Ramadhan di Tengah Wabah Corona

 
Ramadhan di Tengah Wabah Corona

LADUNI.ID, Jakarta - Edisi Ramadhan 1441 Hijriyah telah tiba. Tapi Corona tak kunjung berlalu bahkan Badan intelejen Negara (BIN) memprediksi puncak Corona ada di bulan puasa . Sepertinya akan banyak perbedaan yang signifikan jika membandingkan bulan ramadhan yang lalu-lalu.

Bagi umat islam, tentunya bulan ramadhan diyakini sebagai bulan yang mulia, bukan hanya karena Al-Qur'an diturunkan di bulan ini, tetapi juga bulan dimana manusia akan lebih banyak menyediakan hampir penuh waktunya, tidak lagi paruh waktu untuk beribadah kepada tuhanNya.

Bulan Ramadhan juga menjadi bulan dimana setiap proses peribadatannya sarat akan makna. Tidur orang berpuasa jadi ibadah, bau mulut orang berpuasa yang disukai Tuhan, yang bagi kita mungkin bau mulut itu seperti bau busuk  bangkai hewan yang tak kunjung terkuburkan. Dan tentu masih banyak lagi keistimewahan lainnya, kalau boleh meminjam peristilahan Tan Malaka, "bulan ramahdhan adalah keistimewahan terakhir yg dimiliki oleh umat islam"... hihih

Dibulan ramadhan ini, umat islam diharuskan untuk menuntaskan Challenge 30 hari, yakni harus menahan lapar dan haus sesuai waktu yang telah ditetapkan sejak terbit fajar hinggah tenggelam. Tapi tentunya bukan hanya itu ferguso. Tak hanya jasmani, tapi juga rohani, pun harus turut mengikuti tantangan ini. Sepertinya challenge bulan ramadhan memang tak pernah muda untuk makhluk komsumtif seperti manusia.

Tetapi ada yang berbeda pada bulan berkah kali ini, saat para ulama dan umara bermufakat memutuskan untuk meniadakan sholat berjamaah dan aktifitas lainnya yang memungkinkan menghimpun banyak jamaah, membuat penulis sontak berdiam diri sejenak membayangken gambaran hari-hari puasa yang akan penulis jalani ke depan ketika aktifitas perkumpulan di mesjid-mesjid ditiadakan. Yah meski gambaran penulis tak sedetail  mereka yang bilang ada agenda terselubung dengan menunggangi issu corona untuk membuat umat islam menjauh dari rumah Tuhan. Ada-ada saja.

Menghitung jam menjelang taraweh serta sahur pertama, maklumat untuk tak menjalankan sholat berjamaah dan berbagai aktifitas lainnya yang mungkin melibatkan banyak jamaah, telah banyak di edarkan. Pandemi Corona menjadi alasan Agama dan Negara sepakat untuk meniadakan taraweh selama bulan ramadhan bahkan mungkin setelah ramadhan dan berbagai macam aktifitas lainnya di mesjid-mesjid di berbagai negara muslim. Bukan hanya mesjid-mesjid di Indonesia, bahkan dua mesjid paling disuci-kan umat Islam, mesjid Nabawi dan Mesjid Al-Haram juga ikut ditutup oleh pemerintah Arab Saudi. Maklumat ini tentu menimbulkan banyak sanggahan, kritik serta saran (berasa lagi diskusi di forum). Tapi begitulah adanya, pandemi Corona telah mengubah tradisi ramadhan di indonesia, bahkan di dunia.

Yah tentu bagi penulis, sholat di rumah tidak jadi soal dan sah-sah saja. Toh mayoritas ulama juga sudah memutuskan dengan pertimbangan kemaslahatan. Bukankah "mencegah mafsadat harus lebih didahulukan daripada mengambil manfaat". Demikianlah kaidah fiqih yang sering digunakan para ulama-ulama Nahdlatul Ulama (NU) dalam mengambil keputusan di tengah situasi merebaknya virus corona.

Tapi bagi penulis, kegelisahan itu tidak datang dari larangan sholat taraweh di mesjid dan juga ibadah sholat lainnya, buat apa juga penulis protes, toh penulis juga jarang beribadah di mesjid meskipun tak ada anjuran pelarangan untuk beribadah di mesjid. Heheh

Tapi kali ini sepertinya penulis harus mewakili komunitas pencinta takjil mesjid untuk menyampaikan kegelisahan yang dua hari ini terus terpintas dan membuat jiwa penulis terus merontah mencari jawaban yang tak kunjung ada. Jika seluruh aktifitas di mesjid akan ditiadakan ? Berarti tradisi "Mappabuka" (menyediakan menu berbuka di pelataran-pelataran mesjid) juga akan hilang?. Jika benar adanya, berarti ini soal yang serius kawan-kawan. hey para fakir dan musafir dimana kita akan berbuka puasa?.

Berbuka bersama di pelataran-pelataran mesjid merupakan salah satu keistimewahan bulan suci ramadhan. Sensasinya tak kalah dari acara-acara berbuka puasa bersama di cafe-cafe yang biasa kaulah muda-mudi milenial lakukan disepanjang bulan puasa.

Ada nilai keberagaman dan kesatuan. Mungkin saja yang hadir di barisan penunggu takjil itu berbagai macam suku, budaya serta agama, bisa saja!. Mulai dari kaya dan miskin, profesional hinggah amatiran, yang khusuk dalam berpuasa sampai pada mereka yang tak berpuasa semua dalam barisan yang sama duduk berpangku sila untuk menunggu menu berbuka puasa. Ada yang tak saling kenal akhirnya bisa akrab, mungkin karena keseringan bertemu di tempat yang sama selama beberapa minggu. Tapi begitulah Islam seharusnya, menjadi rahmat bagi semua.

Berbuka di pelataran mesjid juga kadang menjadi berkah bagi orang-orang disekitar kita yang mungkin sehabis bekerja dan tak sempat untuk berbuka puasa di rumah bersama keluarga. Jika benar demikian berarti kita tidak akan melihat lagi umat Muslim duduk berpangku sila saling berhadap-hadapan dan membentuk barisan memanjang secara horizontal. Kita tidak akan melihat lagi anak-anak remaja mesjid yang kemudian mulai membagikan kotak makan kepada jemaah untuk berbuka puasa. Sambil menunggu untuk berbuka, sang Imam meminta mereka untuk berzikir, meski para jamaah berpikir mana yang akan lebih dulu disantapnya. Hal yang indah bukan untuk dilewatkan begitu saja.

Tulisan ini hanya sebagai keprihatinan untuk sebagian orang-orang yang mungkin tak banyak memiliki uang di dalam saku celananya untuk membeli segelas es buah bertabur susu dan sirup untuk melepas dahaga ketika waktu berbuka tiba.

Jika benar adanya, mesjid tak lagi menyediakan menu berbuka puasa. Kemana hendak para fakir dan musafir berbuka puasa?. Ataukah mesjid-mesjid kita juga akan bertransformasi menjadi supermarket gratis yang menyediakan bahan pokok untuk bisa dijangkau orang-orang miskin, seperti yang dilakukan mesjid-mesjid di beberapa distrik di Istanbul, Turki. Atau tak ada lagi makanan dan minuman tersedia untuk disinggahi para fakir dan musafir?.

Bukankah kata nabi besar kita, Muhammad SAW, "Barangsiapa yang memberi makan berbuka bagi yang berpuasa, maka pahalanya serupa dengan pahala yang berpuasa tanpa mengurangi sedikitpun pahala yang berpuasa itu" , (HR.Ahmad dan Nasai)

Marhaban ya ramadhan.

Muhammad Satrio
(Ketua PMII Cabang Palopo)