Hukum Melaksanakan Shalat Jumat saat Terjadi Wabah Penyakit Menular

 
Hukum Melaksanakan Shalat Jumat saat Terjadi Wabah Penyakit Menular

LADUNI.ID, Jakarta – Dalam kitab Al-Ahkam Asy-Syar’iyyah Al-Muta’alliqah bi Al-Waba’ wa Ath-Tha’uun (hlm. 22) menyatakan bahwa meninggalkan shalat berjama'ah dan shalat Jum'at dibolehkan hanya ketika khawatir tertimpa bahaya yang sudah terlihat jelas bahayanya dan yakin, atau yakin akan terkena virus. Adapun jika baru sangkaan, maka tidak dibolehkan meninggalkan shalat jama'ah dan shalat jum'at. Yang menganggap bahaya ataukah tidak untuk berkumpul adalah para pakar dan pemerintah yang bertanggungjawab dalam hal ini.

Wabah juga pernah terjadi pada masa Rasulullah. Isolasi adalah salah satu cara beliau untuk meredam dampaknya bagi masyarakat. Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menginstruksikan agar wabah penyakit menular diisolasi sehingga tidak menyebar.

Caranya adalah dengan menjaga agar masyarakat yang berada di daerah wabah tidak keluar ke daerah lain sedangkan masyarakat yang berada di daerah lain agar tidak masuk ke dalam. Beliau bersabda,

إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلَا تَدْخُلُوهَا وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا مِنْهَا   

"Apabila kalian mendengar wabah lepra di suatu negeri, maka janganlah kalian masuk ke dalamnya, namun jika ia menjangkiti suatu negeri, sementara kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar dari negeri tersebut." (HR. al-Bukhari).

Baca juga: Kriteria dan Syarat Shalat Jumat di Tengah Wabah Corona

Pada masa Kekhalifahan Umar bin al-Khaththab radhiyallahu 'anhu juga pernah terjadi wabah penyakit menular. Diriwayatkan,

أَنَّ عُمَرَ خَرَجَ إِلَى الشَّأْمِ. فَلَمَّا كَانَ بِسَرْغَ بَلَغَهُ أَنَّ الْوَبَاءَ قَدْ وَقَعَ بِالشَّأْمِ، فَأَخْبَرَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ‏ ‏إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْه‏.

Khalifah Umar pernah keluar untuk melakukan perjalanan menuju Syam. Saat sampai di wilayah bernama Sargh, beliau mendapat kabar adanya wabah di wilayah Syam. Abdurrahman bin Auf kemudian mengabari Umar bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya, jika wabah terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meningggalkan tempat itu.” (HR al-Bukhari).

Riwayat ini juga dinukil oleh Ibnu Katsir dalam Kitab Al-Bidayah wa al-Nihayah. Menurut Imam al-Waqidi saat terjadi wabah Tha’un yang melanda seluruh negeri Syam, wabah ini telah memakan korban 25.000 jiwa lebih. Bahkan di antara para sahabat ada yang terkena wabah ini. Mereka adalah Abu Ubaidah bin Jarrah, al-Harits bin Hisyam, Syarahbil bin Hasanah, Fadhl bin Abbas, Muadz bin Jabal, Yazid bin Abi Sufyan dan Abu Jandal bin Suhail.

Dalam fatwa terbarunya, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan hukum melaksanakan shalat Jumat di tengah wabah virus corona (Covid-19) yang sedang melanda dunia termasuk Indonesia. Fatwa Nomor 14 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19 itu disampaikan Sekretaris MUI Asrorun Ni’am Sholeh di Kantor MUI, Jakarta, Senin (16/03/2020). Berdasarkan fatwa itu, hukum shalat Jumat saat terjadinya wabah itu tergantung kondisi seseorang dan suatu daerah.

Baca juga: PWNU Jatim Terbitkan Panduan Shalat Jumat di Tengah Wabah COVID-19

Misalnya, sebagaimana poin kedua dalam Ketentuan Hukum Fatwa tersebut, disebutkan, “Orang yang telah terpapar virus corona, wajib menjaga dan mengisolasi diri agar tidak terjadi penularan kepada orang lain.

Baginya shalat Jumat dapat diganti dengan shalat zuhur di tempat kediaman, karena shalat Jumat merupakan ibadah wajib yang melibatkan banyak orang sehingga berpeluang terjadinya penularan virus secara massal.

Terkait dengan fatwa MUI tersebut, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda,

قَالَ أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُورِدُوا الْمُمْرِضَ عَلَى الْمُصِحِّ   

"Abu Salamah bin Abdurrahman berkata; saya mendengar Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Janganlah kalian mencampurkan antara yang sakit dengan yang sehat" (HR. al-Bukhari).

Baca juga: Wabah Corona, Begini Pilihan Keagamaan Kyai tentang Shalat Jumat

Lalu bagaimana dengan shalat Jumat saat terjadi wabah? Ini menjadi pertanyaan yang banyak ditanyakan, terutama saat terjadi wabah Corona seperti saat ini. Dalam hal ini para ulama fiqih sebenarnya menetapkan larangan bagi mereka yang terkena penyakit menular untuk beribadah di masjid sebab masjid merupakan salah satu pusat keramaian.

Syekh Zakariya al-Anshari dalam Asna al-Mathalib dan Syaikh al-Khatib asy-Syirbini dalam Mughni al-Muhtaj tentang hal ini menulis sebagai berikut,

وَقَدْ نَقَلَ الْقَاضِي عِيَاضٌ عَن الْعُلَمَاءِ أَنَّ الْمَجْذُومَ وَالْأَبْرَصَ يُمْنَعَانِ مِنْ الْمَسْجِدِ وَمِنْ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ، وَمِنْ اخْتِلَاطِهِمَا بِالنَّاسِ

“Qadli Iyadh menukil dari para ulama bahwasanya orang yang terkena penyakit judzam (kusta) dan barash (sopak) dilarang mendatangi masjid, shalat Jumat dan dari bercampur baur dengan masyarakat.” (al-Khatib asy-Syirbini,Mughni al-Muhtaj, I: 360). Syekh Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan alasan larangan tersebut sebagai berikut,

سَبَبَ الْمَنْعِ فِي نَحْوِ الْمَجْذُومِ، خَشْيَةَ ضَرَرِهِ، وَحِينَئِذٍ فَيَكُونُ الْمَنْعُ وَاجِبًا فِيهِ   

“Sebab pelarangan bagi penderita penyakit semisal kusta adalah khawatir bahaya darinya. Karena itu, maka pelarangan ini menjadi hal wajib dalam konteks kusta tersebut”. (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, I: 212). 

Baca juga: Hasil Bahtsul Masail PWNU Jatim tentang Hukum Sholat Jum'at karena Wabah Penyakit

Larangan di atas sesuai dengan instruksi Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas dan sesuai pula dengan peristiwa saat Nabi menginstruksikan agar seorang penderita penyakit kusta berbaiat dari jauh sebagaimana dalam hadits berikut,

عَنْ يَعْلَى بْنِ عَطَاءٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ الشَّرِيدِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَ فِي وَفْدِ ثَقِيفٍ رَجُلٌ مَجْذُومٌ فَأَرْسَلَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّا قَدْ بَايَعْنَاكَ فَارْجِعْ   

“Dari Ya'la bin 'Atha dari 'Amru bin Asy-Syarid dari bapaknya dia berkata; "Dalam delegasi Tsaqif (yang akan dibai'at Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam) terdapat seorang laki-laki berpenyakit judzam (kusta). Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengirim seorang utusan supaya mengatakan kepadanya: ‘Kami telah menerima baiat Anda. Karena itu Anda dipersilakan pulang’" (HR. Muslim).   

Sebagaimana diketahui, baiat adalah sesuatu yang wajib dilakukan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan lumrahnya dilakukan dengan cara berjabat tangan secara langsung dengan beliau (kecuali untuk perempuan). Akan tetapi dalam kasus penderita kusta ternyata beliau memberikan solusi berbaiat dari jarak jauh yang nampaknya dilakukan agar kehadiran orang itu tidak mendatangkan potensi bahaya bagi hadirin lainnya. Dari hal ini juga dapat dikiaskan tidak wajibnya menghadiri shalat Jumat saat ada kekhawatiran terjangkit penyakit. 

Akan tetapi, apabila masjid dalam keadaan sepi, maka secara otomatis larangan mendekati masjid seperti di atas menjadi tidak berlaku. Dengan demikian, penderita penyakit menular diperbolehkan melakukan seluruh aktivitas di masjid tatkala sepi. Sama halnya ia juga diperbolehkan melakukan shalat Jumat atau shalat berjamaah ketika berada dalam ruang isolasi khusus yang tidak bercampur baur dengan orang lain. Syekh Ibnu Hajar menjelaskan,

وَأَنَّ الْمَدَارَ فِي الْمَنْع عَلَى الِاخْتِلَاطِ بِالنَّاسِ فَلَا مَنْعَ مِنْ دُخُولِ مَسْجِدٍ وَحُضُورِ جُمُعَةٍ أَوْ جَمَاعَةٍ لَا اخْتِلَاطَ فِيهِ بِهِمْ   

“Bahwasanya yang menjadi pertimbangan dalam pelarangan adalah campur baur dengan masyarakat. Maka tidak ada larangan memasuki masjid dan menghadiri shalat Jumat atau shalat berjamaah yang tidak ada campur baur di dalamnya.” (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, I, 212).

Baca juga: Sakit Tidak Wajib Shalat Jum'at

Hanya saja perlu dicatat bahwa illat (alasan hukum) pelarangan di atas adalah menjaga masyarakat dari penyakit menular. Dengan demikian, apabila kosongnya masjid atau terdapatnya ruang isolasi di masjid belum bisa menjaga terjaminnya masyarakat dari penularan penyakit sebab virusnya dapat hidup dengan menempel di benda-benda fasilitas publik di masjid lalu menulari orang yang menyentuhnya, maka pelarangan tetap berlaku hingga para ahli yang kompeten menyatakan bahwa kondisi sudah aman. 

Kesimpulannya, mereka yang positif terkena penyakit menular dilarang untuk mendatangi pusat keramaian, salah satunya masjid, sehingga dengan demikian ia cukup shalat dhuhur di rumah. Adapun bagi masyarakat lain yang masih sehat, apabila tidak ada kekhawatiran timbul bahaya penularan penyakit saat shalat Jumat, maka selama itu pula shalat Jumat tetap wajib dilakukan. Sedangkan apabila menurut ahli yang kompeten dikhawatirkan terjadi penularan apabila hadir dalam shalat Jumat, maka shalat Jumat bagi mereka tidak wajib dikerjakan sesuai instruksi Nabi Muhammad agar mengisolasi wabah. Sebagai gantinya, ia harus menunaikan shalat dhuhur.

Wallahu a'lam bisshawab.

Sumber:

  • Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, I.


*) Artikel ini ditulis oleh Ustadz Abdul Wahab Ahmad, peneliti bidang aqidah di Aswaja NU Center Jawa Timur dan Wakil Sekretaris PCNU Jember.