Diplomasi Alfiyah Ibnu Malik di Era COVID-19

 
Diplomasi Alfiyah Ibnu Malik di Era COVID-19

LADUNI.ID, Jakarta - Di suasana lockdown di Kerajaan Arab Saudi, kemarin saya berkesempatan bertemu dengan salah satu pangeran penting. Dia adalah putra Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud yang juga menjabat sebagai Menteri Energi Arab Saudi. Nama lengkapnya adalah His Royal Highness Abdulaziz bin Salman bin Abdulaziz Al Saud.

Alhamdulillah, berkat doa para Kyai, para Guru dan sahabat2, selama saya bertugas sebagai pelayan WNI di Arab Saudi 4 tahun 24 hari, Allah memberikan kemudahan dan mempertemukan dengan para putra Raja Salman yang merupakan “Para Pangeran Ring Satu” al-Fangarinu al-Awa’il.

Mulai dari Sang Putra Mahkota, Mohammed bin Salman (MBS) yang terkenal dengan gagasan “Islam Wasathiy” dan juga mega proyek “NEOM” Neo – Mustaqbal (Masa depan Baru) senilai 500 Milyar USD.

Lalu kakak MBS, Pangeran Sulton bin Salman sang astronout pertama Timur Tengah yang memberikan peluang dan membisiki Raja Salman untuk menetapkan Indonesia sebagai tamu kehormatan di Festival Budaya Janadriyah 2018.

Festival Budaya yang diikuti 600 seniman Indonesia dan berlangsung hampir satu bulan itu merupakan diplomasi sekaligus dialog budaya terbesar abad 21.

Putra Raja Salman yang lain adalah Pangeran Faisal bin Salman, Gubernur Madinah yang begitu gagah dan tinggi. Pangeran ini menaruh perhatian luar biasa terhadap Indonesia sehingga beliaulah pangeran pertama Saudi yang menyambut kedatangan para jamaah haji Indonesia di tahun 2019.

Postur saya, 176 cm, meski tinggi untuk ukuran Yogyakarta, namun ketika berada di samping Pangeran Faisal, saya kelihatan seperti “cah cilik” dan pendek.

Lalu kenapa harus pangeran “Ring Satu’?

Ibnu Malik pernah menulis dalam Alfiyah ketika menjelaskan gramatikal tentang dhamir (kata ganti).

وقدم الأخص في اتصال # وقدمن ما شئت في انفصال
(Ketika ittisal/hubungan diplomasi, maka prioritaskan yang paling dekat dengan pemilik kebijakan /al-akhas, dan ketika tak ada hubungan diplomasi maka terserah anda mau prioritaskan yang mana).

Karena para pangeran ini sangat dekat dengan pembuat kebijakan yaitu Khadimul Haramain as-Syarifain Raja Salman, maka sudah menjadi keniscayaan untuk memprioritaskan komunikasi diplomatik lewat mereka para “ashabul policies” pemilik kebijakan.

Lalu terkait dengan usulan Indonesia untuk barter pembayaran minyak mentah dengan CPO (minyak sawit) produk Indonesia, Ibnu Malik juga sudah mengajarkan teori agar neraca perdagangan kita tidak “njomplang” dan harus diperjuangkan agar neraca perdagangan “berimbang” atau al-mutakafi’ah.

Di dalam gramatikal soal mubtada’/subyek dan Khobar/predikat yang muqaddam (info harus didahulukan), Ibnu Malik menegaskan:
وليس عندي درهم ولي وطر # ملتزم فيه تقدم الخبر
(Karena Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan dengan Saudi, sementara kita harus meningkatakan ekonomi, maka sudah seharusnya dilakukan komunikasi -taqaddumul Khobar- untuk menyampaikan usulan kepada Saudi agar neraca berimbang). Sengaja saya modif dg وليس untuk disesuaikan dg fakta neraca perdagangan yg defisit krn belanja crude oil.

Tentang urgensi komunikasi diplomatik, Ibnu Malik juga sudah wanti-wanti dengan dalam kajian isim mausul (the relative pronoun):
وكلها يلزم بعده صلة # على ضمير لائق مشتملة
(Semua negara harus mampu melakukan komunikasi dengan narasi diplomatik yang smart. Pilihan kata dalam diplomasi harus memperhatikan nilai-nilai dhamir (suasana kebatinan) sebuah negara penugasan).

Seorang santri paska menyelesaikan Alfiyah Ibnu Malik biasanya mahir juga Al-Jauhar al-Maknun dalam disiplin ilmu balaghah. Salah satu pesan kitab ini adalah:
وجعلوا بلاغة الكلام # طباقه لمقتضى المقام
(Diksi diplomatik yang sempurna adalah ketika susunan narasi tersebut sesuai dengan kondisi psikologi, sosiologi dan antropologi negara tempat dia ditugaskan atau “muqtadha al-maqam”)  

From Alfiyah Ibnu Malik, We Start and We Change
Agus Maftuh Abegebriel