Gunakan Tembakau, Perusahaan Rokok di AS Ini Bikin Vaksin Virus Corona

 
Gunakan Tembakau, Perusahaan Rokok di AS Ini Bikin Vaksin Virus Corona

LADUNI.ID, Jakarta – Sebuah perusahaan rokok raksasa di Carolina Utara, Amerika Serikat (AS), Reynolds American, mengikuti perlombaan untuk menghentikan virus corona. Perusahaan ini menginfeksi tanaman tembakau dengan virus corona yang dimodifikasi secara genetic, dalam rangka melihat apakah dapat memproduksi antibodi yang mungkin bisa dijadikan vaksin.

Dikutip Laduni.id dari laman tempo.co sebagaimana dilansir laman Politico, hal itu merupakan ide lama yang dilakukan perusahaan di balik merek Camel, Newport dan Pall Mall itu.

Sebelumnya, Reynolds mencoba mengembangkan hal yang sama selama krisis Ebola pada 2015. Pekerjaan Reynolds masih pada tahap yang sangat awal, artinya wabah bisa saja mereda sebelum penyembuhnya ditemukan dengan sempurna, dan beberapa vaksin mungkin tidak 100 persen efektif terhadap semua jenis penyakit, seperti halnya dengan Ebola.

Menumbuhkan vaksin pada tanaman tembakau masih bisa menjanjikan biaya overhead lebih rendah dan risiko keuangan lebih rendah bagi perusahaan. "Karena pabrik dapat mulai memproduksi senyawa yang diperlukan dalam hitungan minggu," kata Palmer dari University of Louisville, sebagaimana dikutip Laduni.id dari laman Tempo.co pada Selasa (3/3).

Faktor-tersebut telah menjauhkan sebagian besar perusahaan obat besar dari bisnis vaksin. Pengembangan di balik upaya industri tembakau masa lalu untuk bercabang menjadi obat, tidak selalu sesuai dengan kondisi hari ini.

Meskipun nikotin terbukti meningkatkan daya ingat pada pasien pre-demensia, sebuah pengobatan yang sangat dipuji gagal dalam empat uji klinis. Upaya-upaya untuk memperluas penelitian ke kondisi lain juga belum membuahkan hasil.

Dua vaksin Ebola nabati ditemukan lebih efektif daripada pengobatan yang Reynolds kerjakan, yang belum pernah disetujui oleh lembaga obat dan makanan Amerika (FDA). Perusahaan-perusahaan tembakau masih terus maju, selain Kentucky BioProcessing, anak usaha Reynolds yang sedang menguji virus corona, Philip Morris telah mengambil 40 persen saham di Medicago, perusahaan yang menggunakan teknologi pertumbuhan tembakau yang sama untuk mencoba mengembangkan vaksin flu.

"Orang bisa bersikap sinis. Tetapi kenyataannya adalah bahwa kami mungkin dapat membantu," terang Hugh Haydon, CEO Kentucky BioProcessing.

Selain itu, perusahaan ini telah menghubungi departemen kesehatan pemerintahan Trump tentang pekerjaan yang terkait dengan virus corona itu dan mengatakan dapat memberikan sampel kepada pemerintah pada awal Maret.

Dalam hal ini, Kenneth Palmer, ahli mikrobiologi di Universitas Louisville yang fokus pada vaksin nabati menerangkan tidak menerima pendanaan dari industri tembakau, tapi universitas telah membayar Kentucky BioProcessing untuk penelitian tembakau di masa lalu.

"Sebagai seorang ilmuwan dan peneliti, saya tidak antusias dengan bisnis memproduksi dan menjual produk-produk tembakau," kata Palmer. "Tetapi saya pikir perusahaan-perusahaan tembakau mungkin mengambil banyak pengalaman. Mungkin logis dan indah bahwa perusahaan tembakau ikut terlibat."

Reynolds, yang dimiliki oleh British American Tobacco, telah berusaha melakukan diversifikasi selama beberapa tahun. Sebelum membeli laboratorium Kentucky, raksasa tembakau itu mencoba mencari hal lain dari tanaman tembakau selain untuk rokok, kenang James Figlar, wakil presiden eksekutif penelitian dan pengembangan.

"Menghasilkan lini bisnis baru adalah satu hal, tetapi mengejar epidemi yang merebak lebih dari 60 ribu orang di lebih dari dua lusin negara adalah hal lain," tutur Figlar.

Reynolds American membeli laboratorium Kentucky pada Januari 2014, hanya dua bulan sebelum Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menandai kasus pertama yang dalam dua tahun ke depan menjadi wabah virus Ebola paling mematikan yang tercatat, menewaskan lebih dari 11.000 orang di Afrika Barat.

Kentucky BioSciences dengan cepat memfokuskan semua sumber dayanya untuk memproduksi komponen yang diturunkan dari tembakau untuk terapi kombinasi ZMapp, salah satu perawatan Ebola eksperimental pertama yang tersedia.

FDA melacak dengan cepat ulasan keselamatan pada tahun 2015 dan pejabat kesehatan masyarakat mengizinkan penggunaannya saat kasus meningkat. Namun seiring berjalannya waktu, data mulai menunjukkan ada dua perawatan lain yang jauh lebih efektif daripada ZMapp.

Adapun hasilnya cukup signifikan bagi para peneliti untuk menghentikan studi lebih awal dan merekomendasikan agar petugas kesehatan meninggalkan ZMapp untuk beralih ke yang lain. Reynolds dan lainnya di belakang ZMapp bukan satu-satunya perusahaan yang menuangkan jutaan ke dalam perawatan Ebola atau vaksin yang mungkin tidak akan pernah digunakan lagi.

"Anda menginvestasikan ratusan dan jutaan dolar untuk meningkatkan sesuatu yang Anda harapkan bisa berhasil. Itulah kesalahan sebenarnya di sana," kata Anthony Fauci, direktur Institut Nasional untuk Penyakit Alergi dan Penyakit Menular, di sebuah acara di Institut Aspen beberapa waktu lalu.

"Ini akan menjadi tantangan untuk membuat perusahaan besar melakukan itu," pungkasnya.