Antara Isu Gender dan Poligami

 
Antara Isu Gender dan Poligami
Sumber Gambar: gettyimages.co.uk, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Isu gender bagi kalangan para santri terdiri dari dua arus besar. Bagi para santri yang terus berkecimpung di pesantren dengan pegangan kitab kuning, setiap harinya akan terlihat respon penolakannya, atau setidaknya kurang setuju. Sementara bagi arus kedua, para santri yang sudah aktif di lingkungan akademisi, pergerakan, bersentuhan dengan komunitas dan sosial yang beragam biasanya menerima isu gender ini.

Arus kedua ini - alam amatan saya- ada yang langsung menggugat bentuk patriarki dan penempatan wanita dalam kelas dua di beberapa literatur kitab. Namun ada pula yang lebih soft, tidak mendekonstruksi "doktrin" kitab kuning, namun mereinterpretasi (menafsirkan ulang) beberapa kitab rujukan tersebut dengan membandingkan dari penjelasan para ulama lain. Biasanya menggunakan tafsir ulama yang berbeda dalam penekanan sisi makna bahasa, atau dengan menggunakan pendekatan ilmu ushul fiqih. 

Dalam penyampaian materi di sebuah seminar online, Kyai Imam Nakhai yang juga dosen di Ma'had 'Ali Salafiyah Syafi'iyah Situbondo, memaparkan beberapa dalil, menganalisa beberapa redaksi Hadis untuk memposisikan mana dalil 'aam dan khash, muthlaq dan muqayyad. Pada titik kesimpulan, beliau katakan bahwa laki-laki dan perempuan pada sisi insaniyah (kemanusiaan) dan akromiyah (kemuliaan) adalah sama, sederajat. Namun pada sisi afdhaliyah (keutamaan), terkadang laki-laki memiliki sifat keutamaan tersebut, namun tidak menutup peluang bagi wanita untuk mencapai keutamaan itu juga.

Pada sesi tanya jawab dalam seminar tersebut, hampir kebanyakan suara yang bertanya diwakili oleh kaum Adam dan bertanya tentang poligami. Lalu Kyai Imam Nakhai menjawab dengan jawaban yang sedikit mengejutkan awalnya, namun bisa dipahami di bagian akhir. Kata beliau, poligami itu bukanlah ajaran Islam. Tapi ajaran umat terdahulu. Yang terdapat dalam Islam tentang poligami adalah mengatur dan memberi batasan.

Tanpa diduga moderator menanyakan kepada saya soal poligami sebagaimana yang ditujukan kepada Kyai Imam Nakhai. Tentu saya terkejut. Saya menjawab dengan penjelasan yang terdapat dalam sebagian kitab Mazhab Syafi'iyah. Saya mengutip pernyataan Imam An-Nawawi di dalam Kitab Al-Majmu' Syarh Al-Muhaddzab, sebagaimana berikut: 

ﻭَﻧُﺪِﺏَ ﺇِﻟَﻰ اﻻﻗْﺘِﺼَﺎﺭ ﻋَﻠَﻰ ﻭَاﺣِﺪَﺓٍ ﺧَﻮْﻓًﺎ ﻣﻦ اﻟْﺠَﻮْﺭِ ﻭﺗﺮْﻙِ اﻟْﻌَﺪْﻝِ، ﻭَﻫﺬَا ﻣَﺄْﻣُﻮْﻥٌ ﻣِﻦَ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ

"Dianjurkan menikah hanya dengan satu perempuan saja, khawatir ada penindasa dan tidak adil. Dan kedua alasan ini tidak terdapat dalam diri Nabi SAW."

Di samping itu, redaksi dalam kitab-kitab Syafi'iyah biasanya ketika menjelaskan poligami menggunakan bahasa boleh (jawaz). Maka ada penuturan dalam sebagian kitab Mazhab Syafi'i lainnya, sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Bujairami dalam Kitab Tuhfatul Habib 'ala Syarh Al-Khatib berikut:

ﺇﺫَا ﻗِﻴﻞَ ﻳَﺠُﻮﺯُ ﻛَﺬَا ﻳُﻔْﻬَﻢُ ﻣِﻨْﻪُ ﻋُﺮْﻓًﺎ ﺃَﻥَّ ﺗﺮﻛﻪ ﺃﻭﻟﻰ

"Jika ada redaksi 'boleh melakukan ini' maka dapat dipahami secara umum bahwa sebaiknya tidak dilakukan." 

Sebagai catatan, bahwa dalam acara tersebut saya harus menjawab seperti ini, sebab istri saya ada di sebelah saya. Wallahu A'lam. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 16 Mei 2020. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Ustadz Ma’ruf Khozin

Editor: Hakim