Kajian Hukum Masturbasi atau Onani Saat Berpuasa

 
Kajian Hukum Masturbasi atau Onani Saat Berpuasa

LADUNI.ID, Jakarta - Tulisan ini untuk menjawab Ust. Yazid Abdulqadir Jawaz yang mengatakan onani tidak membatalkan puasa.

Sebuah video viral di jagat maya. Salah seorang dai yang biasa dipanggil Ustad Yazid mengatakan bahwa onani di siang hari saat puasa tidak membatalkan puasa.

Dia mengatakan bahwa, memang mayoritas ulama beranggapan onani membatalkan puasa, tetapi ada beberapa ulama yang juga beranggapan onani tidak membatalkan puasa.

“Istimna (onani) ini kalau jumhur ulama berpendapat batal, Tetapi imam ibnu Hazam Imam As-Syaukani dan Syekh Albani berpendapat bahwa itu tidak membatalkan puasa,” kata Yazid dalam video tersebut.

Puasa merupakan alat untuk mengontrol diri kita agar dapat mengendalikan hawa nafsu, sehingga hubungan suami istri termasuk hal yang membatalkan puasa, dan bahkan wajib membayar denda. Nah, apakah onani juga termasuk hal yang membatalkan puasa dan wajib bayar denda ketika melakukannya di siang hari Ramadan?

Dasar Hukum Onani Membatalkan Puasa

Pertama, terlebih dahulu kita pahami bahwa onani hukumnya haram. Baik dilakukan di bulan Ramadhan maupun di luar bulan Ramadhan. Allah berfirman menceritakan sifat orang yang beriman,

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ. إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ. فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ

"Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,  kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas." (QS. Al-Mukminun : 5)

Diantara sifat orang beriman, mereka yang menjaga kemaluan. Mereka tidak mennyalurkan syahwatnya kecuali kepada istri dan budak. Allah nyatakan, perbuatan semacam ini tidak tercela. Kemudian Allah tegaskan, bahwa orang yang menyalurkan syahwatnya selain kepada istri dan budak maka dia melampaui batas. Melampaui batas dengan melanggar apa yang Allah larang. Onani termasuk bentuk menyalurkan syahwat kepada selain istri atau budak. (Simak Tafsir As-Sa’di, hlm. 547).

Kedua, tentang hukum onani ketika puasa

Jumhur ulama dari madzhab hanafiyah, malikiyah, syafiiyah, dan hambali, serta lainnya menegaskan bahwa mengeluarkan mani secara sengaja tanpa hubungan badan, membatalkan puasa, baik dengan cara onani maupun lainnya.

Dalil masalah ini adalah hadits qudsi dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: الصَّوْمُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَأَكْلَهُ وَشُرْبَهُ مِنْ أَجْلِي

Allah berfirman, “Puasa itu milik-Ku, Aku sendiri yang akan membalasnya. Orang yang puasa meninggalkan syahwatnya, makan-minumnya karena-Ku.” (HR. Bukhari 7492, Muslim 1151 dan yang lainnya).

Allah menyebutkan secara beruntun sifat orang yang puasa adalah meninggalkan makan, minum, dan syahwat biologis. Sehingga siapa yang meninggalkan salah satunya, tidak lagi disebut berpuasa, alias puasanya batal.

Dr. Khalid Al-Muslih pernah menjelaskan hadits qudsi dari Abu Hurairah di atas. Beliau mengatakan,

أن من تعمد إنزال المني بالاستمناء أو المباشرة لم يدع شهوته وقصر ذلك على الجماع فقط فيه نظر ظاهر للمتأمل

“Orang yang sengaja mengeluarkan mani dengan onani atau bercumbu, berarti tidak meninggalkan syahwatnya. Pendapat sebagian ulama bahwa hadits ini hanya berlaku untuk jimak adalah pendapat yang jelas tidak kuat, bagi orang yang merenungkannya."

Keterangan Jumhur Ulama

Onani atau masturbasi adalah rangsangan fisik yang dilakukan terhadap kelamin untuk menghasilkan perasaan nikmat dan mani ketika itu dikeluarkan dengan paksa dengan cara disentuh atau digosok-gosok. Bagaimana jika perbuatan onani ini dilakukan saat puasa? Apakah puasa jadi batal?

Menurut mayoritas ulama, onani atau masturbasi termasuk pembatal puasa. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah Ta’ala berfirman,

يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَأَكْلَهُ وَشُرْبَهُ مِنْ أَجْلِى

“Orang yang berpuasa itu meninggalkan syahwat, makan dan minumnya.” (HR. Bukhari no. 7492). Dan onani adalah bagian dari syahwat.

Syekh Abu Bakar Syatha As-Syafi'i dalam I’anatut Thalibin menjelaskan bahwa melakukan onani saat puasa itu termasuk hal yang membatalkan puasa sebagaimana penjelasan yang sama dalam Ghoyah Al-Bayan Syarh Zaid Ibnu Ruslan hal. 233 dengan keterengan berikut,

ويفطر باستمناء، وهو استخراج المني بغير جماع – حراما كان كإخراجه بيده، أو مباحا كإخراجه بيد حليلته أو بلمس لما ينقض لمسه بلا حائل

"Puasa itu batal sebab melakukan onani, yaitu upaya mengeluarkan mani tanpa melalui jimak atau hubungan intim, baik onani yang haram, seperti mengeluarkan mani dengan cara menggerakkan kemaluan dengan tangannya sendiri, atau onani yang mubah, seperti meminta tolong istri melakukan onani dengan tangannya, atau menyentuh kulit seseorang yang membatalkan wudhu bila persentuhannya tanpa penghalang."

Dari penjelasan ini diketahui bahwa onani itu ada yang diperbolehkan, seperti meminta tolong istri melakukan onani terhadap alat kelamin suami, atau yang diharamkan, seperti melakukan onani dengan tangannya sendiri. Dua tipe onani ini dapat membatalkan puasa bila sampai mengeluarkan mani.

Sementara itu, keluar mani karena menyentuh kulit seseorang yang menimbulkan birahi itu terdapat rincian dari Syekh Al-Bujairimi sebagaimana berikut.

وأما إذا كان الإنزال باللمس من غير طلب الاستمناء – أي خروج المني – فتارة يكون مما تشتهيه الطباع السليمة، أو لا، فإن كان لا تشتهيه الطباع السليمة – كالإمرد الجميل، والعضو المبان – فلا يفطر بالإنزال مطلقا، سواء كان بشهوة أو لا، بحائل أو لا.

"Ketika keluar mani sebab menyentuh kulit seseorang itu tanpa ada upaya sengaja mengeluarkan mani itu ada dua perincian. Pertama, bila yang disentuh itu tidak mungkin membangkitkan birahi menurut kebanyakan psikologis orang normal, seperti menyentuh anak lelaki yang kemayu (kecewek-cewekan) atau organ kemaluan yang terpisah dari badan, maka keluar mani karena hal itu tidak membatalkan puasa, baik terdapat syahwat atau tidak, baik terdapat penghalang saat menyentuh atau tidak." (Bujairimi 'Alal Khathib juz 3 hal. 115)

وأما إذا كان الإنزال بلمس ما يشتهى طبعا: فتارة يكون محرما، وتارة يكون غير محرم، فإن كان محرما، وكان بشهوة وبدون حائل، أفطر، وإلا فلا. وأما إذا كان غير محرم – كزوجته – فيفطر الإنزال بلمسه مطلقا، بشهوة أو لا، بشرط عدم الحائل. وأما إذا كان بحائل، فلا فطر به مطلقا، بشهوة أو لا.

"Kedua, apabila keluar mani itu karena menyentuh sesuatu yang membangkitkan birahi secara psikologis orang normal itu terdapat dua rincian. Pertama, menyentuh yang diharamkan, dan kedua menyentuh yang tidak diharamkan. Bila termasuk menyentuh yang diharamkan, dan terdapat syahwat serta tanpa kain penghalang, maka hal ini dapat membatalkan puasa, dan bila tanpa syawat dan menggunakan kain penghalang, maka keluar mani itu tidak membatalkan. Namun, bila menyentuh hal yang tidak diharamkan, seperti menyentuh istri, maka itu keluar mani sebab hal itu dapat membatalkan puasa apabila terdapat syahwat maupun tidak saat dilakukan tanpa kain penghalang. Adapun bersentuhan dengan istri menggunakan kain penghalang itu tidak membatalkan puasa, baik terdapat syahwat maupun tidak." (Bujairimi 'Alal Khathib juz 3 hal. 115)

Selain itu, orang yang batal puasa karena melakukan onani hingga keluar mani itu hanya wajib menyesali perbuatannya dan diwajibkan mengqadha puasanya di selain bulan Ramadhan, tanpa harus membayar denda sebagaimana denda hubungan suami istri di siang Ramdahan.

Imam Ar-Rafi'i salah satu ulama besar Syafi'iyah mengatakan,

المنى إن خرج بالاستمناء افطر لان الايلاج من غير انزال مبطل فالانزال بنوع شهوة اولي أن يكون مفطرا

"Mani yang dikeluarkan dengan onani, membatalkan puasa. Karena jika hubungan intim tanpa terjadi keluar mani statusnya membatalkan puasa, maka onani dengan mencapai syahwat puncak lebih layak untuk membatalkan puasa." (Syarh Al-Wajiz Ar-Rafi'i, 6/396).

Al-Imam An-Nawawi (w. 676 H) ulama mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitabnya Raudhatu At-Thalibin wa Umdatu Al-Muftiyyin - Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab menuliskan sebagai berikut :

إذا قبل أو باشر فيما دون الفرج بذكره أو لمس بشرة امرأة بيده أو غيرها فإن أنزل المني بطل صومه وإلا فلا لما ذكره المصنف

"Jika seseorang berciuman atau menggauli prempuan pada selain kemaluannya atau meraba kulit tubuh wanita dengan tangannya ata yang lain, jia sampa mengeluarkan mani maka puasanya batal, namun jika tidak maka puasanya tidak batal sebagaimana disebutkan oleh mushannif." (Asy-Syairazi).

Dijelaskan dalam kitab Nihayatuz Zain karya Syaikh Nawawi,

(واستمناء) أى طلب خروج المني وهو مبطل للصوم مطلقا سواء كان بيده أو بيد حليلته أو غيرهما بحائل أولا بشهوة أولا

"(Istimna') atau sengaja mengeluarkan mani adalah membatalkan puasa secara mutlak sama saja mengeluarkannya dengan tangannya sendiri atau dengan tangan istrinya atau selain dengan keduanya baik dengan adanya penghalang dengan syahwat atau tidaknya."

Artinya jika tidak ada niat mengeluarkan air mani, tetapi keluar karena adanya persentuhan atau ‘kontak langsung antara kulit sebagai indera perasa dengan suatu barang. Semisal mencium, menggenggam tangan atau alat kelamin menempel pada sesuatu hingga kelar air mani, maka hal itu membatalkan puasa.

Imam An-Nawawi dalam Al Majmu’ (6: 322) berkata, “Jika seseorang mencium atau melakukan penetrasi selain pada kemaluan istri dengan kemaluannya atau menyentuh istrinya dengan tangannya atau dengan cara semisal itu lalu keluar mani, maka batallah puasanya. Jika tidak, maka tidak batal.”

Ibnu Qudamah (w. 620 H) ulama dari kalangan mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Mughni menuliskan sebagai berikut :

إذا قبل فأمنى أو أمذى، ولا يخلو المقبل من ثلاثة أحوال؛ أحدها، أن لا ينزل، فلا يفسد صومه بذلك، لا نعلم فيه خلافا، الحال الثاني، أن يمني فيفطر بغير خلاف نعلمه. الحال الثالث، أن يمذي فيفطر عند إمامنا ومالك. وقال أبو حنيفة، والشافعي: لا يفطر

"Jika seseorang berciuman hingga keluar mani atau madzi. Bagi orang yang berciuman ada tiga keadaan, pertama: berciuman namun tidak sampai keluar mani, maka puasanya tidak batal tanpa ada perbedaan pendapat yang kami tau, kedua: berciuman hingga keluar mani, maka puasanya batal tanpa ada perbedaan pendapat yang kami tau, ketiga berciuman hingga keluar madzi, maka puasanya batal menurut Al-Imam Ahmad dan Malik, dan tidak batal menurut Al-Imam Abu Hanifah dan As-Syafi’i."

وَلَوْ اسْتَمْنَى بِيَدِهِ فَقَدْ فَعَلَ مُحَرَّمًا ، وَلَا يَفْسُدُ صَوْمُهُ بِهِ إلَّا أَنْ يُنْزِلَ ، فَإِنْ أَنْزَلَ فَسَدَ صَوْمُهُ ؛ لِأَنَّهُ فِي مَعْنَى الْقُبْلَةِ فِي إثَارَةِ الشَّهْوَةِ

“Jika seseorang mengeluarkan mani secara sengaja dengan tangannya, maka ia telah melakukan suatu yang haram. Puasanya tidaklah batal kecuali jika mani itu keluar. Jika mani keluar, maka batallah puasanya. Karena perbuatan ini termasuk dalam makna qublah yang timbul dari syahwat.”

Sahnun (w. 240 H) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah dalam kitab Al-Mudawwanah Al-Kubra menuliskan sebagai berikut :

قلت: أرأيت من قبل في رمضان فأنزل، أيكون عليه الكفارة في قول مالك؟ فقال: نعم والقضاء كذلك

Aku bertanya: bagaimana orang yang berciuman hingga menyebabkan keluar mani, apakah ia wajib bayar kafarat menurut Al-Imam Malik? Ia menjawab: iya (wajib bayar kafarat) dan begitu juga qadha.

Al-Kasani (w. 587 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnya Badai' Ash-Shanai' fi Tartibi As-Syarai' menuliskan sebagai berikut :

ولو جامع امرأته فيما دون الفرج فأنزل أو باشرها أو قبلها أو لمسها بشهوة فأنزل يفسد صومه، وعليه القضاء ولا كفارة عليه

Jika seseorang bersetubuh dengan istrinya pada selanin kemaluannya kemudian keluar mani, atau mencumbunya atau menciumnya atau merabanya dengan syahwat lalu keluar mani, maka puasanya batal dan ia wajib mengqadha, tapi tidak wajib kafarat.

Al-Marghinani (w. 593 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnya Al-Hidayah Syarah Bidayatu Al-Mubtadi menuliskan sebagai berikut :

ولو أنزل بقبلة أو لمس فعليه القضاء دون الكفارة

Jika seseorang keluar mani karena berciuman atau meraba, maka ia wajib mengqadha tanpa bayar kafarat.

Pendapat Ulama Salafi Wahabi

Diantara ulama rujukan salafi wahabi sendiri Imam Ibnu Baz mengatakan pendapat yang sama,

على من استمنى في رمضان أن يقضي اليوم، عليه أن يتوب إلى الله وأن يقضي ذلك اليوم؛ لأنه أفطر فيه بهذا الاستمناء، يعني صار في حكم المفطرين وإن لم يأكل ويشرب لكنه صار في حكم المفطرين فعليه القضاء

"Orang yang melakukan onani ketika Ramadhan, dia wajib mengqadha puasanya. Dia harus bertaubat kepada Allah dan mengqadha puasanya. Karena pada hari itu dia membatalkan puasa dengan melakukan onani. Artinya, status dia sama denga orang yang tidak puasa, meskipun dia tidak makan, tidak minum. Namun statusnya sama dengan orang yang tidak puasa, dan dia wajib qadha."

Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin berkata, “Jika seseorang memaksa keluar mani dengan cara apapun baik dengan tangan, menggosokkan ke tanah atau dengan cara lainnya, sampai keluar mani, maka puasanya batal."

Demikian pendapat ulama madzhab, yaitu Imam Malik, Syafi’i, Abu Hanifah, dan Ahmad. Sedangkan ulama Zhahiriyah (syiah) berpendapat bahwa onani tidak membatalkan puasa walau sampai keluar mani. Alasannya, tidak adanya dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang membuktikan bahwa onani itu membatalkan puasa.

Akan tetapi, alfaqir Asimun Mas'ud (Wallahu a’lam) berdalil dengan dua alasan (yang menunjukkan batalnya puasa karena onani) disamping penjelasan para ulama diatas,

1. Dalam hadits qudsi yang shahih, Allah Ta’ala berfirman,

يَدَعُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِى

“Orang yang berpuasa itu meninggalkan makan, minum dan syahwat karena-Ku.” (HR. Ahmad, 2: 393, sanad shahih).

Onani dan mengeluarkan mani dengan paksa termasuk bentuk syahwat. Mengeluarkan mani termasuk syahwat dibuktikan dalam sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأْتِى أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ « أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ ».

“Menyetubuhi istri kalian (jima’) termasuk sedekah.” Para sahabat pun bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana bisa salah seorang dengan syahwatnya mendatangi istrinya bisa mendapatkan pahala?” “Bukankah jika kalian meletakkan syahwat tersebut pada yang haram, maka itu berdosa. Maka jika diletakkan pada yang halal akan mendapatkan pahala,” jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Muslim no. 1006)

2. Dalil qiyas (analogi), yaitu dalam hadits telah disebutkan mengenai batalnya puasa karena muntah yang sengaja, bekam dengan mengeluarkan darah.

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - - مَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ, وَمَنْ اسْتَقَاءَ فَعَلَيْهِ اَلْقَضَاءُ - رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ

“Siapa saja yang muntah, maka ia tidak berkewajiban qadha (puasa). Tetapi siapa saja yang sengaja muntah, maka ia berkewajiban qadha (puasa),” (HR lima imam hadits, yaitu Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan An-Nasa’i).

Dan keduanya (muntah dan bekam) melemahkan badan. Sedangkan keluarnya makanan (dari muntah), itu jelas melemahkan badan karena badan menjadi kosong sehingga menjadi cepat lapar dan kehausan. Adapun keluarnya darah (lewat bekam), itu juga jelas melemahkan badan. Demikian halnya kita temukan pada onani yaitu keluarnya mani yang menyebabkan lemahnya badan. Oleh karenanya, ketika keluar mani diperintahkan untuk mandi agar kembali menfitkan badan. Inilah bentuk qiyas dengan bekam dan muntah.

Oleh karenanya, kami katakan bahwa keluarnya mani dengan syahwat membatalkan puasa karena alasan dari dalil maupun qiyas. Intinya, onani menyebabkan puasa batal dan wajib mengqodho’, tanpa menunaikan kafaroh.

Demikian Asimun Ibnu Mas'ud menyampaikan semoga bahasan singkat ini menjadi ilmu yang bermanfa'at. Aamiin

والله الموفق الى أقوم الطريق

(Ustadz Asimun Ibnu Mas’ud)