertama, Kiyai Hasyim memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Kedua, Kiyai Hasyim mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda.

Perintah tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Hal ini tentu saja membuat Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Dan karena kegaduhan itu, akhirnya Kiyai Hasyim di penjara selama 3 bulan pada 1942. Uniknya, saking khidmatnya kepada guru, ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan bersama Kiyai Hasyim.

c. Perjuangan Melawan Penjajah

Masa awal perjuangan Kiyai Hasyim di Tebuireng bersamaan dengan semakin represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng, Jombang pun tak luput dari sasaran tindakan represif Belanda.

Pada tahun 1913 M. intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas. Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap Kiyai Hasyim dengan tuduhan pembunuhan.

Dalam pemeriksaan, Kiyai Hasyim yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum.

Belum puas dengan cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu. Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, kitab-kitab dihancurkan dan dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik Tahun 1940-an.

Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang.

Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represi dan kooptasi, sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim.

Salah satu perlakuan represif Jepang adalah dengan penahanan terhadap Hadratussyaikh beserta sejumlah putra dan kerabatnya. Ini dilakukan karena Kiyai Hasyim menolak melakukan seikerei. Yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami). Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang.

Kiyai Hasyim menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah lah yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya, Kiyai Hasyim ditangkap dan ditahan secara berpindah–pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya.

Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratussyaikh berada di pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam tahanan, Kiyai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan.

Setelah penahanan Hadratussyaikh, segenap kegiatan belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng, Jombang vakum total. Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga Hadratus Syaikh tercerai-berai. Istri Kiai Hasyim, Nyai Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.

Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kiyai Hasyim dibebaskan oleh Jepang karena banyaknya protes dari para Kiyai dan santri. Selain itu, pembebasan Kiyai Hasyim juga berkat usaha dari KH. Wahid Hasyim dan KH. Abdul Wahab Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta.

Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA (Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya) dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kiyai Hasyim bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut. Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. 

Dari sinilah, kemudian meletus perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 November kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional, sementara tanggal 22 Oktober diperingati sebagai Hari Santri Nasional.

Selama masa perjuangan mengusir penjajah, Kiyai Hasyim dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan Gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk kepada Kiyai Hasyim.

d. Menjadi ketua Umum Partai Masyumi

Pada tanggal 7 November 1945, tiga hari sebelum meletusnya perang 10 November 1945 di Surabaya, umat Islam membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi). Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah konsolidasi umat Islam dari berbagai faham. Saat itu, Kiyai Hasyim diangkat sebagai Rois 'Aam (Ketua Umum) pertama periode tahun 1945-1947.

5.2   Karya-karya

Beberapa karya KH. Hasyim Asy’ari yang masih bisa ditemui dan menjadi kitab rujukan untuk dipelajari di pesantren-pesantren Nusantara sampai sekarang antara lain adalah:

  1. At-Tibyan fin Nahyi ’an Muqatha’atil Arham wal Aqarib wal Ikhwan
    Kitab ini selesai ditulis pada hari Senin, 20 Syawal 1360 H dan kemudian diterbitkan oleh Maktabah At-Turats Al-Islami, Pesantren Tebuireng. Kitab tersebut berisi penjelasan mengenai pentingnya membangun persaudaraan di tengah perbedaan, serta memberikan penjelasan akan bahayanya memutus tali persaudaraan atau silaturrahmi.

  2. Muqaddimah Al-Qanun Al-Asasi li Jam’iyyat Nahdlatul Ulama
    Kitab ini berisikan pemikiran KH. Hasyim Asy’ari, terutama yang berkaitan dengan NU. Dalam kitab tersebut, KH. Hasyim Asy’ari mengutip beberapa Ayat Al-Qur'an dan Hadis yang menjadi landasannya dalam mendirikan NU. Bagi penggerak-penggerak NU, kitab tersebut barangkali dapat dikatakan sebagai bacaan wajib.

  3. Risalah fi Ta'kid Al-Akhdzi bi Mazhab Al-Aimmah Al-Arba’ah
    Dalam kitab ini, KH. Hasyim Asy’ari tidak sekedar menjelaskan pemikiran empat imam madzhab, yakni Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Abu Ahmad bin Hanbal. Namun, beliau juga memaparkan alasan-alasan kenapa pemikiran di antara keempat imam itu patut dijadikan rujukan.

  4. Arba'ina Hadisan Tata'allaqu bi Mabadi' Jam'iyyat Nahdlatul Ulama
    Sebagaimana judulnya, kitab ini berisi empat puluh Hadis pilihan yang sangat tepat dijadikan pedoman oleh warga NU. Hadis yang dipilih oleh KH. Hasyim Asy'ari terutama berkaitan dengan Hadis-hadis yang mejelaskan pentingnya memegang prinsip dalam kehidupan yang penuh dengan rintangan dan hambatan ini.

  5. Adab Al-'Alim wa Al-Muta'alim fi Ma Yanhaju Ilaih Al-Muta'allim fi Maqamati Ta'limihi
    Pada dasarnya, kitab ini merupakan resume dari Kitab Adabul Mu’allim karya Syaikh Muhamad bin Sahnun, Ta'lim Al-Muta'allim fi Thariqat At-Ta’allum karya Syaikh Burhanuddin Az-Zarnuji, dan Tadzkirat As-Syaml wa Al-Mutakalli fi Adab Al-Alim wa Al-Muta’allim karya Syaikh Ibnu Jamaah. Meskipun merupakan bentuk resume dari kitab-kitab tersebut, tetapi dalam kitab tersebut kita dapat mengetahui betapa besar perhatian KH. Hasyim Asy’ari terhadap dunia pendidikan.

  6. Risalah Ahlus Sunnah wal Jamaah fi Hadis Al-Mauta wa Syuruth As-Sa’ah wa Bayani Mafhum As-Sunnah wa Al-Bid'ah
    Karya KH. Hasyim Asy'ari yang satu ini barangkali dapat dikatakan sebagai kitab yang relevan untuk dikaji saat ini. Karena di dalamnya banyak membahas tentang bagaimana sebenarnya penegasan antara Sunnah dan Bid'ah. Secara tidak langsung, kitab tersebut banyak membahas persoalan-persoalan yang bakal muncul di kemudian hari. Terutama saat ini.

Dalam beberapa karya KH. Hasyim Asy’ari tersebut, kita dapat menyimpulkan betapa besar dan luasnya perhatian KH. Hasyim Asy’ari terhadap agama serta betapa mendalam pengetahuannya di bidang tersebut.

Karya-karya KH. Hasyim Asy’ari itu menjadi bukti tak terbantahkan betapa beliau memang merupakan seorang ulama besar berpengaruh yang telah banyak menghasilkan berbagai warisan tak ternilai, baik dari segi keilmuan maupun dari segi keorganisasian seperti halnya NU.

6.  Kisah Teladan

6.1 Ketika Kiai Hasyim dan Kiai Kholil Berebut menjadi Santri

Pernah terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, KH. Hasyim Asy’ari dengan KH. Kholil Bangkalan, gurunya.

"Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya menyatakan bahwa saya adalah murid Tuan," kata KH. Kholil, Bangkalan.

Kiyai Hasyim lalu menjawabnya, "Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya."

Tanpa merasa tersanjung, Kiyai Kholil tetap bersikeras dengan niatnya.

"Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan," katanya.

Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kiyai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai santri. Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya.

Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu memang banyak terjadi. Namun yang ditunjukkan Kiyai Hasyim dan juga KH. Kholil Bangkalan adalah kemuliaan akhlak. Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati.

KH. Kholil adalah Kiyai yang sangat masyhur pada zamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru kepada beliau, pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura.

Sedangkan Kiyai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja beliau adalah pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, terkenal mumpuni dalam ilmu Hadis. Setiap Ramadhan Kiyai Hasyim punya ‘tradisi’ menggelar kajian Hadis Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu mampu menyedot perhatian umat Islam.

Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk gurunya sendiri, KH. Kholil, Bangkalan. Ribuan santri menimba ilmu kepada Kiyai Hasyim.

Tak heran, jika pada abad ke-20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku ‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratussyaikh (Tuan Guru Besar) kepada Kiyai Hasyim.

6.2 Mengambil Cincin Gurunya dari Lubang WC

Salah satu rahasia seorang murid bisa berhasil mendapatkan ilmu dari gurunya adalah taat dan hormat kepada gurunya. Guru adalah orang yang punya ilmu. Sedangkan murid adalah orang yang mendapatkan ilmu dari sang guru. Seorang murid harus berbakti kepada gurunya. Dia tidak boleh membantah apalagi menentang perintah sang guru (kecuali jika gurunya mengajarkan ajaran yang tercela dan bertentangan dengan syariat Islam, maka sang murid wajib tidak menurutinya). Kalau titah guru baik, murid tidak boleh membantahnya.

Inilah yang dilakukan Kiyai Hasyim Asy’ari. Beliau nyantri kepada KH. Kholil Bangkalan, Bangkalan. Di pondok milik Kiyai Kholil, Kiyai Hasyim dididik akhlaknya. Setiap hari, Kiyai Hasyim disuruh gurunya merawat sapi dan kambing. Kiyai Hasyim disuruh membersihkan kandang dan mencari rumput. Ilmu yang diberikan Kiyai Kholil kepada muridnya itu memang bukan ilmu teoretis, melainkan ilmu praktik, yakni langsung penerapan.

Sebagai murid, Kiyai Hasyim tidak pernah mengeluh disuruh gurunya memelihara sapi dan kambing. Beliau terima titah gurunya itu sebagai bentuk penghormatan. Beliau sadar bahwa ilmu dari gurunya akan berhasil diperoleh apabila sang guru ridho kepada muridnya. Inilah yang dicari Kiyai Hasyim, yakni keridhoan guru. Beliau tidak hanya mendapatkan ilmu teoretis dari Kiyai Kholil tapi lebih dari itu, yang diinginkan adalah berkah dari Kiyai Kholil, Bangkalan.

Suatu hari, seperti biasa Kiyai Hasyim setelah memasukkan sapi dan kambing ke kandangnya, beliau langsung mandi dan shalat Ashar. Sebelum sempat mandi, Kiyai Hasyim melihat gurunya, Kiyai Kholil termenung sendiri. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di hati sang guru. Maka, Kiyai Hasyim memberanikan diri untuk bertanya kepada Kiyai Kholil.

"Ada apa gerangan wahai guru kok kelihatan sedih," tanya Kiyai Hasyim kepada Kiyai Kholil, Bangkalan.

"Bagaimana tidak sedih, wahai muridku. Cincin pemberian istriku jatuh di kamar mandi. Lalu masuk ke lubang pembuangan akhir (septic tank)," jawab Kiyai Kholil dengan nada sedih.

Mendengar jawaban sang guru, Kiyai Hasyim segera meminta izin untuk membantu mencarikan cincin yang jatuh itu dan seketika itu diizini. Langsung saja Kiyai Hasyim masuk ke kamar mandi dan membongkar septictank.

Bisa dibayangkan, namanya septic tank dalamnya bagaimana dan isinya apa saja. Namun Kiyai Hasyim karena hormat dan sayangnya kepada guru tidak berpikir panjang. Beliau langsung masuk ke septic tank itu dan dikeluarkan isinya. Setelah dikuras seluruhnya, dan badan Kiyai Hasyim penuh dengan kotoran, akhirnya cincin milik gurunya berhasil ditemukan.

Betapa riangnya sang guru melihat muridnya telah berhasil mencarikan cincinnya itu. Sampai terucap doa: "Aku ridhoa padamu wahai Hasyim, aku doakan dengan pengabdianmu dan ketulusanmu, derajatmu ditinggikan. Engkau akan menjadi orang besar, tokoh panutan, dan semua orang cinta padamu."

Demikianlah doa yang keluar dari KH. Kholil Bangkalan.Tiada yang memungkiri bahwa di kemudian hari, Kiyai Hasyim menjadi ulama besar. Di samping karena Kiyai Hasyim adalah pribadi pilihan, beliau juga mendapat keberkahan dari gurunya sebab telah ridho kepadanya.


Artikel ini sebelumnya diedit tanggal 08 Maret 2019, dan kembali diedit dengan penyelarasan bahasa tanggal 25 Juli 2023.

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya