Biografi Habib Mundzir bin Fuad Al-Musawa

 
Biografi Habib Mundzir bin Fuad Al-Musawa

Daftar Isi:

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Nasab
1.4  Wafat

2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Pendidikan
2.2  Guru-Guru

3.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1  Berjuang Melalui Dakwah
3.2  Bertemu dengan KH. Abdurrahman Wahid
3.3  Sowan ke KH. Maimoen Zubair

4.    Referensi

1. Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1. Lahir
Habib Mundzir bin Fuad Al-Musawa atau yang akrab dengan sapaan Habib Mundzir Al-Musawa atau Habib Munzir lahir pada 23 Februari 1973/19 Muharram 1393 di Cipanas, Cianjur, Jawa Barat.

Habib Mundzir adalah anak keempat dari lima bersaudara dari pasangan Habib Fuad bin Abdurrahman Al-Musawa dan Syarifah Rahmah binti Hasyim Al-Musawa. Masa kecilnya dihabiskan di daerah Cipanas, Jawa barat bersama saudara-saudaranya, di antaranya:

  1. Habib Ramzy Fuad Al-Musawa,
  2. Habib Nabiel Al-Musawa,
  3. Syarifah Lulu Fuad Al-Musawa,
  4. Syarifah Aliyah Fuad Al-Musawa.

Ayahnya lahir di Kota Palembang dan dibesarkan di Makkah Al-Mukarromah, setelah lulus pendidikan jurnalistik di New York University, Amerika Serikat, ayahnya kemudian bekerja sebagai seorang wartawan Luar Negeri selama sekitar 40 tahun, berawal dari harian Berita Yudha dan selanjutnya harian Berita Buana. Pada tahun 1996 ayahnya wafat dan dimakamkan di Cipanas, Cianjur, Jawa Barat.

Habib Mundzir berkata "Saya adalah seorang anak yang sangat dimanja oleh ayah saya. Ayah saya selalu memanjakan saya lebih dari anaknya yang lainnya."

1.2 Nasab

  1. Rasullah Muhammad SAW
  2. Fathimah Az-Zahra Putri Rasulullah
  3. Husain bin Ali
  4. Ali Zainal Abidin bin
  5. Muhammad Al-Baqir bin
  6. Ja'far Ash-Shadiq bin
  7. Ali Al-Uraidhiy bin
  8. Muhammad An-Naqib bin
  9. Isa Ar-Rumiy bin
  10. Ahmad Al-Muhajir bin
  11. Ubaidillah bin
  12. Alwi bin
  13. Muhammad bin
  14. Alwi bin
  15. Ali Khali' Qasim bin
  16. Muhammad Shahib Mirbath bin
  17. Muhammad Al-Faqih Muqaddam bin
  18. Alwi Al-Ghayur bin
  19. Ali bin
  20. Muhammad Mauladdawilah bin
  21. Abdurrahman As-Seggaf bin
  22. Abu Bakar As-Sakran bin
  23. Ahmad bin
  24. Muhammad Muqallaf bin
  25. Ahmad Al-Musawa bin
  26. Yaasin bin
  27. Sulaiman bin
  28. Abdurrahman bin
  29. Umar bin
  30. Abdurrahman bin
  31. Ahmad bin
  32. Aqil bin
  33. Ali bin
  34. Abdurrahman bin
  35. Ali bin
  36. Abdurrahman bin
  37. Fuad bin
  38. Habib Mundzir bin

1.3 Riwayat Keluarga
Habib Mundzir bin Fuad Al-Musawa menikah dengan Syarifah Khadijah Al-Juneid. Buah dari pernikahannya, beliau dikaruniai anak, di antaranya:
1. Syarifah Fathimah Al-Musawa
2. Habib Muhammad Al-Musawa
3. Habib Hasan Al-Musawa

1.4 Wafat
Habib Mundzir memiliki penyakit asma kronis sejak kecil dan sering keluar-masuk rumah sakit. Pada tahun 2012 belliau pernah dirawat di RSCM Jakarta, karena penyakit radang otak. Habib Mundzir dinyatakan wafat secara medis saat berada di RSCM pada tanggal 15 September 2013 jam 15:30 WIB pada usia 40 tahun. Sebelum meninggal, Habib Munzir juga pernah dioperasi karena ada cairan di perutnya.

Penyakit tersebut sempat menganggu aktivitas Habib Mundzir dalam berdakwah. Meskipun sedang dirundung rasa sakit, soal urusan dakwah, Habib Mundzir, menurut kakaknya Habib Nabil, tidak pernah memikirkan sakitnya. Habib Mundzir pernah memakai kursi roda saat berdakwah, bahkan pernah memakai tempat tidur khusus dari rumah sakit. Di tahun 2012 sempat dilakukan penyedotan lemak pada tubuhnya.

Menurut penuturan yang ditulis di blog beliau, Habib Mundzir sempat bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. "Saya sangat mencintai Rasulullah SAW, menangis merindukan Rasulullah SAW, dan sering dikunjungi Rasululullah SAW dalam mimpi, Rasul selalu menghibur saya jika saya sedih, suatu waktu saya mimpi bersimpuh dan memeluk lutut beliau dan berkata wahai Rasulullah SAW aku rindu padamu, jangan tinggalkan aku lagi, butakan mataku ini asal bisa jumpa denganmu ataukan matikan aku sekarang, aku tersiksa di dunia ini”.

Rasulullah SAW menepuk bahu saya dan berkata, "Mundzir, tenanglah, sebelum usiamu mencapai 40 tahun kau sudah jumpa denganku maka saya terbangun”.

Saat sedang berkumpul bersama keluarga di rumahnya, Habib Mundzir masuk kamar mandi sejak siang namun sampai sore hari tidak juga keluar. Keluarganya mendobrak pintu kamar mandi dan menemukan Habib Mundzir sudah tergeletak di lantai tidak sadar. Beliau pun dilarikan ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, namun satu jam kemudian para dokter menyatakan beliau telah tiada.

Menurut penuturan kerabatnya, Habib Munzir meninggal karena serangan jantung. Habib Mundzir dimakamkan di Pemakaman Umum Habib Kuncung di Kalibata, Jakarta Selatan pada hari Senin, 16 September 2013 sekitar jam 13:00 WIB, setelah dishalatkan di Masjid Al-Munawwar Pancoran. Puluhan ribu umat muslim mengantarkan jenazahnya dan menyaksikan prosesi pemakaman dengan takzim.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan

2.1 Pendidikan
Seusai menyelesaikan Sekolah Menengah Atas (SMA), Habib Mundzir mulai mendalami Ilmu Syariat Islam di Ma'had Assafaqah, yang ketika itu di pimpin Al-Habib Abdurrahman Assegaf, Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan, lalu mengambil kursus Bahasa Arab di LPBA Assalafy Jakarta Timur, lalu memperdalam lagi Syari'ah Islamiyah di Ma'had Al-Khairat, Bekasi Timur.

Keilmuan Syariahnya kemudian lebih didalami di Ma'had Dar Al-Musthafa, Tarim, Hadhramaut, Yaman, selama empat tahun, di sana Habib Mundzir mendalami Ilmu Fiqih, Ilmu Tafsir Al-Qur'an, Ilmu Hadis, Ilmu Sejarah, Ilmu Tauhid, Ilmu Tasawuf, Mahabbaturrasul SAW, Ilmu Dakwah, dan berbagai Ilmu Syari'ah lainnya.

Di masa baligh, beliau pernah putus sekolah, Habib Mundzir muda lebih senang hadir ke Majelis Maulid Almarhum Al-Arif billah Al-Habib Umar bin Hud Al-Atthas, dan Majelis Taklim kamis sore di Empang, Bogor, yang pada masa itu membahas kajian Fathul Baari oleh Al-Habib Husein bin Abdullah bin Muhsin Al-Atthas. Sementara pada masa yang hampir bersamaan saudara-saudara kandungnya berhasil membanggakan orangtua mereka dalam meraih prestasi wisuda, hal ini mengundang kekecewaan kedua orangtua Habib Mundzir muda.

Ayahnya pernah berkata "kau ini mau jadi apa?, jika mau agama maka belajarlah dan tuntutlah ilmu sampai ke luar negeri, jika ingin mendalami ilmu dunia maka tuntutlah sampai ke luar negeri, namun saranku tuntutlah ilmu agama, aku sudah mendalami keduanya, dan aku tak menemukan keberuntungan apa-apa dari kebanggaan orang yang sangat menyanjung negeri barat, walau aku sudah lulusan New York University, tetap aku tidak bisa sukses di dunia kecuali dengan kelicikan, saling sikut dalam kerakusan jabatan, dan aku menghindari itu."

Menurut Habib Mundzir, itulah yang mendorong almarhum ayahnya lebih memilih hidup dalam kesederhanaan di Cipanas, Cianjur, Jawa barat. Ayahnya (Al-Habib Fuad bin Abdurrahman Al-Musawa) lebih senang menyendiri dari ibukota, membesarkan anak-anaknya, mengajari anak-anaknya mengaji, ratib, dan shalat berjamaah. Habib Mundzir merasa sangat mengecewakan kedua orangtuanya karena belum memiliki cita-cita yang pasti, dunia tidak akhiratpun tidak.

Beliau masuk Pesantren Al-Habib Hamid Nagib bin Syaikh Abu Bakar di Bekasi Timur, beliau selalu menangis dan berdoa kepada Allah SWT dan rindu kepada Rasulullah SAW dan meminta untuk dipertemukan dengan guru yang paling dicintai Rasulullah SAW saat Mahalul Qiyam maulid.

Dalam beberapa bulan kemudian datanglah Guru Mulia Al Musnid Al-Allamah Al-Habib Umar bin Hafidz ke pondok itu, kunjungan pertama beliau yaitu pada 1994.

Habib Munzir berkata "selepas beliau menyampaikan ceramah, beliau melirik saya dengan tajam, saya hanya menangis memandangi wajah sejuk itu, lalu saat beliau sudah naik ke mobil bersama almarhum Al-Habib Umar Maula Khela, maka Guru Mulia memanggil Habib Nagib Bin Syaikh Abu Bakar, Guru mulia berkata bahwa beliau ingin saya dikirim ke Tarim Hadramaut, Yaman untuk belajar dan menjadi murid beliau"

"Guru saya Habib Nagib bin Syaikh Abu Bakar mengatakan saya sangat belum siap, belum bisa bahasa arab, murid baru dan belum tahu apa apa, mungkin beliau salah pilih..?. Maka guru mulia menunjuk saya. Itu.. anak muda yang pakai peci hijau itu..!, Itu yang saya inginkan. Maka Guru saya Habib Nagib memanggil saya untuk jumpa beliau, lalu guru mulia bertanya dari dalam mobil yang pintunya masih terbuka : siapa namamu?, Dalam bahasa arab tentunya, saya tak bisa menjawab karena tak paham, maka guru saya Habib Nagib menjawab: kau ditanya siapa namamu..!, maka saya jawab nama saya, lalu guru mulia tersenyum.."

Keesokan harinya Habib Mundzir berjumpa lagi dengan Al-Habib Umar bin Hafidz di kediaman Almarhum Al-Habib Bagir Al-Atthas, saat itu banyak para Habaib dan Ulama mengajukan anaknya dan muridnya untuk bisa menjadi murid Al-Habib Umar bin Hafidz. Berkata Habib Munzir "maka guru mulia mengangguk-angguk sambil kebingungan menghadapi serbuan mereka, lalu guru mulia melihat saya dikejauhan, lalu beliau berkata pada almarhum Habib Umar Maula Khela: itu.. anak itu.. jangan lupa dicatat.., beliau yang pakai peci hijau itu..!, guru mulia kembali ke Yaman, sayapun langsung ditegur guru saya Habib Nagib bin Syaikh Abu Bakar, seraya berkata: wahai Mundzir, kau harus siap-siap dan bersungguh sungguh, kau sudah diminta berangkat, dan kau tak akan berangkat sebelum siap.”

Dua bulan setelah pertemuan dengan Al-Habib Umar bin Hafidz, datanglah Almarhum Al-Habib Umar Mula Khela ke pesantren dan menanyakan Habib Mundzir, Almarhum Al-Habib Umar Maula Khela berkata pada Al-Habib Nagib:

"Mana itu Mundzir, anaknya Al-Habib Fuad Al-Musawa? Dia harus berangkat minggu ini, saya ditugasi untuk memberangkatkannya."

Saat itu Habib Nagib berkata: "saya belum siap"

Namun Almarhum Al-Habib Umar Maula Khela dengan tegas menjawab: "Saya tidak mau tahu, namanya sudah tercantum untuk harus berangkat, ini permintaan Al-Habib Umar bin Hafidz, beliau harus berangkat dalam dua minggu ini bersama rombongan pertama".

Kemudian Habib Mundzir bergegas mempersiapkan paspor dan lain-lainya. Ayahnya sempat keberatan dan berkata: "Kau sakit-sakitan, kalau kau ke Makkah ayah tenang, karena banyak teman di sana, namun ke Hadhramaut itu ayah tak ada kenalan, di sana negeri tandus, bagaimana kalau kau sakit? Siapa yang menjaminmu ?".

Menanggapi hal ini Habib Mundzir mengadukannya kepada Almarhum Al-Arif Billah Al-Habib Umar bin Hud Al-Atthas, yang saat itu sudah sangat sepuh dan kemudian berkata: "Katakan pada ayahmu, saya yang menjaminmu, berangkatlah".

Setelah mendengar nasihat Al-Habib Umar bin Hud Al-Atthas, Habib Mundzir menemui ayahnya, namun hanya diam, hatinya berat melepas keberangkatan Habib Munzir.

Ketika berada di Tarim, Hadhramaut, Yaman, pernah terjadi Perang Yaman Utara dan Yaman Selatan, hal ini memicu kekurangan pasokan makanan, matinya listrik, semua pelajar ketika itu menempuh perjalanan untuk taklim dengan jarak sekitar 3-4 km.

Dua tahun kemudian setelah di Yaman, ketika menuntut ilmu di Dar-Al Musthafa, pesantren yang di asuh oleh Al-Habib Umar bin Hafidz, dikabarkan bahwa ayahnya sakit dan menelepon dengan berkata: "Kapan kau pulang wahai anakku..?Aku rindu..?"

Habib Mundzir menjawab: "Dua tahun lagi insya Allah ayah"

Ayahnya menjawab: "duh...masih lama sekali".

Tiga hari berselang ayahnya dikabarkan wafat.

2.2 Guru-Guru

  1. Al-Habib Fuad bin Abdurrahman Al-Musawa (ayah)
  2. Al-Habib Abdurrahman As-Seggaf Bukit Duri
  3. Al-Habib Umar bin Hud Al-Atthas,
  4. Al-Habib Husein bin Abdullah bin Muhsin Al-Atthas,
  5. Habib Nagib bin Syaikh Abu bakar,
  6. Al-Habib Umar bin Hafidz,
  7. Al-Habib Salim Asy-Syatiri (Rubath Tarim)

3. Perjalanan Hidup dan Dakwah

3.1 Berjuang Melalui Dakwah
Habib Mundzir kembali ke Indonesia pada tahun 1998, dan mulai berdakwah sendiri di Cipanas. Namun karena kurang berkembang, beliau memindahkan dakwahnya ke Jakarta pada Majelis Malam Selasa, dengan mengunjungi rumah-rumah murid sekaligus teman, murid-muridnya lebih tua dari beliau, dan berasal dari kalangan awam.

Ketika kemudian dimulai Maulid Dhiya'ullami jama'ah semakin banyak, selanjutnya majelis mulai berpindah-pindah dari mushala ke mushala, semakin terus bertambah banyak, maka mulailah majelis dari masjid ke masjid. Sehingga Habib Munzir mulai membuka majelis di malam lainnya dan menetapkannya di Masjid Al-Munawar. Majelis semakin berkembang hingga mulai membutuhkan kop surat, undangan dan sebagainya.

Semenjak itu mulai muncul ide pemberian nama, para jamaahnya mengusulkan memberikan nama Majelis Habib Mundzir, namun beliau menolak lantas menetapkan nama Majelis Rasulullah.

Dakwahnya Habib Mundzir semakin meluas hingga jutaan jamaah yang menyentuh semua kalangan dan berbagai wilayah, mulai dari Jabodetabek, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Mataram, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Singapura, Malaysia, hingga sampai ke Jepang.

Dakwahnya yang menyentuh berbagai kalangan menjadikan beliau banyak dicintai oleh Umat Islam terutama di wilayah Jabodetabek dan di Nusantara. Habib Mundzir adalah murid yang begitu disayangi oleh gurunya Habib Umar bin Hafidz, sedangkan kalangan pemuda muslim yang mengenalnya tidak jarang menjadikan beliau sebagai panutan ataupun idola dalam mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW.

Dakwahnya di Indonesia juga tercatat sering dihadiri tokoh-tokoh nasional seperti Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, Suryadharma Ali, Fadel Muhammad, Fauzi Bowo dan lain-lain.

3.2 Bertemu dengan KH. Abdurrahman Wahid (Gur Dur)
Pada suatu ketika, Habib Mundzir bin Fuad Al-Musawa hendak dakwah ke Papua. Sampai di Bandara Soeta, ternyata ada Gus Dur juga di bandara. Gus Dur ditemani Kang Maman Imanul Haq. Melihat Gus Dur duduk nyantai, Habib Mundzir menghampiri dan menciumi tangan Gus Dur seraya bersimpuh di hadapan Gus Dur.

Lalu Kiyi Maman bertanya, “Ada apa Bib?”
“Kalau Gus Dur itu wali ya Kang Maman.”
Jawab Habib Mundzir Al-Musawa.
Kang Maman kagum dan penuh takdzim kepada Habib Mundzir. Sosok habib muda yang menjadi panutan umat. Takdzimnya kepada para kyai luar biasa, sehingga Habib Mundzir sangat dihormati dan ditakdzimi para kyai di Nusantara.
Lalu Gus Dur bertanya kepada Kyai Maman, “Itu siapa?”
“Habib Mundzir, Pak,”
jawab Kyai Maman.
“Kalau ingin tahu wali yang muda ya Habib Mundzir. Tapi usianya tidak panjang,” kata Gus Dur kemudian.

Dan ternyata betul apa yang dikatakan Gus Dur waktu itu, Pimpinan Majelis Rasulullah SAW. Habib Mundzir bin Fuad Al-Musawa itu kemudian meninggal dalam usia yang masih muda.

3.3 Sowan ke KH. Maimoen Zubair
Pada suatu hari, almarhum Habib Mundzir bin Fuad Al-Musawa datang ke ndalem KH. Maimoen Zubair Sarang, Rembang. Kedatangan Habib Mundzir ini dalam rangka mengundang Mbah Maimoen untuk hadir dalam acara Majelis Rasulullah. Majelis Rasulullah rutin mempunyai acara besar setiap tahun dalam rangka Maulid Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Ketika Habib Mundzir menyampaikan undangan, Mbah Maimoen langsung memegang dan mencium undangan tersebut. “Hadzihi min Rasulillaah, hadzihi min Rasulillaah, Ini dari Rasulullah.. Ini dari Rasulullah,” kata Mbah Maimoen dengan penuh takdzim.

Setelah dirasa cukup dalam pembicaraan, Habib Mundzir minta undur diri. Kemudian Habib Mundzir pamit dengan Mbah Maimoen sembari kembali berharap Mbah Maimoen bisa hadir dalam acara tersebut.

Subhanallah! Akhlaq Habib Mundzir luar biasa. Ketika keluar dari rumah Mbah Maimoen, Habib Mundzir berjalan mundur dengan pelan, tak mau membelakangi Mbah Maimeon, sebagai wujud ekspresi adab terhadap orang alim.

Itulah Habib Mundzir, sosok keturunan Rasulullah SAW yang menjadi teladan bagi umat manusia. Kini Habib Mundzir telah tiada, tapi jejak hidupnya menjadi warisan bagi generasi saat ini untuk menjadi pribadi yang luhur dalam kehidupan sehari-hari.

Mbah Maimoen Zubair dikenal sebagai sosok ulama yang sangat mencintai dan menghormati para habaib. Setiap bertemu habaib, Mbah Maimoen selalu mendahului cium tangannya.

4. Referensi
Diolah dan dikembangkan dari data-data yang dimuat di situs: wiki.laduni.id

 

Lokasi Terkait Beliau

    Belum ada lokasi untuk sekarang

List Lokasi Lainnya